Sabtu, 26 September 2020

Pernak Pernik Hari Raya Kuningan

Mpu Jaya Prema 

Kita memasuki hari raya Kuningan, sebagai penutup hari Galungan. Karena itu banyak orang kalau ingin mengucapkan selamat pastilah Galungan dan Kuningan selalu dikaitkan. Jadinya Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Kali ini saya ingin mengajak kita membahas atau sekadar melihat pernik-pernik dari merayakan Kuningan. Hal-hal yang kecil saja. Misalnya, kenapa kita membuat tumpeng kuning. Atau bahkan serba kuning. Baik tumpeng kecil-kecil sebagai persembahan kepada leluhur  yang dipuja, mau pun tumpeng untuk dimakan. Setidaknya kalau pun wujudnya bukan tumpeng tetap saja nasi yang dimakan itu berwarna kuning.

 Dari mana kebiasaan itu ditemui? Mungkin ini tradisi masa lalu yang terus diwarisi. Mungkin juga leluhur kita di masa lalu tak begitu jelimet harus mengacu kepada sastra agama, tetapi lebih pada kebiasaan masyarakat setempat bahwa tumpeng kuning itu enak dipandang dan enak dimakan. Kebiasaan membuat tumpeng kuning sudah ada sejak lama sebelum Hindu masuk di Indonesia. Dan ketika agama Hindu menyebar dengan ajarannya tentang Istadewata khususnya sembilan dewa utama yang disebut Dewata Nawa Sanga, warna kuning adalah “milik” Mahadewa. Jadi pas warna itu membawa kesejahtraan bagi umat. Juga pas dengan nama Kuningan itu sendiri.


https://youtu.be/jZ-Y4BlvTXs

Tidak ada aturan khusus dalam merayakan hari Kuningan. Lontar yang memuat soal Kuningan ini sedikit sekali, yakni hanya lontar Sundarigama. Di situ pun tidak disebutkan soal tumpeng berwarna kuning. Dalam lontar itu hanya disebutkan agar umat Hindu menghaturkan sesaji pada pagi hari dan jangan menghaturkan sesaji setelah lewat tengah hari. Kenapa begitu? Karena yang dihaturkan sesaji itu adalah Dewa Pitara alias leluhur kita sendiri. Para leluhur ini akan “kembali ke surga” pada tengah hari. 

 Selain tumpeng serba kuning, tradisi merayakan Kuningan juga disertai dengan adanya simbol tamiang. Ini adalah simbol dari perisai yakni alat untuk menangkis serangan musuh. Tamiang ini berbentuk bundar, bentuk mini dari perisai yang biasa dipakai para prajurit kerajaan di masa lalu. Ornamen tamiang itu seperti perisai kecil, bukan simbol dari cakra, senjata Dewa Wisnu. Banyak umat yang membuat tamiang Kuningan dengan menyerupai simbol-simbol cakra.Tamiang dan cakra berbeda fungsinya. Cakra adalah senjata sedang tamiang itu perisai untuk melindungi.

 Siapa yang dilindungi? Bisa leluhur yang dipuja yang sedang menikmati “suguhan tumpeng” sehingga dalam perjalanannya selamat kembali ke surga (mur mwah maring swarga). Tapi apa leluhur yang suci itu perlu dilindungi lagi? Maka bisa jadi pula simbol tamiang itu untuk melindungi diri kita sendiri agar selalu bisa selamat dari serangan musuh.

 Perayaan Kuningan adalah penutup dari perayaan Galungan. Kita baru saja mengalahkan adharma dan merayakan kemenangan dharma pada Hari Raya Galungan. Sepuluh hari larut dalam kemenangan dharma dengan melakulan silakrama (silaturahmi) dan tirtayatra (menghaturkan bhakti ke pura-pura), maka kini saatnya kita membentengi diri kita dari musuh-musuh yang baru. Tamiang harus selalu berada dalam kehidupan kita sehari-hari, begitu filosofi dari keberadaan perisai sakral ini.

 Jadi dalam pemujaan kepada leluhur itu kita semacam meneguhkan janji untuk membentengi diri dari musuh-musuh yang baru. Janji kepada leluhur untuk siap mewarisi dan menjaga peninggalan beliau. Peninggalan leluhur itu dari harta benda yang diwariskan kepada keturunannya langsung maupun peninggalan berupa pura.

 Mungkin juga ada peninggalan berupa kitab sastra, dan sebagainya. Tapi apakah para keturunanya sudah melakukan hal itu? Jika kita diajarkan untuk memelihara warisan leluhur dari serangan nafsu-nafsu, maka seharusnya kita menjaga warisan itu baik-baik. Rawatlah pura yang diwarisi leluhur. Jaga harta yang diwarisi leluhur dengan tidak menjualnya untuk memuaskan nafsu kita sendiri. Lewat hari Tumpek Kuningan ini, marilah kita membentengi diri lebih kuat lagi, menjaga warisan leluhur itu termasuk membentengi Bali dengan “tamiang niskala” yang  tangguh dan suci.  Janganlah tamiang itu hanya untuk menghias pelinggih di pura, menghias rumah bahkan digantungkan di moncong mobil, tetapi jadikan spirit untuk melestarikan apa yang pernah dimiliki para leluhur itu.

 Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, Hari Raya Kuningan boleh dikatakan sebagai penutup umat Hindu menghaturkan sesajen dalam rangkaian Hari Raya Galungan. Lalu cobalah perhatikan, apakah semua prasadam (di Bali disebut lungsuran atau surudan) habis dimakan oleh keluarga? Jangan-jangan banyak yang menumpuk, jajannya sudah kusam, buahnya mulai membusuk. Banyak yang tak bisa lagi dimakan dan akhirnya terbuang. Atau dijadikan makanan babi, jika masih ada keluarga itu memelihara babi. Hal ini bisa terjadi karena sejak Sugihan (lima hari sebelum Galungan) kita sudah menghaturkan sesajen. Kegiatan itu hampir tak terputus sampai Kuningan. Bayangkan betapa banyak prasadam dari sesajen itu.

 Padahal dalam kitab suci Hindu, prasadam adalah makanan yang sattwik, makanan utama, karena telah dipersembahan kepada Tuhan atau pun kepada para leluhur yang biasa disebut Ida Benthara atau Dewata Dewati. Dalam kitab Bhagawad Gita IV-31 disebutkan: Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama. Artinya: Mereka yang memakan sisa makanan suci dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan (yadnya), apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.

 Kurusattama adalah nama lain dari Arjuna. Di sini Krishna sebagai perwujudan Tuhan Yang Esa memberikan pesan bagaimana kita mencapai Brahman atau Tuhan. Salah satunya adalah melakukan persembahan atau pengorbanan berupa makanan, dan setelah persembahan itu dihaturkan, harus dimakan. Tuhan, yang tak berwujud tentulah  tak akan “memakan” persembahan itu, dan jika pun di sini ada istilah “sisa makanan” maka itu tak lain artinya “makanan yang sudah diberkahi”.

 Masalahnya adalah begitu banyak sisa persembahan itu. Berpuluh-puluh pisang, tape, kaliadrem, kerupuk, satuh dan entah apa lagi yang merupakan jajan khas tatkala merayakan Galungan sampai Kuningan, tak habis dimakan keluarga. Mau diberikan tetangga problemanya sama juga, tetangga juga banyak menyisakan prasadam.

 Dalam situasi seperti ini muncullah pertanyaan di masyarakat, apakah boleh sesajen itu disederhanakan? Tentu saja boleh dan memang ada yang bisa disederhanakan. Leluhur kita sudah mengajarkan di masa lalu pada saat Bali dalam keadaan “gerit” – belum semakmur sekarang ini. Sesajen atau banten yang merupakan ayaban atau disebut juga soodan bisa dihemat penempatan jajan dan buah-buahan. Kalau memang banyak membuat (ada satu keluarga sampai membuat 100 paket atau lebih), sebutir pisang sudah cukup untuk satu paket. Bahkan kalau niat awal sudah tak akan diambil prasadamnya, seiris pisang pun boleh. Begitu pula sesajian yang berupa nasi dan telurnya.

 Tetua kita mewariskan kebiasaan, kalau memang mau irit setiap soodan tak harus berisi sebutir telur. Bisa separoh telur yang disebut asibak. Atau malah dipotong jadi empat disebut asebit. Meski pun secara sastra prasadam itu sebaiknya dinikmati sebagai hasil persembahan, ada kalanya orang tua berpikir sebaliknya. Tak usahlah diambil atau di-lungsur supaya lebih lama sesajen itu berada di tempat-tempat suci. Atau juga dengan pertimbangan bahwa unsur-unsur sesajen itu sudah berdebu.

 Persoalan sesungguhnya tak cuma di sana. Ada pergeseran prilaku saat ini di mana sesajen yang kita persembahkan bukan semata-mata dengan tujuan untuk dinikmati prasadamnya.  Umat jauh-jauh datang ke pura membawa sesajen lengkap dengan buah-buahan, jajan, dan ketupat kelan (isinya enam buah) plus ayam panggang. Selesai menghaturkan sesajen itu di pura bukannya dinikmati langsung prasadamnya, tetapi makan-makan di warung Jawa, memesan sate kambing. Prasadam pun mubazir, padahal sastra Hindu menyebutkan, nikmati prasadam itu sebaga makanan utama. Bukannya prasadam dicampakkan dan kita makan enak di warung.

 Di masa pandemi Covid-19 ini, di mana kita kembali harus berhemat, mari kita perlakukan prasadam sebagai makanan utama yang suci. Karena itu pesan penutup saya, kalau menghaturkan sesajen, pertimbangkan lebih awal apakah prasadamnya itu habis kita makan. Di situlah awal dari kesederhanaan itu. Kalau kita keluarga kecil, tidak usah menghaturkan sesajen berupa babi guling besar, misalnya. Jangan membuat jajan kaliadrem yang banyak karena tak habis kita makan dan kalau mau diberi orang lain, ya, orang lain juga membuatnya.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar