Jumat, 25 September 2020

SARASAMUSCAYA Sloka 300-314 Kepada Siapa Kita Layak Bergaul



 https://youtu.be/y5f9MSGabgw

Umat sedharma yang terkasih. Kita lanjutkan pembacaan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak ke sloka ke 300. Tema kali ini masih tentang orang yang berilmu dan berbudi. Dalam tema ini juga mengungkap bagaimana cara kita bergaul dan kepada siapa kita baiknya bergaul. Seperti biasa, saya tak menyertakan sloka dalam versi bahasa Sansekerta maupun dalam bahasa Jawa Kuno, karena sloka dalam kedua bahasa itu akan ada di dalam buku saya, kalau sudah terbit. Oke saya mulai dengan sloka 300.

 Setiap orang harus terjun ke dalam pergaulan. Karena lewat pergaulanlah orang cepat memperoleh kepandaian dan menularkan kepandaian. Karena itu bersungguh-sungguhlah bergaul dengan orang pandai. Seperti halnya membuat minyak wangi dari bau bunga, maka bau bunga itu akan meresap kepada kain, air, minyak karena persentuhannya.

 Sloka ini menekankan pada pergaulan yang sehat. Ilmu akan banyak kita peroleh dari cara kita bergaul. Orang moderen pun seringkali berkata bahwa ilmu begitu banyak di masyarakat dan alam ini adalah guru yang hebat. Ilmu tak hanya didapat di bangku sekolah saja, tetapi ilmu bertebaran di alam. Syaratnya adalah kita pandai-pandai bergaul dan memilih siapa yang layak diajak bergaul. Bergaul dengan orang pandai adalah hal yang utama. Bergaul dengan orang jahat tentu harus dihindari. Wanginya persahabatan dengan orang-orang bijak ibarat wangi bunga yang segera meresap dan menyebar lewat pergaulan. Saya lanjut ke sloka 301.

 Oleh karenanya, akan menjadi rendahlah budi seseorang jika ia bergaul dengan orang yang hina budi. Jika mereka bergaul dengan yang madya budi maka seperti itu pulalah budi mereka, sedang-sedang saja. Namun jika seseorang bergaul dengan orang yang utama budi, maka utama budilah yang akan diperolehnya.

 Hampir sama dengan ilmu yang kita dapatkan dalam pergaulan, budi atau kelakuan kita pun akan terpengaruh oleh kelakuan teman bergaul. Kalau kita berteman dengan maling maka kita bisa saja menjadi maling, kalau teman-teman kita penjudi semuanya, maka kita pun bisa kdetularan sebagai penjudi. Maka dianjurkan untuk meningkatkan budi kita maka bergaullah dengan orang yang berbudi baik. Sloka ini terlalu umum jadi tak perlu kita bahas lagi. Lanjut ke sloka 302.

 Mesikipun sedikit kepandaian seseorang, apabila bergaul dengan orang yang bijaksana maka kepandaian itu akan semakin bertambah, bagaikan setetes minyak yang jatuh di air, akan menyebar dan meluaskan minyak itu di dalam air.

 Sloka ini sudah gamblang sekali dan saya kira terjemahan yang saya buat ini sudah memakai bahasa yang sederhana tanpa kehilangan konteks perumpamaannya. Saya lanjut ke sloka 303.

 Betapa pun kita punya keahlian dan kepandaian namun jika bergaul dengan orang yang tak punya dasar kebijakan, maka terpendamlah keahlian itu, tidak kelihatan manfaatnya. Tak beda dengan bayangan gajah pada cermin kecil, menjadi kecil pulalah bayangan gajah itu sebesar cerminnya.

 Sloka ini pun juga sudah jelas. Kita harus benar-benar memperhatikan pergaulan kita, usahakan selevel. Sesungguhnya ini juga bukan soal bergaul secara phisik, juga dalam melakukan diskusi-diskusi atau perdebatan dalam berbagai masalah. Kalau kita larut berdebat dengan orang yang levelnya lebih rendah maka ilmu yang kita punyai tak ada artinya. Dalam dunia moderen sekarang ini di mana banyak perdebatan lewat media sosial, maka kita harus hati-hati meladeni orang-orang yang ilmu, wawasan, dan perilakunya tidak seimbang dengan kita. Capek kita meladeninya dan ilmu kita pun jadi sia-sia, boro-boro menambah ilmu. Saya lanjut ke sloka 304.

 Janganlah kita sampai tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Siapkan diri dan kejarlah ilmu, janganlah sampai terlibat pada perbuatan yang menimbulkan dosa. Tanpa punya ilmu orang akan menemui musuh dalam dirinya sendiri.

 Apapun alasannya janganlah membenci ilmu pengetahuan, dan tidak mengejarnya. Ilmu pengetahuan tak harus dicari di bangku sekolah dengan membayar mahal, kita bisa mengejar ilmu itu lewat pergaulan yang benar. Pengetahuan akan membuka wawasan dan menjauhkan kita dari dosa-dosa; sebab orang yang bodoh tidak akan pernah sadar, bahwa yang terlebih dahulu harus diperangi dan ditundukkan adalah sisi pribadi yang bodoh itu. Sangat ringkas dan gamblang sloka ini memberikan nasehat. Saya lanjut ke sloka 305.

 Yang patut diusahakan dalam bergaul, bergaullah dengan para sadhu. Kalau menjalin hubungan kekeluargaan jalin pulalah dengan sang sadhu. Begitu pula dalam berdebat, berdebatlah dengan sang sadhu karena akibatnya tak mungkin akan merendahkan budi.

 Sadhu dalam sloka ini artinya orang yang berbudi tinggi. Hanya dengan orang seperti itulah layak kita pilih sebagai sahabat, tempat menjalin kekeluargaam. Bahkan dalam berdebat atau berdiskusi usahakan bersama para orang yang berbudi luhur, karena betapa pun perdebatan itu memanas tidak akan saling mengejek dan saling merendahkan. Dengan bergaul seperti itu mustahil anda tidak akan kelimpahan budi luhur itu jika selalu berinteraksi dengan orang-orang yang berbudi luhur. Saya teruskan ke sloka 306.

 Adapun tingkah laku sang sadhu adalah tidak sombong waktu dipuji, tidak kecil hati kalau dicela, tidak mudah terpengaruh oleh rasa marah, tidak akan berkata-kata kasar, tetap teguh iman dan suci hatinya.

 Nah sloka ini hanya menjelaskan ciri-ciri orang sadhu atau orang yang berbudi mulia, sehingga mudah untuk dicari diajak bergaul. Kalau ciri-cirinya seperti itu maka kepada dialah kita banyak bergaul dan bertimbang rasa agar kita mendapatkan percikan dari kesadhuannya. Saya lanjut ke sloka 307.

 Seorang sadhu tak akan memikirkan kesalahan orang lain, tidak akan mempercakapkan kejelekan orang, tak akan mengeluarkan kata-kata kasar dalam menanggapi celaan dan hinaan orang. Dalam hatinya yang dilihat hanyalah kebajikan dan perbuatan baik orang dan selalu berpikiran positif. Demikianlah perilaku orang sadhu yang juga disebut purusottama.

 Kata purusottama arti sebenarnya adalah manusia utama bagaikan dewa wisnu. Kita tahu Dewa Wisnu adalah dewa pemelihara, jadi orang sadhu atau orang berbudi mulia penuh belas kasih dan penyayang. Tidak ada kemungkinan apapun yang dapat membuatnya menyimpang dari kebajikan dan kebijaksanaan, ia selalu berkeadaan teguh pada susila, etika, dan sopan santun. Saya lanjut ke sloka 308.

 Sang sadhu juga disebut upasama. Seperti halnya padi, ia merunduk karena beratnya buah. Atau seperti dahan kayu yang juga merunduk karena lebatnya buah.

 Sloka ini menjelaskan lebih jauh tentang sang sadhu ini. Upasama artinya orang yang selalu merendahkan diri karena banyaknya kepandaian dan pengetahuannya. Jadi benarlah ada pepatah dalam sastra pujangga lama yang menyebutkan: ibarat padi yang merunduk karena berisi. Merendahkan diri tentu beda dengan rendah diri. Kalau rendah diri artinya orang yang tidak percaya kemampuan dirinya. Kalau merendahkan diri dia tidak berlaku sombong dengan kepandaian yang dimilikinya. Saya lanjut ke sloka 309.

 Orang sadhu tak akan menceritakan keburukan orang lain apalagi dibelakang orang tersebut, selalu berusaha untuk menolong orang-orang yang kesusahan, tidak diliputi kemarahan dan kebencian. Sangat pantaslah orang bijaksana itu untuk dihormati.

 Sloka ini masih tentang penjelasan orang sadhu atau orang yang berbudi luhur. Sudah gamblang apa yang disebutkan dan orang seperti itulah yang patut diajak bergaul. Saya lanjut ke sloka 310.

 Ada pun manusia berbudi seperti ini adalah mereka yang punya wibawa karena dipenuhi kebijaksanaan, terpelajar dan berpengetahuan, tidak sombong, berbudi lembut, tidak kasar dan tidak diliputi amarah, ia dihormati dan dituruti perintahnya.

 Sloka ini masih menjabarkan tentang ciri-ciri orang sadhu. Saya kira tak perlu dibahas lagi. Saya lanjut ke sloka 311.

Kalau pun tidak mampu mengikuti tingkah laku sang sadhu seluruhnya, karena memang sangat berat dan banyak syaratnya, sebagian diikuti sudah baik. Sesuaikan dengan kemampuan diri sendiri, walau pun sedikit pastilah akan banyak menolong.

Sloka ini menekankan kepada kemampuan diri kita sendiri. Mungkin tak seluruh teladan orang berbudi luhur itu bisa kita ikuti, atau hanya sebagian saja ilmu yang mereka miliki meresap ke dalam diri kita. Namun percayalah, yang sedikit itu tetap akan menolong kita dalam kehidupan ini. Jadi intinya adalah jangan kecewa jika ilmu xdari orang bijak itu tak semua bisa kita laksanakan karena setiap manusia ada keterbatasannya. Saya lanjut ke sloka 312.

Lagi pula bukan saja manusia dan makhluk hidup lain yang mencintai sang sadhu, bahkan sang hyang atma pun cinta kasih kepada sang sadhu.

Penekanan sloka ini terletak kepada roh-roh suci yang juga sangat sayang kepada orang yang berbudi luhur. Artinya, kemampuan sang sadhu dalam membawa diri dalam kehidupan ini juga diterima dengan baik oleh roh-roh suci di alam yang lain. Ini pertanda betapa vibrasi sang sadhu itu luar biasa. Jadilah kita sebagai sang sadhu dengan segala upaya yang kita miliki. Lanjut ke sloka 313.

Orang yang berbuat bajik kepada orang lain, bukan karena hasrat akan pahala namun lebih sebagai kewajiban diri sang sadhu. Prilaku bajik yang jauh dari motif-motif pahala seperti ini merupakan tindakan cerdas, terpelajar dan bijaksana. Itulah sifat seorang maha purusa.

Maha purusa dalam sloka ini artinya orang yang berjiwa besar. Orang seperti ini tak lagi memandang apakah kebajikan yang dia lakukan mendapat balasan atau tidak. Dia tak pernah memandang dan menghitung pahala atau balasan dari kebajikan yang dilakukannya itu. Semuanya dilakukan dengan ikhlas dan tanpa beban sama sekali. Saya lanjut ke sloka 314.

Kesimpulannya usahakan dengan sebaiknya meniru  perbuatan orang sadhu itu dengan tekun dan teguh. Harta kekayaan tidak selayaknya dipegang teguh jika bertentangan dengan kebajikan, sebab ia dapat datang atau pergi dan sulit untuk dijaga. Lagi pula bukannya orang yang tidak berharta dinamakan miskin. Walau tanpa harta, jika kaya moralitas, bajik dan susila, inilah sesungguhnya yang dinamakan kaya. Meskipun ada orang yang kaya harta namun jahat, amoral dan asusila, mereka inilah yang disebut miskin.

Ini sloka penutup dalam tema ini. Bhagawan Wararuci ketika menulis pembahasan dalam bahasa Jawa Kuno mengulang kembali inti sloka-sloka sebelumnya. Disinggung kembali soal posisi harta kekayaan, arti dari kemiskinan dan seterusnya. Dalam sloka bahasa Sansekerta pengulangan inti itu tidak ada.

Nah umat sedharma, kita sudah selesai membahas tema tentang orang yang berilmu dan berbudi, sehingga kita bisa memilih siapa yang layak dijadikan teman pergaulan dalam kehidupan ini. Selanjutnya kita akan mengancik kepada tema tentang Orang Durjana, yakni orang yang selalu berbuat jahat yang tak patut dijadikan teladan. Tetaplah mengikuti pembahasan kitab Sarasamuscaya, kitab etika kehidupan warisan masa lalu. Rahayu.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar