Minggu, 13 September 2020

Memahami Sarasamuscaya Sloka 261- 279 tentang Harta Kekayaan


Umat sedharma yang terkasih. Kita lanjutkan pembahasan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak ke sloka ke 261. Tema kali ini adalah tentang harta dan kekayaan, bagaimana kita memperolehnya dan bagaimana kita mempergunakannya. Karena tema ini agak panjang, terdiri dari 39 sloka maka saya akan membagi dalam dua bagian. Seperti biasa yang sudah-sudah, saya tak menyertakan sloka dalam versi bahasa Sansekerta maupun dalam bahasa Jawa Kuno. Nanti dalam buku yang saya terbitkan sloka ke dalam dua bahasa itu akan disertakan secara komplit. Saya mulai dengan sloka ke 261.

Harta yang diperoleh haruslah berlandaskan pada kebajikan dan kebenaran. Setelah harta kekayaan itu berhasil dikumpulkan hendaknya penggunaannya dibagi dalam tiga kategori. Ketiga katagori ini hendaknya dilaksanakan dengan baik-baik.

Sloka ini banyak dikutip orang untuk menjelaskan bagaimana kita mencari harta haruslah berdasarkan dharma. Jangan mencari harta dengan mencuri, merampok, korupsi, dengan jalan berjudi dan perbuatan lainnya. Lalu harta yang kita peroleh dengan jalan baik itu pergunakanlah dengan cara membagi tiga harta itu terlebih dahulu. Bagaimana pembagian itu akan dijelaskan pada sloka selajutnya. Mari lanjut sloka 262.

Bagian pertama gunakan untuk di jalan dharma, bagian kedua untuk kesenangan dalam perjalanan hidup ini yang disebut kama, dan bagian ketiga gunakan untuk memperbesar harta itu, ini disebut artha. Demikianlah dharma, kama dan artha akan membuat kebahagiaan dalam hidup.

Nah konsep dharma, kama dan artha masuk dalam sloka ini. Bagian pertama yaitu harta kekayaan di jalan dharma adalah untuk kegiatan yadnya, baik yadnya berupa ritual keagamaan maupun yadnya dalam pengamalan membantu orang susah yakni bersedekah. Jadi gunakan harta kekayaan ini untuk amal baik kita selain untuk melaksanakan kegiatan ritual keagamaan. Bagian kedua untuk kesenangan hidup dimaksudkan untuk kehidupan duniawi. Untuk makan, membeli pakaian, membiayai pendidikan keluarga, untuk hiburan dan seterusnya. Sedang bagian ketiga untuk modal kerja memperbesar harta itu. Kalau punya usaha dipakai modal kerja, kalau tak punya usaha bisa ditabung dan sebagainya. Tentu besar kecil bagian ini tergantung harta yang kita peroleh secara benar itu. Jika harta itu tak mencukupi untuk dibagi 3 yang sama besarnya, bisa saja pembagiannya tak harus sama. Yang penting inti pesan dari sloka ini adalah dalam harta yang kita dapatkan itu ada sebagian yang digunakan untuk sosial keagamaan dan ada yang disisihkan untuk ditabung atau keperluan yang tidak diduga. Saya kira jelas, saya lanjut ke sloka 263.

Keuntungan usaha dari bagian harta yang dipakai modal kerja, haruslah berlandaskan pada kebajikan dan kebenaran. Itu disebut labha. Ini akan melahirkan kebahagiaan surgawi. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari cara-cara jahat disebut kasmala. Ini akan melahirkaan kesengsaraan dan neraka. Inilah yang harus dihindari oleh orang budiman dan karena itu janganlah menyimpang dari dharma dalam melaksanakan usaha.

Di sloka ini dimunculkan istilah labha dan kasmala. Kalau kita memakai idiom agama lain, labha itu hampir sama artinya dengan halal. Keuntungan usaha dari cara-cara yang baik. Sedangkan kasmala bisa disetarakan dengan haram, keuntungan usaha tetapi dengan cara-cara yang kotor. Juga keuntungan usaha dari kegiatan yang melanggar agama, misalnya, perjudian, menjual minuman memabukkan, membungakan uang seperti rentenir dan banyak contoh lain lagi. Ini yang harus kita hindari. Saya lanjut ke sloka 264.

Ada orang yang mengumpulkan harta dengan dasar adharma, tetapi tujuannya untuk usaha-usaha yang baik. Atau melakukan kebajikan. Orang yang demikian tidak usahlah berusaha karena lebih baik tidak berusaha dibandingkan mengotori tujuan itu dan mencucinya nanti.

Sloka ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika ada orang mencari untung atau mengumpulkan dana dari tindakan-tindakan  yang melanggar ajaran agama apalagi tindakan jahat, lalu ia mendermakannya untuk tujuan-tujuan baik, lebih baik jangan melakukan usaha itu sebab keberadaannya sama saja dengan mencemari sesuatu yang bersih dengan sesuatu yang kotor.  Sering sekali ada pertanyaan apakah boleh menyumbang pembangunan pura dengan hasil judi? Jawabannya jelas tidak. Judi adalah perbuatan yang melanggar agama, kalau hasilnya dipakai untuk menyumbang pembangunan pura maka pura itu akan menjadi kotor. Penggalian dana untuk membangun pura, misalnya, janganlah dari sabungan ayam, karena itu perjudian. Demikian pula sumbangan pembangunan tempat suci dari hasil yang diduga didapat dari perbuatan jahat, misalnya, dari korupsi lebih baik ditolak. Memberi sumbangan dan bersedekah haruslah dari harta yang diperoleh di jalan dharma, harta yang suci bersih. Saya lanjut ke sloka 265.

Karena harta kekayaan yang suci adalah harta kekayaan yang diperoleh dari cara-cara bajik dan benar; harta kekayaan kotor adalah harta kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara keji dan jahat. Itu bukanlah harta yang diidam-idamkan.

Sloka ini sudah jelas karena merupakan kelanjutan dari sloka sebelumnya. Saya teruskan ke sloka 266.

Adapun harta yang diperoleh dengan menganiaya orang atau diperoleh dengan rampasan musuh yang kalah, maka harta semacam itu bukanlah harta yang patut diidam-idamkan.

Dalam sloka ini dimaksudkan mecari harta dengan cara merampok, membegal, merampas, itu perbuatan yan sangat tidak baik. Bahkan dalam suatu peperangan, musuh yang dikalahkan pun hartanya tak boleh diambil begitu saja. Biarlah negara yang merampasnya kalau ada aturannya demikian. Harta seperti itu bukanlah harta yang diidam-idamkan. Saya lanjut ke sloka 267.

Seorang bangsawan sekali pun, jika dia mendapatkan harta dengan cara paksa akan sirnalah kebangsawanannya yang disebabkan sifat loba itu. Kewibawaannya akan lenyap dan kebijaksanaannya akan hilang.

Kebangsawanan dalam sloka ini dalam arti yang luas, bisa berarti orang yang terpandang, seorang pejabat dan seterusnya. Jika suatu saat dia ketahuan memperoleh harta dari cara paksa, dalam hal ini bisa dicontohkan melawan hukum, maka wibawa dan kebijakan yang pernah dilakukannya lenyap seketika. Kita sudah berkali-kali menyaksikan hal ini, bagaimana pejabat yang tadinya terhormat langsung wibawanya runtuh ketika tertangkap karena kasus korupsi. Kebijakannya di masa lalu langsung dianggap tidak ada artinya. Hari-hati mencari harta. Saya lanjut ke sloka 268.

Ada tiga tujuan hidup manusia ini, dharma, artha dan kama. Demikianlah ketiganya jangan sampai dikuasai oleh adharma.

Sloka ini sering diulang-ulang sebelumnya. Tujuan hidup itu adalah menjalankan perintah agama yakni kebajikan dan kebenaran, mencari harta kekayaan untuk kelangsungan hidup, dan mendapatkan kepuasan atau kesenangan. Semua ini jangan sampai dirusak oleh perbuatan yang tidak baik. Saya lanjut ke sloka 269.

 Janganlah menyia-nyiakan waktu. Berilah arti dan isi pada masa kehidupan ini dengan berdasarkan dharma, artha dan kama. Mumpung kita masih hidup pergunakan dengan baik, jangan membuang-buang waktu.

Sloka ini menekankan jangan biarkan waktu itu berlalu tanpa guna, manfaatkanlah waktu itu agar berdayaguna dan akan sangat tepat jika waktu itu dipakai dalam melaksanakan kebajikan sekaligus pencarian harta dan perolehan kesenangan. Siapa yang tahu batas hidup dan mati? Oleh karenanya dengan sebaik-baiknya waktu itu, jangan menunda-nunda dan membuang-buang waktu, mumpung masih hidup. Saya lanjut ke sloka 270.

Sungguh disayangkan kehidupan yang sia-sia, yang tidak mempergunakan hidupnya untuk melaksanakan dharma, artha dan kama mau pun moksa. Kehidupan yang sia-sia ini hanya dimakan waktu.

Sloka ini sudah jelas bagaimana kalau hidup kita tidak melaksanakan kegiatan apa pun, bermalas-malas saja, acuh tak acuh. Hidup ini hanya menunggu kematian saja, tak ada faedahnya sama sekali. Saya lanjut ke sloka 271.

Karena itu janganlah ragu melepaskan harta untuk diberikan kepada seorang patra. Patra artinya orang yang patut diberikan dana punia. Begitu pula makanan dan pakaian dan segala yang berguna bagimu sedekahkan sebagian. Ketahuilah bahwa maut itu siap sedia menghadang dan maut tak bisa dielakkan.

Sloka ini mengajak kita untuk siap berbagi kepada para patra. Sudah dijelaskan dalam sloka ini patra artinya orang yang memang patut diberikan sedekah. Kalau istilah sekarang adalah kaum papa, pakir miskin. Berbagilah kepada mereka2 itu sebelum mau mengantar kita ke alam sana. Saya lanjut ke sloka 272.

Ada orang yang senang saat ini, saat yang lain tidak senang. Ada yang saat lain senang, saat ini tidak senang. Ada senang saat ini dan saat yang lain pun senang. Ada juga yang tidak senang saat ini pun tidak senang pada saat yang lainnya.

Ini sudah menginjak kepada sloka tentang kesenangan atau bagian dari yang disebut kama itu. Kesenangan itu bisa memilih tempat dan waktu yang berbeda. Sekarang senang lain kali tidak, sekarang tidak senang lain kali senang. Tapi ada yang senang terus menerus dan ada yang tidak senang terus-menerus. Semua ini adalah akibat dari karma kita yang tak bisa dilepaskan dari karma di kehidupan yang lalu. Karena itu selalulah berbuat baik agar kelak pun kita bernasib baik. Saya lanjut ke sloka 273.

Orang yang senang saat ini, hidup kaya raya dengan hartanya yang berlimpah ruah, namun hanya dinikmati untuk dirinya sendiri dan tidak pernah berkorban untuk kepentingan orang banyak, orang seperti itu sudah dipastikan hanya senang saat ini saja.

Nah di sloka ini dijelaskan bahwa kesenangan atau bisa juga disebut kebahagiaan yang di dapat sekarang tanpa pernah dibagi kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan, niscaya dalam kehidupannya nanti akan menemui banyak ketidak-senangan. Padahal kalau saja kesenangan itu mau dibagi maka dalam kehidupan nanti pun akan dijumpai pula kesenangan yang sama. Saya lanjut ke sloka 274.

Adapun orang yang tak jemu-jemunya melakukan samadhi, bertapa, senantiasa mengajarkan ilmu pengetahuan, mengendalikan hawa nafsu, belas kasihan kepada makhluk hidup, orang yang demikian akan mengecap kebahagiaan di alam baka.

Untuk mengharap kesenangan atau kebahagiaan di kehidupan kelak, selain diperlukan sifat berbagi juga pengendalian nafsu dan rajin semadhi. Ini sloka yang normatif sifatnya. Saya lanjut ke sloka 275.

Berikut adalah orang yang dinyatakan akan memperoleh kesenangan sekarang dan dikemudian hari: selalu berusaha giat melakukan kebajikan dan kebenaran, dengan kebenaran pula harta kekayaan dicarinya, lalu kenikmatan dinikmatinya dengan cara yang benar, tekun bersembahyang kehadapan Tuhan dan leluhur, bakti kepada orang tua serta orang suci.

Sloka ini sudah sangat jelas. Kebahagiaan di saat kehidupan ini jika tetap dipertahankan dengan melakukan kegiatan bajik dan rajin bersembahyang maka di kehidupan kelak pun kebahagiaan masih ada padanya. Saya teruskan ke sloka 276.

Mereka yang tidak mempelajari ilmu pengetahuan, tidak mengekang nafsu dan berpantang, tidak melakukan sedekah, tidak sembahyang, tidak bersyukur, selalu berbuat jahat; mereka yang hidup seperti ini tidak akan memperoleh kesenangan saat ini pun saat kehidupan yang lainnya.

Sloka ini adalah kebalikan dari sloka sebelumnya, di kehidupan sekarang tidak senang dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan pula, maka dalam kehidupan nanti selamanya pula tak akan memperoleh kesenangan. Saya lanjut ke sloka 277.

Mereka yang tidak dirasuki oleh amarah dan kebencian, mereka yang mencintai kebenaran, tetap teguh dalam pengendalian indrawi, mengasihi segala makhluk seperti mengasihi diri sendiri; orang yang melakukan hal tersebut akan memperoleh pahala yang sama dengan orang yang tekun mengunjungi dan bersembahyang ke tempat-tempat suci.

Perjalanan menuju tempat suci ini biasa disebut tirthayatra. Ini hal yang baik dan banyak dilakukan orang. Dengan cara itulah mereka akan mendapatkan kebahagiaan kelak. Namun jika orang bisa mengendalikan dirinya, kasih sayang kepada setiap makhluk dan selalu bisa menahan kemarahan dan kebenciannya, maka pahalanya sama dengan melakukan tirthayatra itu. Jadi  bukan tirthayatra saja satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan. Saya terukan ke sloka 278.

Adapun orang yang sama sekali tidak bersembahyang dan mengunjungi tempat-tempat suci, sama sekali tidak penah berpuasa mengendalikan nafsunya, tidak menyucikan rohani dan jasmani, tidak bersedekah, dan sering berbuat jahat, maka dialah orang yang paling miskin adanya.

Sesungguhnya dalam sloka bahasa Sansekerta kata yang dipakai adalah daridra. Lebih buruk dari orang miskin, barangkali bisa disebut orang laknat atau orang yang mendapatkan azab. Sungguh malang menjadi orang seperti ini. Saya lanjut ke sloka 279.

Keutamaan melakukan tirthayatra sungguh-sungguh suci, lebih dari pada melakukan yadnya dan mampu dilakukan oleh orang yang tak memiliki harta cukup.

Di sloka ini dijelaskan tentang keutamaan melakukan perjalanan ke tempat2 suci. Itu bagus karena bisa dilakukan dengan cara sederhana, kita hanya berkunjung ke tempat itu dan bisa bersembahyang semampu yang kita bawa. Namun dalam kenyataannya banyak yang justru membawa persembahan besar ke tempat suci yang dikunjungi. Sloka ini menyarankan kesederhanaan dalam melakukan tirthayatra.

Umat sedharma yang budiman. Kita jeda di sini karena sloka tentang harta dan kaitannya dengan kesenangan sudah berakhir. Selanjutnya kita akan berjumpa dengan harta dan kaitannya dengan kemiskinan. Bagaimana gambaran orang miskin itu dalam kaitan dengan harta kekayaan dan apa kendala yang mereka hadapi. Mari kita ikuti nanti pada seri berikutnya. Sampai jumpa, rahayu.

 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar