Minggu, 20 September 2020

Sarasamuscaya Sloka 280-299 Membantu Orang Miskin




Umat sedharma yang terkasih. Kita lanjutkan pembacaan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak ke sloka ke 280. Tema kali ini masih tentang harta dan kekayaan, namun dalam kaitan dengan kemiskinan atau orang-orang miskin. Seperti biasa yang sudah-sudah, saya tak akan menyertakan versi bahasa Sansekerta maupun dalam bahasa Jawa Kuno. Nanti dalam buku yang saya terbitkan sloka ke dalam dua bahasa itu akan disertakan secara komplit. Saya mulai dengan sloka 280.

Miskin kebajikan sama dengan kematian, keadaannya bagaikan wilayah luas dengan penduduk yang banyak, namun tanpa pemimpin yang baik. Bagaikan upacara kematian tanpa doa-doa, bagaikan upacara besar tanpa ada sedekah.

Sloka ini menekankan kembali tentang perlunya orang bebuat bajik karena tanpa itu mereka sama dengan orang yang tidak berguna, dalam hal ini diibaratkan sebagai orang yang sudah mati. Seberapa pun luasnya sebuah negara dan seberapa besar pun jumlah penduduknya, negara itu tergolong miskin kalau pemimpinnya tidak baik. Begitu pula yadnya apa pun yang dibuat kalau tidak disertai dengan memberi sedekah, maka tidak ada artinya. Jadi kemiskinan yang diulas dalam sloka ini adalah kemiskinan berbuat kebajikan. Bukan miskin harta kekayaan. Saya lanjut ke sloka 281.

Jika ada orang yang miskin harta dan ia juga suka melakukan tindakan kejam dan jahat, orang seperti ini sesungguhnya telah mati dalam hidupnya.

 Nah di sloka ini baru disebutkan tentang kemiskinan harta. Jika orang yang miskin harta itu masih juga suka melakukan tindakan yang tidak baik, maka sesungguhnya ia sama sekali tak berguna dalam hidup ini. Dia juga diibaratkan orang yang sudah mati. Maka sesungguhnya jika kita jatuh miskin, tetapi tetap berbuat baik, maka ada saja orang yang siap menolongnya atau pun memberikan sedekah. Tuhan pasti tak membiarkan orang miskin itu terlunta-lunta, menanggung sendiri deritanya. Saya lanjut ke sloka 282.

Orang yang miskin betapa pun pandainya dia, betapa pun tepatnya dia memberi nasehat yang berguna, maka apa yang disampaikannya itu tak akan ada orang mengindahkannya. Apalagi jika orang miskin itu bodoh, maka sungguh-sungguh tidak akan ada orang yang sudi mendengarkan kata-katanya.

Sesungguhnya sloka ini menyebut kemiskinan itu bukan kemiskinan harta tetapi kemiskinan jiwa. Kepribadiannya buruk. Betapa pun pintarnya dia berbicara, pengetahuannya luas, tetapi kepribadiannya buruk maka orang tak mau memperhatikannya. Tetapi kalau kita lihat fenomena di masyarakat saat ini, orang yang miskin harta pun banyak diperlakukan seperti itu, apa pun yang dia katakan tidak banyak diperhatikan orang. Dalam rapat-rapat adat, misalnya, kebanyakan orang yang miskin itu tahu diri sehingga tak banyak bicara. Mungkin ini persoalan percaya diri saja, atau mereka menyadari kemiskinan itu membawa beban. Padahal tak seharusnya begitu. Kecuali memang orang yang miskin harta itu kebetulan pula tidak begitu pintar atau memang bodoh, sudah wajarnya orang tak memperhatikan apa yang dia katakan. Saya lanjut ke sloka 283.

Kenyataannya, orang yang miskin, walau banyak sekali kecakapan dan kepandaiannya, ia tidak dianggap sempurna keindahannya. Kekayaanlah yang menyebabkan orang itu menjadi sempurna, sebagaimana halnya sang surya memberi sinar pada makhluk hidup yang menyebabkan semua itu cemerlang.

Sloka ini memberi semangat kepada orang miskin, terutama orang miskin harta untuk memanfaatkan apa yang dia punya, lebih-lebih kalau dia cakap, agar mencari kekayaan. Bekerja dengan memanfaatkan ilmunya, tidak bermalas-malasan. Dan gunakan kepandaian itu untuk mengejar harta. Karena dengan kekayaan itulah orang akan menjadi lebih sempurna. Inilah alasannya kenapa harta itu harus dicari dengan sekuat tenaga karena akan menyempurnakan kecakapan yang kita miliki. Saya lanjut ke sloka 284.

Orang yang miskin harta demikian juga orang yang candala sama sama tidak bisa melaksanakan sedekah. Orang candala sedekahnya tidak diterima sedangkan orang miskin tidak ada kemungkinan untuk bersedekah, karena tidak ada yang bisa disedekahkan.

Yang disebut candala itu adalah orang yang berkebutuhan khusus, misalnya, cacat badan secara permanen. Orang seperti ini memang tidak punya kewajiban dalam bersedekah, justru mereka inilah yang berhak menerima sedekah. Sedangkan orang miskin tidak wajib memberi sedekah karena memang kebutuhannya lebih banyak dari harta yang dia punya. Apa yang disedekahkan. Sloka ini sesungguhnya juga memberikan penjelasan bahwa ada orang yang tidak diwajibkan bersedekah karena kemampuan dan ketiadaannya. Saya lanjut ke sloka 285.

Demikianlah orang miskin harta dan miskin jiwa, rumahnya bagaikan neraka saja keadaannya. Sandang, pangan dan papan sulit diperoleh. Inilah alasan kenapa harta dan kebajikan itu sangat penting keberadaannya.

Sloka ini sudah jelas hanya menggambarkan keadaan hidup orang miskin. Karena itu marilah dalam kehidupan ini kita berusaha sekuat tenaga untuk mengejar harta kekayaan, namun dalam jalan dharma tanpa mengabaikan berbuat baik. Saya lanjut ke sloka 286.

Orang yang miskin harta ia akan dinamai orang kurus walau pun badannya gemuk. Juga jika orang itu tak punya emas, kurus pulalah ia dinamai. Jadi bukanlah kurusnya badan yang menyebabkan seseorang itu disebut kurus.

Sloka dalam bahasa Jawa Kuno ini penuh teka-teki dan terlalu berkulit sehingga perlu dikupas. Kalau dibaca dalam bahasa Sansekerta kesimpulannya jadi sederhana, yakni orang yang miskin tidak akan dapat menjamu apalagi menyedekahkan sesuatu kepada orang-orang yang berkunjung ke rumahnya. Inilah alasan lain kenapa harta itu penting untuk dimiliki. Karena ada kehormatan kita didatangi tamu dan menjadi kebahagiaan tersendiri kalau tamu itu dijamu meski sekadarnya. Saya lanjut ke sloka 287.

Karena si miskin hanya mengandalkan makanan dari sahabatnya sampai terpenuhi keperluannya. Sedangkan dia tak mampu membalasnya karena kemiskinannya. Tapi kalau si miskin tak bisa membalas karena lobanya, apalagi menyembunyikan kepunyaannya sendiri, ia bisa disebut sudah mati dengan hidupnya yang demikian.

Sloka ini menggambarkan orang miskin yang tak berbudi dan sama sekali tak bersyukur sudah dibantu. Mereka justru merasa senang dibantu terus dan menyembunyikan harta kepunyaannya betapa pun sedikitnya harta itu. Perbuatan ini sangatlah tidak baik, karena itu berarti orang itu sudah mati jiwa dan rasanya. Ini hal yang tak patut untuk ditiru. Saya lanjut ke sloka 288.

Lebih ringan penderitaan yang menimpa orang miskin yang memang dasarnya sudah miskin dan menderita sejak lahir, dibandingkan penderitaan orang miskin yang pernah kaya.

Sloka ini sifatnya umum saja. Mereka yang miskin dari masa kecilnya sudah terbiasa hidup dengan kekurangan. Sementara orang yang miskin tetapi tadinya sempat kaya,  penderitaan teramat berat. Sloka ini hanya memberi peringatan, di kala kita kaya hiduplah lebih teratur dan tidak foya-foya karena kekayaan bisa lenyap manakala kita tak bisa menggunakannya. Misalnya, dipakai untuk berjudi atau mabuk-mabukan. Saya lanjut ke sloka 289.

Biasanya orang kaya saat makannya menyisakan banyak dari makanan yang dimakan lalu dibuang sia-sia, sedangkan si miskin akan makan apapun yang tersedia dan tanpa sisa.

Sloka ini juga bersifat petuah bagaimana agar kita terbiasa hidup sesuai dengan kebutuhan. Misalnya dalam hal makan. Janganlah mengambil makanan berlebihan yang pada akhirnya menjadi sia-sia terbuang. Dalam petuah tetua kita di Bali pada masa lalu, ada perumpamaan dalam hal mengambil makanan. Dianjurkan ambil secukupnya dan kalau mengambil makanan yang banyak haruslah dihabiskan, jika tidak habis dan tersisa maka ayam peliharaan kita akan banyak yang mati. Apa hubungan antara sisa makanan dengan ayam yang mati, tentu tak masuk akal. Tetapi begitulah nasehat di masa lalu dan anak-anak mempercayainya. Saya lanjut ke sloka 290.

Mereka yang miskin selalu dapat makan dengan enak karena dia makan lantaran laparnya, sedangkan orang kaya sering sulit menikmati makanannya karena tidak pernah merasakan lapar.

Sloka ini mau bicara soal perasaan tatkala makan. Kalau kita sudah lapar, apa pun makanan yang kita makan, pasti terasa enak. Namun bagi orang kaya akan memilih-milih makanan mana yang enak dan mana yang tidak enak. Mereka tak pernah merasakan lapar karena setiap saat bisa nyemil. Saya lanjut ke sloka 291.

Kelaparan dapat menutupi kebajikan dan kebenaran, ia juga dapat melenyapkan keteguhan hati. Dan lidah selalu ingat dengan rasa yang enak, inilah yang menyebabkan lapar.

Dua hal yang mau disampaikan dalam sloka ini. Kelaparan itu bisa membuat kita menutup kebenaran dalam arti bisa berbuat jahat. Orang lapar yang tak bisa menahan diri bisa melakukan pencurian. Keteguhan hatinya berbuat bajik bisa hilang karena lapar. Lalu hal kedua, kalau orang terbiasa memanjakan lidahnya dengan hal-hal yang enak, maka rasa laparnya selalu muncul meski perutnya sudah kenyang. Dalam masa kini penyakit ini sering disebut lapar tersembunyi, hanya masalah perasaan saja. Intinya jangan memanjakan lidah. Saya lanjut sloka 292.

Mereka yang bodoh akan selalu menyesali perbuatan buruknya di waktu lampau apabila mengalami kemiskinan saat ini. Tapi, mereka hanya menyesali saja tanpa pernah berusaha untuk menanam kebajikan di hidupnya kali ini.

Sloka ini menekankan tentang penyesalan yang selalu terlambat dan datangnya belakangan. Dari pada meratapi penyesalan itu maka lebih baik berbuat kebajikan dengan menebus ketidak-bajikan di masa lalu. Saya lanjut ke sloka 293.

Kenapa orang tidak berhasil dalam pencarian harta dan perolehan kesenangan meskipun telah diusahakan dengan giat, sebab kegagalan usaha dikarenakan dulu ia tidak pernah menanam kebajikan dan kebenaran, lalu apa yang dapat dipetiknya sekarang? Walaupun kali ini gagal, sekaranglah kesempatan baik untuk menanam kebajikan dan kebenaran dan pasti akan berbuah kelak dan kita dapat memanennya.

Sloka ini menyinggung soal hukum karma atau karma phala. Jika di masa lalu seseorang tak pernah menanam kebajikan berdasarkan dharma, maka usahanya sekarang seringkali menemui kegagalan. Maka dibandingkan melakukan penyesalan, mulailah menanam kebajikan saat ini meski usaha sering gagal, karena nanti bisa berbuah baik yang akan dipetik. Intinya selalu ingat berbuat baik dalam mencari harta kekayaan. Saya lanjut ke sloka 294.

Ada orang miskin yang mempunyai kesadaran besar tetapi sia-sia juga usahanya disebabkan oleh simpanan pahala baik di masa lalu tidak mempunyai unsur mendapatkan kebahagiaan saat ini. Maka taburlah terus kesadaran baik itu sekarang dan nikmati hasilnya nanti.

Sloka ini berkaitan dengan sloka sebelumnya. Jangan putus asa kalau usaha itu tak memenuhi harapan dan tetaplah dengan kesadaran baik, dengan penuh kebajikan melanjutkan usaha itu. Niscaya nanti akan diperolehj keberuntungan. Saya lanjut ke sloka 295.

Mereka yang tidak memperoleh kesenangan hingga hari tuanya, seolah-olah hidupnya selalu dipenuhi oleh kemelaratan dan kesengsaraan, jangan pernah putus asa dalam pelaksanaan kebajikan dan kebenaran, kelak pastilah memperoleh kesenangan di surga dan kemuliaan di kehidupan berikutnya.

Sloka ini sudah jelas hanya menyimpulkan nasehat dari sloka-sloka sebelumnya. Intinya tetap jangan berputus asa berbuat yang baik. Saya lanjut ke sloka 296.

Pohon kayu yang tumbuhnya condong dan beranting bengkok-bengkok dan tidak subur, lagi pula dimakan rayap, dan menjadi sarang semut batang pohonnya. Kulitnya tergores dan hangus terbakar oleh api kebakaran hutan, tumbuhnya di atas batu dan batangnya tanpa getah lagi karena ia tumbuh di tanah yang gersang, keadaannya sunguh sangat merana. Namun masih lebih merana keadaan orang miskin yang selalu berharap-harap akan sesuatu yang tidak bisa diperolehnya lalu berbuat jahat.

Sloka ini dalam bahasa Jawa Kuno penuh perumpamaan. Bagawan Wararuci rupanya sangat senang dengan perumpaan hutan, padahal dalam sloka bahasa Sansekerta tak ada perumpamaan itu. Maksud yang mau dikatakan dalam sloka ini hanyalah betapa buruknya jadi orang miskin yang selalu berharap sesuatu dan bahkan sampai berbuat jahat, padahal jika mau berusaha lebih keras dan berbuat baik barangkali nasibnya lebih baik. Saya lanjut ke sloka 297.

Mereka yang diperbudak oleh harapan-harapan akan pemberian, akan mudah dipermainkan oleh orang yang diharapkan memberi, di suruh kesana-kemari, jalan, berdiri, duduk, berkatakata, diam. Meskipun begitu mereka yang berharap tetap patuh karena besarnya harapan akan pemberian.

Nah sloka ini menjelaskan sloka sebelumnya, kalau harapan yang ditunggu itu terlalu besar akan mudah diombang-ambingkan oleh orang yang mau memberi harapan itu. Ini berbahaya, kemiskinan itu akan dipermainkan dengan mudah. Maka lebih baik kita jangan berharap banyak tetapi berbuatlah yang banyak. Saya lanjut ke sloka 298.

Tuhan menciptakan berbagai makhluk dengan bentuk, sifat dan keistimewaannya masing-masing, namun satu yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan bahkan hingga hari ini, yakni manusia yang tidak membenci orang yang datang menghamba dengan harapan akan sesuatu secara berlebih-lebihan.

Sloka ini sekarang berbalik mengajarkan orang yang memberi harapan. Janganlah membenci mereka, jangan permainkan harapan mereka secara berlebihan. Bantulah dengan ikhlas. Artinya kalau memakai bahasa sekarang, kemiskinan itu jangan dijadikan obyek apalagi dijadikan gorengan politik. Saya lanjut ke sloka 299.

Para peminta yang sangat berharap akan perolehan sesuatu, keadaannya tiada beda dengan orang yang hampir mati, nafasnya tersumbat di kerongkongan, terputus-putus dalam berkata, keringatnya mengucur, gerakannya resah, mukanya pucat. Demikianlah keadaan pengemis yang sangat berharap akan sedekah, terlihat persis seperti orang yang hampir mati.

Ini sloka penutup dari tema tentang Harta Kekayaan dan perlakuan terhadap orang miskin. Di sloka penutup ini sepertinya dikembalikan ke sloka-sloka awal bahwa orang miskin atau mereka yang menderita karena ketiadaan harta, para peminta yang butuh sedekah, diibaratkan orang yang sekarat yang hampir mati. Maka kewajiban kita yang berpunya untuk membantu mereka tanpa pilih kasih, tanpa berharap mereka menjadi budak pelayan kita, tanpa membenci dan tanpa meremehkan mereka. Bersedekah haruslah dengan tulus tanpa mengharapkan pamrih.

Umat sedharma yang berbahagia, semoga kita selalu terhindar dari kepapaan hidup. Dengan berakhirnya tema ini kita jeda di sini dan nanti kita akan berlanjut dengan tema Orang Berilmu dan Berbudi. Ini menarik bagaimana memadukan ilmu dan budi itu dalam etika kehidupan ini. Tetaplah bersama saya dalam pembahasan dan memahami Kitab Sarasamuscaya. Rahayu.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar