Sabtu, 19 September 2020

Terpapar

Putu Setia | @mpujayaprema

Kematian adalah misteri. Kapan waktunya hanya Tuhan yang tahu, kapan Beliau memanggil. Tapi, konon kita bisa menentukan saat kematian itu sendiri. Misalnya dengan bunuh diri meloncat dari gedung tinggi. Atau menembak diri sendiri, seperti yang dilakukan terdakwa korupsi Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, seusai diperiksa kejaksaan. Nah, para leluhur kita di Jawa dulu menyebutnya itu salapati. Jalan kematian yang salah dengan neraka terburuk di akhirat. Namun, jalan itu pun tetap dalam perdebatan. Kalau Tuhan “belum berkenan” kan bisa saja pistol untuk bunuh diri itu macet, lalu petugas memergoki.

Bagaimana dengan kematian akibat terpapar Covid-19? Tentu ini tergolong kematian yang jalannya benar, bukan bunuh diri. Siapa yang mau terpapar virus jahanam itu? Semua orang pasti menghindar, meski pun kesadaran untuk menghindar disertai kelengahan untuk tidak mentaati ketentuan yang ada. Misalnya, tak mau memakai masker.

Dokter sering mengingatkan. Mereka yang usia lanjut apalagi punya penyakit bawaan seperti jantung, diabetes, asam lambung, radang paru, pernafasan akut, sangat rentan terpapar corona. Di sini virus menjadi penyebab penyakit bawaan itu memuncak yang menyebabkan kematian. Masalahnya, jika kita sadar punya penyakit bawaan itu, lalu kita tetap melakukan aktifitas seperti keadaan normal, tetap bekerja di kantor, hadir dalam rapat-rapat, apakah itu tidak “mengundang kematian”? Apalagi kita diingatkan, semua orang di sekeliling kita, anggap membawa virus, hanya karena imun dia kuat dia nampak sehat.


https://youtu.be/UMqEl3B2rI0

Ada contoh baik untuk renungan. Sembari berduka yang dalam, dikabarkan Sekda DKI Jakarta, Saefullah, meninggal dalam status terpapar Covid-19. Beliau mengidap asam lambung dan jantung. Sejak 4 September merasa tak enak badan. Tapi karena tanggung-jawabnya yang besar terhadap tugas, dia sempat hadir pada sidang paripurna DPRD 7 September. Meski sebentar dan pulang karena meriang. Sejak itu beliau istirahat, lalu dirawat di rumah sakit, wafat 16 September dalam status terpapar Covid-19.

Tak dijelaskan kapan dan di mana Saefullah terkena virus. Karena itu yang penting dipikirkan, harus ada kebijakan bahwa setiap pejabat – setinggi apa pun jabatannya – jika mengidap penyakit bawaan yang berkaitan dengan pernafasan, harus bekerja dari rumah. Tentu ada kendala pejabat penting semacam Sekretaris Daerah bekerja dari rumah, tapi mau tak mau harus kita ikuti. Ini situasi tidak normal.

Kita menghadapi dilema. Di satu pihak pejabat penting harus tetap kerja keras dalam situasi seperti ini. Namun Covid-19 tak bisa diajak main-main, kita harus selalu menjaga protokol kesehatan jika tak ingin terpapar. Yang bernama protokol kesehatan itu sejatinya tidak sama untuk semua orang. Apa yang disebut 3 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) adalah standar untuk orang sehat. Jika orang itu punya sakit yang rentan dengan virus, 3M itu masih ditambah dengan “sebaiknya tinggal di rumah”.

Makin banyak pejabat publik terpapar Covid-19. Walikota terpapar, anggota DPR terpapar, menteri terpapar. Kurang apa mereka membentengi dirinya. Jangan-jangan karena di sekeliling mereka ada banyak pembawa virus dalam status “orang tanpa gejala”. Karena itu selain berterus-terang dengan penyakit, yang terbaik memang memperbanyak tes usap. Sayangnya, tes usap biayanya mahal. Dan ini menyebabkan orang sering berkata, “Saya sehat-sehat saja kok.”

Kematian itu memang hak perogratif Yang Maha Kuasa. Tapi, mari kita berupaya tetap sehat.

(Koran Tempo 19  September 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar