Senin, 07 September 2020

Sarasamuscaya Sloka 251 - 260 Perbuatan yang Terpuji


Umat sedharma yang berbahagia. Kita lanjutkan pembahasan Kitab Sarasamuscaya, kitab yang berisi himpunan etika dalam meniti kehidupan ini himpunan Bhagawan Wawaruci. Saya tidak menyertakan bahasa Jawa Kuno atau di Bali disebut bahasa Kawi, mau pun bahasa Sansekerta, karena pembahasan yang lengkap termasuk sloka dalam kedua bahasa itu nanti ada di buku saya. Pada seri ini temanya adalah Perbuatan yang Terpuji. Cukup ringkas, hanya terdiri dari 10 sloka, mulai dari sloka 251 sampai sloka 260. Baiklah, saya mulai dengan sloka ke 251.

Adapun yang harus diingatkan adalah pertumbuhan jasmani. Masa kanak-kanak, masa dewasa, dan masa berumur tua. Kemudian disesuaikan lagi dengan harta benda kepunyaan kita dari hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Setelah itu sesuaikan dengan penampilan, cara kita berpakaian, berhias, berbicara dan berprilaku. Jika kita sudah melakukan penyesuaian yang berimbang maka itulah yang disebut dengan bisa mengendalikan diri.

Orang yang santun adalah orang yang menyesuaikan diri dengan aturan norma dan etika yang berlaku di masyarakatnya. Demikian juga hendaknya prilaku disesuaikan dengan umur, perilaku dan umur disesuaikan dengan harta kepunyaan, disesuaikan dengan pakaian dan perhiasan yang dipergunakan. Jika kita sudah mampu menyesuaikan semuanya itulah yang dimaksud bisa mengendalikan diri. Jangan kita berpenampilan nyeleneh, sudah tua berlagak seperti anak-anak muda. Sudah berumur suka menggoda para remaja, mabuk-mabukan di jalanan, naik motor ugal-ugalan. Apalagi kita memakai hiasan dengan meminjam di sana sini, bukan dari harta kita sendiri. Intinya adalah pengendalian diri ini disesuaikan juga dengan usia dan keadaan kita. Saya lanjut ke sloka 252.

Adapun orang yang harus dihibur hatinya adalah orang lelah, orang sakit, orang miskin, orang yang ketakutan, orang yang lapar, orang susah, orang yang hartanya habis dicuri atau dirampok, orang yang berduka cita. Semua orang ini patut dibesarkan hatinya.

Inti dari sloka ini adalah hendaknya manusia senantiasa berusaha untuk menyenangkan hati dari semua orang, terutama orang-orang yang sedang kelelahan, orang yang sedang sakit, orang yang terhina dan dikucilkan, orang yang hidup miskin, orang yang sedang ketakutan, orang yang kelaparan, serta orang yang sedang menderita bencana, musibah atau nasib malang. Janganlah penderitaan mereka itu kita jadikan bahan tertawaan. Atau kita syukuri karena kita tahu kesalahan ada pada mereka kenapa sampai menderita begini. Misalnya, ada orang yang rumahnya kebakaran, lalu mereka menderita. Kita justru mencela mereka karena ceroboh tidak mematikan kompor selama ditinggal pergi. Jangan bebani penderitaan mereka pada saat masih dalam kesusahan. Nanti kalau kesusahannya sudah dilupakan, barulah kita ingatkan mereka agar lebih berhati-hati. Saya lanjut ke sloka 253.

Tenangkan hati orang yang sedang kebingungan. Marilah sebarkan ajaran agama dan kesopan-santunan terhadap empat golongan masyarakat. Berbuatlah kebajikan untuk umum dan ajarkanlah kesusilaan.

Sloka ini menekankan pada kita untuk menyebarkan ajaran agama dan kebaikan dengan memperhatikan empat tahapan dalam kehidupan manusia. Itu yang dimaksudkan golongan di sini. Tahap orang masih muda dan sedang belajar menuntut ilmu, saat orang sudah berumah tangga, saat orang sudah bersiap meninggalkan kenikmatan duniawi, dan terakhir saat orang sudah lepas dari segala nafsu dan menjadi sanyasin. Jadi, ajaran agama yang mana pantas diberikan kepada orang pada tahap-tahap kehidupan itu, kesusilaan macam apa yang harus diberikan pada tahap itu. Semua tahapan itu ada bedanya. Orang yang masih muda diberikan pengetahuan agama yang tinggi tentulah tak bisa diresapinya. Sementara itu kita pun harus menghilangkan segala kemalasan dan terus belajar tentang kebajikan dan kebenaran dari kitab suci. Karena belajar tak mengenal usia. Saya lanjut ke sloka 254.

Karena jika orang menyeleweng dari kesusilaan, percumalah kebajikan yang telah diperbuatnya, tak akan ada pahalanya kelak. Ada pun orang yang teguh iman dan berprilaku susila, sempurnalah kebajikan yang diperbuatnya dan sempurnakan pahala yang diterimanya kelak.

Sloka ini membedakan antara kesusilaan dan kebajikan. Susila lebih pada tingkah laku, prilaku kita dalam kehidupan di masyarakat. Kebajikan adalah niat atau usaha baik kita sesuai dengan ajaran agama. Misalnya, kita suka bersedekah, membantu orang yang kesusahan. Namun kita sering melanggar kesusilaan, misalnya, mabuk-mabukan, mondar-mandir di jalanan dengan motor yang knalpotnya memekakkan, suka berjudi dan seterusnya. Antara kesusilaan dan kebajikan itu harusnya seriring agar kita mendapat pahala dalam kehidupan kelak. Saya lanjut ke sloka 255.

Beginilah seharusnya tingkah laku seseorang yang sudah berkeluarga. Harus bisa mengendalikan hubungan suami istri pada saat-saat tertentu terutama pada hari-hari suci.

Sloka ini dalam bahasa Sansekerta berlaku umum, tidak ada penjelasan apa pun. Namun Bhagawan Wararuci dalam terjemahan bahasa Jawa Kuno memberikan rincian kapan hubungan suami istri itu tak boleh dilakukan. Disebutkan di situ agar pasangan suami istri hidup langgeng dalam berumah tangga, menghindari untuk melakukan senggama pada bulan mati atau tilem, pada penanggal ke 14 atau sehari sebelum bulan purnama atau di Bali disebut purwani, pada pengelong ke delapan. Pangelong ini adalah hitungan peredaran bulan menuju bulan mati, jadi pengelong ke delapan sama dengan seminggu sebelum bulan mati. Pengendalian diri dalam berhubungan suami istri ini disebut dengan brata amertha snataka.

Saya lanjut ke sloka 256.

Jika ingin memperoleh surga hendaknya janganlah minum-minuman keras, jangan berbohong, jangan berzinah, jangan mencuri, membunuh dan menyiksa makluk hidup.

Sloka ini sudah jelas. Kalau dikaitkan dengan sloka sebelumnya, penekanannya adalah jangan melakukan hubungan suami istri kepada orang yang bukan suami istri. Misalnya memperkosa orang atau berselingkuh. Ini perbuatan yang sangat tidak baik. Saya lanjut ke sloka 257.

Batasi apa yang dimakan, atur caranya makan dan sesuaikan dengan waktu yang tepat untuk makan. Jangan mengumbar nafsu untuk bersolek dan menghias diri. Jangan berfoya-foya dan malas-malasan jika ingin mendapatkan sorga.

Sloka ini juga sudah jelas dan gamblang. Soal mengatur makanan dimaksudkan supaya kita tidak rakus, ada saat-saat tertentu untuk makan dan ada batasannya. Yang jelas makanan yang memabukkan harus dihindari. Saya lanjut ke sloka 258.

Hendaknya selalu  melakukan ajaran yama. Ada pun ajaran niyama bolehlah tidak secara tetap dilakukan. Karena orang yang terlalu mengikatkan diri  pada ajaran niyama, tanpa ada dasar dan menyiapkan diri  untuk melakukan yama, ia akan terjerumus ke jurang sengsara.

Yama itu adalah ajaran mengendalikan nafsu. Sedangkan niyama adalah meneguhkan diri secara mental. Berlatih mengendalikan nafsu itu harus terus menerus dilakukan. Kalau dasarnya ini tidak kuat, bagaimana kita bisa meneguhkan mental kita. Karena itu mengendalikan nafsu (yama) itu yang harus diperkuat sebelum kita dengan yakin bisa meneguhkan mental kita. Pada akhirnya hanya orang yang bisa mengendalikan nafsu indrawinya yang memiliki keteguhan mental. Jika tidak niscaya akan gagal dalam usahanya. Saya lanjut ke sloka 259.

Adapun brata yang disebut yama ada sepuluh banyaknya. Yaitu anresangsya, ksama, satia, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madurya, mandawa. Demikianlah ke sepuluh brata itu harus ditaati dengan ketat.

Sloka ini adalah penjelasan tentang ajaran Yama. Dalam bahasa Sansekerta tidak ada rincian penjelasan ajaran yama, pengendalian nafsu yang sepuluh itu. Dalam bahasa Jawa Kuno, Bhagawan Wararuci menjelaskan dengan rinci. Anresangsya adalah orang yang menenggang perasaan orang lain dan jangan mementingkan diri sendiri. Ksama adalah orang yang tahan menghadapi cobaan suka duka hidup dan bisa memaafkan. Satia adalah orang yang tidak ingkar akan kata-kata atau tidak berdusta. Ahimsa adalah menyenangkan segala makhluk hidup atau tidak menyiksa dan membunuhnya. Dama adalah orang yang sopan santun dan mampu menasehati diri sendiri, arjawa adalah orang yang jujur dan selalu berterusterang. Priti adalah orang yang punya perasaan kasih sayang dan berbelaskasih melihat penderitaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Prasada adalah orang yang berhati bersih dan berpikir jernih. Madurya adalah orang yang tutur katanya halus dan sopan. Mardawa adalah orang yang berbudi halus dan lebut hatinya. Saya lanjut ke sloka 260.

Adapun brata yang bernama Niyama ada sepuluh. Yaitu dana, ijiya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mona, snana. Inilah rincian niyama yang harus dikerjakan.

Seperti sloka sebelumnya, Bhagawan Warasuci menjelaskan arti setiap kata dalam ajaran Niyama ini. Dana adalah bersedekah dengan tulus ikhlas. Ijaya yaitu pemujaan terhadap Tuhan dan leluhur. Tapa artinya pengekangan hawa nafsu.  Dhyana memusatkan pikiran kepada Tuhan saat perenungan. Swadhyaya mempelajari kitab suci. Upasthanigraha mengendalikan nafsu birahi atau seksual. Brata mengikuti pantangan yang telah ditetapkan. Upawasa artinya berpuasa. ; Mona artinya mengendalian kata-kata. Snana artinya penyucian diri lahir batin. Kalau kita mempelajari meditasi, tahap-tahap dalam Niyama ini banyak dipraktekkan.

Nah umat sedharma yang berbahagia. Tema tentang Perbuatan yang Terpuji beserta uraian Yama dan Niyama ini sudah berakhir di sini. Pada seri selanjutnya kita akan bertemu tema tentang Artha yaitu harta kekayaan yang berupa harta benda. Bagaimana kita mengumpulkan harta dengan baik, bagaimana memanfaatkannya, apakah kita terikat dengan harta dan seterusnya akan dibahas nanti. Jangan lupa untuk mengikuti terus seri pembahasan kitab Sarasamuscaya. Sampai jumpa. Rahayu.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar