Sabtu, 21 Desember 2019

Selamat Natal

Putu Setia | @mpujayaprema
Hari Raya Natal dalam hitungan hari. Kepada yang merayakan perkenankan saya mengucapkan Selamat Hari Natal, semoga kedamaian senantiasa hadir di bumi ini. Saya tak punya beban untuk mengucapkan Selamat Natal karena tidak menemukan larangan dalam keyakinan saya.

Saya membaca di Twitter ada seorang dosen Universitas Indonesia yang siap mengucurkan hadiah Rp 50 juta jika ada yang menunjukkan ayat-ayat yang melarang mengucapkan Selamat Natal di kitab suci Al Quran. Saya tak tertarik mengikuti alur postingan itu, apakah sudah ada yang mendapatkan hadiah. Yang jelas saya merasakan bahwa polemik boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal, terutama bagi kaum muslim, sudah berkurang ramainya dibandingkan tahun-tahun lalu. Begitu pula heboh tentang pro kontra menggunakan topi Santa, terutama untuk karyawan di mal dan pasar swalayan, saya kira berkurang tahun ini. Semoga ini pertanda kita mulai dewasa dalam menyikapi atribut keagamaan.

Atau kita sudah semakin capek. Di dekat rumah anak saya di Denpasar ada swalayan lumayan besar. Kalau menjelang lebaran, swalayan itu dihias dengan ketupat lebaran, juga simbol-simbol masjid. Karyawan perempuannya berkerudung. Jika menjelang Imlek swalayan dihias lampion warna-warni. Kalau menjelang hari Galungan, perayaan untuk umat Hindu di Bali, swalayan dihias rangkaian janur mirip hiasan di tempat ibadah. Kini menjelang Natal sudah ada pohon cemara dengan lampu kelap-kelip. Cucu saya senang sekali dengan gemerlap itu. Ibunya tentu lebih senang lagi karena semua itu pertanda ada diskon. Obral sampai 70 persen.
Bagi saya, pernak-pernik itu adalah budaya, tak akan mempengaruhi keimanan. Tapi kenapa belakangan ini kita mempertanyakan budaya itu, termasuk budaya memberi ucapan selamat kepada orang yang berbeda keyakinan? Budaya itu lahir dari tradisi yang menahun usianya, karena dianggap baik lalu dilestarikan. Ada pun agama adalah keyakinan berdasarkan pilihan kita untuk menjalani hidup yang kita anggap terbaik untuk “menuju keheningan kelak di alam sana”. Orang bisa bersama-sama dalam menegakkan budaya luhur tetapi berbeda dalam pilihan agama. Kenapa hal ini dibenturkan?

Ini bukan cuma soal umat Kristiani dan Islam. Belakangan muncul “benih-benih benturan” antara umat Kristiani dan Hindu, khususnya di kawasan Bali. Ada pertanyaan yang menggugat. Kenapa umat Kristiani yang ada di Bali dalam merayakan Natal menggunakan embel-embel budaya Bali? Saya heran kenapa pertanyaan ini muncul.

Saudara kita yang beragama Katolik dan Kristen di Bali mengenakan budaya Bali dengan penuh kesadaran, bukan embel-embel,. Mereka lahir dan berkembang dengan adat istiadat sebagaimana orang Bali pada umumnya. Karena itu ketika mereka membangun gereja dibangunlah gereja yang berbudaya Bali. Ketika merayakan Natal, gereja pun dihias dengan seni budaya Bali dan mereka memakai busana adat Bali. Apa yang salah? Justru kita bersyukur mereka tetap melestarikan budaya leluhur orang Bali.

Busana adat Bali bukan pakaian Hindu. Tak bisa diklaim bahwa beragama Hindu harus memakai budaya Bali. Bagaimana dengan umat Hindu di Jawa, Kalimantan, Sumatra dan seterusnya? Apa mereka harus memakai budaya Bali?

Mari kita belajar membedakan yang mana agama sebagai pedoman hidup kita dalam memuja Tuhan dan yang mana budaya sebagai prilaku kita dalam kehidupan sosial di masyarakat. Di luar urusan akidah dan ritual, kita adalah saudara sejati yang biasa memberi salam. Termasuk salam ketika sahabat sejati itu merayakan hari keagamaannya.

(Koran Tempo 21 Desember 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar