Minggu, 12 April 2020

Memahami Sarasamuscaya (Seri 2): Tujuan Hidup Manusia

Om Swastyastu. Umat sedharma yang terkasih. Kita lanjutkan pembacaan kitab Sarasamuscaya untuk sloka ke 4 dan seterusnya. Ini kitab yang penting untuk mempelajari bagaimana menjalani hidup ini dengan etika yang benar.

 Ini bunyi sloka 4

Apan iking dadi wwang, uttama juga ya,nimittaning angkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kotta maning dadi wwang ika.

 Menjadi manusia adalah kelahiran yang paling utama. Karena hanya dengan menjadi manusia sajalah kebajikan/kebenaran dapat dilakukan, dan hanya dari kebajikan/kebenaran itulah kesengsaraan dapat dibenahi.

 Sloka ke 4 ini masih terkait erat dengan sloka 3 dan 2 sebelumnya. Dengan penekanan bahwa kelahiran sebagai manusia itu adalah paling utama. Dalam sastra Hindu umum dikenal ada 3 jenis golongan kelahiran, pertama lahir sebagai manusia yang punya sabda bayu idep, sabda adalah berbicara, bayu adalah kekuatan, idep adalah pikiran. Lalu jenis kelahiran golongan dua yaitu binatang yang dianggap hanya punya sabda dan bayu. Artinya hanya bisa bersuara atau berbicara dan punya kekuatan atau napas.



 Binatang disebut tidak punya idep, tak punya pikiran dalam arti pikiran sebagai mana manusia. Kita tahu misalnya anjing bisa kencing sembarangan, sapi bisa berak sembarangan dan seterusnya. Sedang golongan kelahiran ketiga adalah tumbuh-tumbuhan, yang hanya punya bayu, kekuatan untuk hidup. Tak punya sabda dan tak punya idep. Tumbuh-tumbuha  tidak bisa berbicara dan minta tolong temannya kalau dia tertimpa bencana. Juga tak bisa berpikir. Nah, hidup sebagai manusia itu sangat utama, punya kekuatan untuk hidup, bisa bersuara dan berbicara, bisa berpikir yang mana baik dan yang mana buruk. Maka gunakan pikiran itu untuk kebaikan saja.

 Mari saya teruskan sloka ke 5.

 Hana pwa wwang tan gawayaken ikang subhakarma, ambaning naraka loka kangken lara, pejah pwa ya, wong alara mararing desa katunan tamba ta ngaranika, rupa ning tan katemu ikang enak kola halanya.

 Manusia jahat dianggap sebagai sampah sekaligus penyakit dunia. Sesungguhnya tidak ada kesenangan apapun dalam kejahatan itu. Si jahat selalu merasa kosong dalam setiap perbuatannya, kebahagiaan yang mereka peroleh adalah semu.

Nah di sloka ini dijelaskan lebih lanjut bagaimana kalau hidup sebagai manusia yang utama, tetapi melakukan kejahatan. Itu ibarat sampah, jadi lebih buruk dari binatang dan tumbuh2an. 

Orang yang bekerja dalam kejahatan tak akan pernah memperoleh kebahagiaan yang sejati. Koruptor yang mencuri uang rakyat adalah salah satu bentuk kejahatan, dia nampaknya bisa berfoya-foya tetapi sesungguhnya itu kebahagiaan palsu. Dia pasti punya perasaan cemas, kapan akan ditangkap dan sebagainya. Pencuri pasti tak pernah merasakan bahagia dengan harta hasil curiannya, bagaimana pun mereka menyembunyikan hal itu. Mereka tak bisa berbohong kepada hatinya.

Sloka selanjutnya, sloka ke 6.

 Paramarthan ya, pengpengen ta pwa katem waniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta,saksat handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena.

 Pergunakanlah kesempatan terbaik ini, kesempatan lahir sebagai manusia, kesempatan yang sungguh sulit didapat, kesempatan untuk bisa memasuki alam surga. Lakukanlah hanya perbuatan-perbuatan yang dapat mengantar roh ke surga dan jauhilah perbuatanpebuatan yang akan mengantar roh ke neraka. 

Sloka ini sudah gamblang dan sangat jelas. Penekanannya hanya pada mulai disebutnya alam surga. Kalau kesempatan lahir sebagai manusia, makhluk yang utama, kita pergunakan dengan baik, maka kita akan diantar ke alam surga. Sebaliknya kalau kita sia-siakan kesempatan baik ini hidup sebagai manusia, lalu melakukan perbuatan yang jahat maka roh kita akan menuju neraka.

Mari saya lanjutkan ke sloka ke 7 yang lebih panjang.

Apan iking janma mangke, paga wayang subha subhakarma juga ya, ikang ri pena pabhuktyan karmaphala ika, kalingan ya, ikang subha subhakarma mangke ri pena ika an kabukti phalanya, ri pegatni kabhuktyan nya, mangjanma ta ya muwah, tumuta wasananing karmaphala, wasana ngaraning sangakara, turahning ambematra, ya tinutning paribhasa, swargacyuta, narakasyuta, kunang ikang subha subhakarma ri pena, tan paphala ika, matangnyan mangke juga pengponga subha asubhakarma. 

Terlahir sebagai manusia adalah kesempatan untuk melakukan perbuatan bajik dan jahat, yang hasilnya akan dinikmati di akherat. Apapun yang diperbuat dalam kehidupan ini hasilnya akan dinikmati di akherat; setelah menikmati pahala akherat, lahirlah lagi ke bumi. Di akherat tidak ada perbuatan apapun yang berpahala. Sesungguhnya hanya perbuatan di bumi inilah yang paling menentukan.

 Di sloka ini kembali diulang lahir sebagai manusia adalah kesempatan yang baik untuk berbuat bijak, atau sebaliknya berbuat jahat. Nah penekanannya adalah apa yang diperbuat dalam kehidupan di dunia ini, baik atau jahat, hasilnya akan dinikmati di akherat. Pahala itu diterima di akherat dan di akherat sendiri kita tak bisa lagi melakukan koreksi. Tiba-tiba kita berpikir, ah, nanti perbuatan jahat kita akan kita perbaiki di akherat. No... tak bisa.

Tak ada pengampunan lagi di alam akherat, semua hukuman itu berdasarkan perbuatan kita di dunia. Maka usai kita melakukan hukuman di akherat maka kita dilahirkan kembali ke dunia berdasarkan hukuman yang kita terima, bisa menjadi manusia yang terhukum diberi berbagai cobaan, bisa sebagai manusia yang lebih mulia yang harus dipertahankan terus. Kalau kita terus menerus berbuat baik yang kesalahannya dianggap sangat-sangat minim, bisa jadi kita tak perlu lagi lahir ke dunia ini. Kita sudah menyatu abadi di alam akherat dengan surga tertinggi yang kita dapatkan, menyatu dengan alam Tuhan. Itulah tujuan tertinggi penganut Hindu, moksa, bukan lagi terikat dengan punarbawa atau reinkarnasi, kelahiran yang berulang2.

Mari kita jeda sejenak di sloka ke 7 ini dan selalulah berbuat baik dalam kehidupan ini sehingga kita tak sia-sia dilahirkan sebagai manusia. Sampai jumpa di seri ke 4, rahayu. Om Shanti, Shanti Shanti.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar