Mpu Jaya Prema
BAJU sebagai
identitas budaya memang sudah ada sejak lama. Kebaya, misalnya, adalah baju
identitas untuk masyarakat tradisional Jawa yang kemudian juga dikembangkan di
Bali. Karena itu tetua di pedesaan Bali menyebut kebaya itu adalah “baju
potongan Jawa”.
Masyarakat Minang di
Sumatra Barat baju yang dikenakan umumnya disebut baju kurung. Begitu pula
kekhasan baju di berbagai daerah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Papua dan
sebagainya. Bukan cuma baju juga kain yang dikenakan. Bali dan Lombok, juga ada
di sebagian daerah lain, cara memakai kain meruncing ke bawah yang disebut kancut. Namun belakangan ini sudah
banyak lelaki di Bali yang enggan memakai kancut
tapi memakai kain seperti orang Jawa. Namanya saja budaya, semua saling
mempengaruhi.
Untuk masalah yang
berkaitan dengan politik pun, baju dijadikan pula identitas, terutama warnanya.
Dan ini biasanya diambil dari warna dominan bendera partai politik itu. Coba kita
lihat kalau ada munas Partai Golkar, politisi yang “tahu etika identitas” akan
mengenakan baju berwarna kuning. Lalu lihatlah kalau PDI Perjuangan yang punya
hajat, bajunya dominan merah.
Sebuah warna bisa
dipakai beberapa partai hanya sedikit beda apakah agak tua atau agak muda dan
tentu ada asesoris lambang partai yang membedakan lagi. Warna biru, misalnya,
dipakai Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional dan juga Partai Nasdem. Hijau
oleh PKB dan PPP karena selama ini warna hijau juga menyiratkan simbul kaum
muslim. Putih dipakai oleh PKS dan Gerindra. Barangkali karena warna yang layak
untuk identitas politik terbatas sehingga jumlah warna kurang dibanding jumlah
partai. Warna hitam tentu tak disukai karena semuanya takut kalau disebut partai
politik itu menjalankan “politik hitam”. Warna pink yang sering dipakai lambang
kemesraan, mungkin terlalu mengesankan lemah lembut tak berdaya, tak cocok
untuk identitas partai politik. Jadi warna itu sudah menjadi simbol partai
politik, tertulis atau pun tidak di dalam anggaran dasar partai itu.
Tiba-tiba calon
presiden petahana Joko Widodo berseru di beberapa tempat kampanye untuk
mengajak pendukungnya memakai baju putih saat pencoblosan 17 April nanti. Banyak
yang heran kenapa bukan baju merah identitas PDI Perjuangan, partai yang paling
depan mendukung Jokowi? Rupanya Jokowi mau gampangan saja. Karena di surat
suara, baju Jokowi dan Ma’ruf Amin berwarna putih maka pendukungnya mudah
digerakkan dengan menyesuaikan diri dengan warna itu. Lalu alasan lain adalah
baju putih lebih murah, padahal ini juga belum tentu.
Di seberang sana,
kubu Prabowo-Sandi, tak mau kalah. Mereka mendeklarasikan Rabu Biru untuk
menghadapi Rabu Putih pada saat pencoblosan nanti. Padahal biru adalah simbol
yang biasa digunakan Nasdem seperti halnya putih hampir semua orang tahu itu simbol
PKS. Pemilu serentak pertama ini memang bisa menjungkir-balikkan semua masalah.
Namun nampaknya Rabu Biru itu belum kebijakan resmi Kubu 02 dan hanya dipakai
pada saat kampanye saja di beberapa tempat. Buktinya pada “kampanye akbar” hari
Minggu kemarin di Gelora Bung Karno Jakarta tetap saja pendukung 02 mengenakan
baju putih. Bahkan tetap ada tagar seperti “putihkan GBK” dan sebagainya.
Adakah pelanggaran
dengan seruan mengenakan baju warna tertentu sebagai identitas pada saat
pencoblosan? Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo–Ma’ruf
Amin, menyebutkan tak ada aturan yang dilanggar. Tak ada undang-undang yang
menyebut putih dan biru atau warna lainnya adalah simbol resmi sebuah partai
politik. Karena itu bukan simbol maka bukan dikatagorikan alat peraga yang
dilarang memasuki kawasan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun bagaimana kalau
dikaitkan dengan suasana kebatinan di masyarakat? Bahwa orang berbaju putih
datang mencoblos tentu hal yang biasa, sebagaimana pemilu-pemilu di masa lalu,
banyak yang berbaju putih. Sama dengan orang berbaju biru, hitam, kuning, warna
warni, pakai batik atau kaos oblong tak ada masalah, biasa-biasa saja. Yang
dilarang tentu saja tidak mengenakan baju alias telanjang, tapi itu bukan
melanggar undang-undang pemilu tetapi melanggar undang-undang tentang
pornografi.
Yang jadi persoalan, begitu
baju putih dianjurkan dan dijadikan “sebuah gerakan” maka putih itu tidak
sekadar warna tetapi simbol sebuah dukungan. Bahkan dijadikan identitas
kelompok yang akan memilih calon tertentu. Lantas di mana kerahasiaan pilihan
sebagai asas dari pemilihan umum? Di mana kemerdekaan dan suka cita rakyat
melaksanakan demokrasi seperti yang diharapkan itu? Berbaju putih atau baju
biru dicap memilih calon presiden tertentu. Jangan-jangan mengenakan baju lain
dicap golput.
Padahal tahapan
pemilu ada minggu tenang sebelum pencoblosan. Pada saat minggu tenang
seharusnya semua simbol-simbol peserta pemilu termasuk alat peraga dinyatakan
selesai fungsinya. Rakyat disuruh mencerna lebih dalam siapa yang akan dipilih.
Dan ketika saat mencoblos tiba, rakyat bersuka ria untuk memilih apa yang ada
di hatinya, bukan berdasar baju yang dia kenakan. Suasana riang di TPS
seharusnya tetap dipertahankan seperti dulu, sehingga banyak pertugas PTS
berbaju aneh-aneh, ada yang berpakaian adat, dan di Jawa banyak yang berpakaian
wayang, ludruk bahkan berpakaian pocong. Semua agar orang gembira.
Janganlah rakyat
dikotak-kotak terus sampai pencoblosan dengan mengenakan baju warna tertentu. Begitu
pula ada ide dari Kubu 02 untuk membuat dapur umum di TPS. Itu juga tak perlu.
Pokoknya segala identitas yang menunjukkan kecendrungan memilih pasangan calon
siapa yang dicoblos tak boleh agar pemilu tetap rahasia. Kalau ada dapur umum
harusnya dibuat oleh masyarakat secara swadaya, itu pun jika diperlukan.
Sehingga siapa pun yang lapar dan mau makan silakan sepanjang persediaan ada,
tak peduli pakai baju warna apa dan mencoblos calon siapa.
Kita berharap pemilu
aman dan damai, khususnya di Bali yang selama masa kampanye ini sudah sangat
kondusif. Lebih baik masyarakat datang ke TPS memakai busana adat saja dan
bajunya bisa warna-warni karena mencoblos bukan bersembahyang ke pura, tak
harus warna putih yang nanti malah bikin saling curiga. Mudah-mudahan timses di
Bali, baik 01 maupun 02, tak ikut-ikutan mengarahkan warna baju agar tak ada
perpecahan hanya karena pemilu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar