Sabtu, 13 April 2019

Masa Tenang

Putu Setia | @mpujayaprema

Tibalah saatnya akhir dari kampanye panjang pemilu serentak. Bagi partai politik, hari ini puaskanlah berkampanye mengerahkan massa karena esok sudah tak boleh lagi. Kubu Jokowi-Ma’ruf sudah bertekad memutihkan Gelora Bung Karno hari ini dengan konser musik setelah kubu Prabowo-Sandi memutihkan sebelumnya dengan doa.

Malam hari akan ada “penutupan kampanye” dengan debat antar  dua kubu pasangan presiden dan wakil presiden. Bagi yang suka menonton debat jangan lupa di depan televisi karena esok siaran debat tak bisa diulang. Media pun tak boleh memuat berita itu. Masa tenang adalah tahapan pemilu paling ujung sebelum pencoblosan. Tak boleh ada berita apa pun sekitar partai politik, calon legislatif, dan calon presiden. Alat peraga di jalanan juga dibersihkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa kampanye ditetapkan 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Kampanye yang terlalu panjang. Saking panjangnya masyarakat pun sudah terpecah dalam dua kubu. Persahabatan bisa renggang hanya karena terlalu asyik berkampanye, meski pun cuma lewat media sosial. Komentar yang awalnya bercanda, lalu mulai serius dan akhirnya saling memaki. Itu lantaran banyak sisa waktu untuk memaki.
Debat antar pendukung calon presiden di televisi pun, ujung-ujungnya penuh kemarahan. Panas walau tak sampai main pukul – sementara masyarakat yang menonton televisi bisa terpengaruh. Ikutan berdebat panas dan lupa menahan diri lalu saling pukul. Banyak para remaja berkelahi yang berawal dari maki-maki seperti ini. Itu karena bapak-bapaknya memberi contoh berdebat kurang santun di layar kaca. Sementara stasiun televisi menjadikan debat itu sebagai acara unggulan karena bisa menaikkan ratting.

Syukurlah ada jeda masa tenang, walau cuma tiga hari. Lumayan untuk memadamkan nafsu memaki jika itu dipatuhi. Kita tak lagi disuguhi calon presiden yang berteriak menawarkan kartu sakti, juga calon presiden yang gampang memukul-mukul podium sambil mengumbar kesejahtraan dalam waktu singkat. Kita bisa merenungkan dengan jernih kenapa banyak janji yang pasti mustahil dilakukan tetapi tetap dijadikan bahan kampanye seolah-olah itu bisa dilaksanakan. Pada masa tenang kita mengolah ocehan para kandidat, siapa yang janjinya lebih masuk akal, agar kita bisa memilihnya pada 17 April nanti. Cuma itu teori dan sepertinya hanya berlaku untuk para “pemilih bimbang”.  Kalau para pendukung kedua kubu sudah sulit beralih ke lain calon. Apa pun yang dikatakan calonnya pasti benar dan didukung. Andai pun ucapan calonnya kurang pas atau jelas-jelas salah, para pendukungnya akan mencari-cari kata pembenar. Ibarat ungkapan orang jatuh cinta, tahi kambing pun terasa coklat.

Meski masa tenang tak begitu banyak manfaatnya untuk “menguji kembali kehebatan calon” toh diperlukan untuk membebaskan kita dari simbol-simbol pilihan. Namun bisakah kembali merekatkan persahabatan yang sudah retak akibat kampanye yang panjang ini, akan diuji setelah pencoblosan. Jika pencoblosan dilakukan dengan riang gembira tanpa ada saling curiga bahwa orang itu pasti memilih calon ini dan orang ini pasti memilih calon itu, karena masih ada simbol-simbol yang melekat di tubuhnya, sulit keretakan itu tersambung dengan cepat.  Pasti masih akan berbekas setelah surat suara selesai dihitung.

Padahal arti penting masa tenang, kita menenangkan diri untuk membebaskan dari segala atribut kampanye termasuk simbol-simbol yang selama ini kita gunakan sebagai dukungan kepada calon. 

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 11 April 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar