Putu Setia |
@mpujayaprema
Tibalah saatnya akhir
dari kampanye panjang pemilu serentak. Bagi partai politik, hari ini puaskanlah
berkampanye mengerahkan massa karena esok sudah tak boleh lagi. Kubu
Jokowi-Ma’ruf sudah bertekad memutihkan Gelora Bung Karno hari ini dengan
konser musik setelah kubu Prabowo-Sandi memutihkan sebelumnya dengan doa.
Malam hari akan ada “penutupan
kampanye” dengan debat antar dua kubu
pasangan presiden dan wakil presiden. Bagi yang suka menonton debat jangan lupa
di depan televisi karena esok siaran debat tak bisa diulang. Media pun tak
boleh memuat berita itu. Masa tenang adalah tahapan pemilu paling ujung sebelum
pencoblosan. Tak boleh ada berita apa pun sekitar partai politik, calon
legislatif, dan calon presiden. Alat peraga di jalanan juga dibersihkan.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa kampanye ditetapkan 23
September 2018 sampai 13 April 2019. Kampanye yang terlalu panjang. Saking
panjangnya masyarakat pun sudah terpecah dalam dua kubu. Persahabatan bisa
renggang hanya karena terlalu asyik berkampanye, meski pun cuma lewat media
sosial. Komentar yang awalnya bercanda, lalu mulai serius dan akhirnya saling
memaki. Itu lantaran banyak sisa waktu untuk memaki.
Debat antar pendukung
calon presiden di televisi pun, ujung-ujungnya penuh kemarahan. Panas walau tak
sampai main pukul – sementara masyarakat yang menonton televisi bisa
terpengaruh. Ikutan berdebat panas dan lupa menahan diri lalu saling pukul.
Banyak para remaja berkelahi yang berawal dari maki-maki seperti ini. Itu
karena bapak-bapaknya memberi contoh berdebat kurang santun di layar kaca. Sementara
stasiun televisi menjadikan debat itu sebagai acara unggulan karena bisa
menaikkan ratting.
Syukurlah ada jeda
masa tenang, walau cuma tiga hari. Lumayan untuk memadamkan nafsu memaki jika
itu dipatuhi. Kita tak lagi disuguhi calon presiden yang berteriak menawarkan
kartu sakti, juga calon presiden yang gampang memukul-mukul podium sambil
mengumbar kesejahtraan dalam waktu singkat. Kita bisa merenungkan dengan jernih
kenapa banyak janji yang pasti mustahil dilakukan tetapi tetap dijadikan bahan
kampanye seolah-olah itu bisa dilaksanakan. Pada masa tenang kita mengolah
ocehan para kandidat, siapa yang janjinya lebih masuk akal, agar kita bisa
memilihnya pada 17 April nanti. Cuma itu teori dan sepertinya hanya berlaku
untuk para “pemilih bimbang”. Kalau para
pendukung kedua kubu sudah sulit beralih ke lain calon. Apa pun yang dikatakan
calonnya pasti benar dan didukung. Andai pun ucapan calonnya kurang pas atau
jelas-jelas salah, para pendukungnya akan mencari-cari kata pembenar. Ibarat
ungkapan orang jatuh cinta, tahi kambing pun terasa coklat.
Meski masa tenang tak
begitu banyak manfaatnya untuk “menguji kembali kehebatan calon” toh diperlukan
untuk membebaskan kita dari simbol-simbol pilihan. Namun bisakah kembali
merekatkan persahabatan yang sudah retak akibat kampanye yang panjang ini, akan
diuji setelah pencoblosan. Jika pencoblosan dilakukan dengan riang gembira
tanpa ada saling curiga bahwa orang itu pasti memilih calon ini dan orang ini
pasti memilih calon itu, karena masih ada simbol-simbol yang melekat di
tubuhnya, sulit keretakan itu tersambung dengan cepat. Pasti masih akan berbekas setelah surat suara
selesai dihitung.
Padahal arti penting
masa tenang, kita menenangkan diri untuk membebaskan dari segala atribut
kampanye termasuk simbol-simbol yang selama ini kita gunakan sebagai dukungan
kepada calon.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 11 April 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar