Mpu Jaya Prema
PEMILU serentak sudah
berakhir. Kini tinggal penghitungan suara secara manual dan memang itu yang
satu-satunya sah sebagai cara untuk menghitung siapa yang memenangi pemilu dan
siapa yang kalah. Ada pun quick count atau hitung cepat yang selama ini ada hanya untuk mengetahui kemenangan
dan kekalahan secara instan yang tak sah secara hukum.
Karena belum ada hasil
hitung suara secara sah dan baru akan diumumkan hasilnya pada 22 Mei yang akan
datang, tentu biasa ada yang mengklaim kemenangan dan sudah dipastikan tak ada
yang mengaku kalah. Terutama dalam kaitan pemilihan presiden. Prabowo Subianto, misalnya, bolak-balik
mendeklarasikan kemenangan. Dia yakin meraih kemenangan 62 persen berdasarkan
hasil rekapitulasi suara yang dikumpulkan kelompoknya. Jokowi pun juga yakin menang
54,5 persen, merujuk pada quick count
12 lembaga survei.
Kubu 02 sibuk mengumpulkan
bukti-bukti, seraya meminta pendukungnya mengawal formulir C1, formulir rekap
hasil pemilihan di tempat pemungutan suara. Mereka yakin dengan kemenangan itu
dan kalau ternyata kalah maka mereka juga yakin pemilu ini curang. Mungkin
nanti sengketa pemilu akan berlanjut di Mahkamah Konstitusi.
Kubu 01 pun tidak diam. Di beberapa
tempat digelar syukuran menang, baik yang hanya dihadiri Jokowi mau pun
dilengkapi dengan kehadiran Ma’ruf Amin. Jokowi rajin ketemu relawan dan tokoh
masyarakat pendukungnya seraya menantang kubu 02 buka-bukaan data untuk melihat
hasil yang sebenarnya.
Semua kegiatan dan aksi klaim
kemenangan ini semakin membelah masyarakat yang sudah begitu panjang berseteru
antar dua kubu. Nampaknya, apa pun hasil pemilihan presiden ini, masyarakat
tetap terbelah ke dalam dua kubu karena masih panjang jalan untuk mencapai
rujuk nasional. Sengketa di MK tentu akan panjang jalannya, apalagi jika
disertai dengan pemungutan suara ulang jika tidak ada keputusan final yang
diambil.
Padahal pemilu serentak ini sudah
memakan banyak korban. Sampai pekan lalu, sudah 225 orang petugas pemungutan
suara yang meninggal dunia, juga 15 orang polisi yang gugur dalam tugas. Mereka
kelelahan, penyakitnya kambuh karena bertugas seharian semalam tanpa istirahat,
dan mengalami kecelakaan lantaran mengemudi dalam kondisi terlalu lelah. Belum
lagi di daerah yang kondisinya sulit harus berjalan empat jam lebih menembus
hutan untuk sampai pada tempat pemungutan suara. Semestinya kedua kubu
berempati kepada pengorbanan para “pahlawan demokrasi” ini. Empati itu bisa
ditunjukkan dengan sabar menunggu tahapan pemilu yang hasil akhirnya baru
diumumkan 22 Mei nanti. Kalau sekarang sudah merayakan kemenangan, lalu siapa
yang dipercaya rakyat? Kalau rakyat sebagai pendukung fanatik tentu percaya
kepada jagoannya sendiri tak peduli hasil yang diumumkan pihak lain.
Memang belakangan ini, untuk mendinginkan
suasana, terdengar gagasan membuat rujuk pasangan 01 dan 02. Kata rujuk ini
tentu mengacu pada masalah bahwa sebelumnya sudah ada ketidak-cocokan di antara
kedua kubu. Apalagi dalam keseharian, istilah rujuk seringkali dikaitkan dengan
perkawinan yang sudah retak. Lalu rujuk untuk merukunkan kembali.
Rujuk punya arti kembali bersatu, bersahabat
dan sebagainya. Kalau tidak mungkin bersatu, karena sejak awal Jokowi dan
Prabowo berbeda pandangan tajam dalam banyak hal, mereka bisa kembali
bersahabat. Bukankah keduanya mengaku bersahabat? Kalau bersahabat masih
dianggap terlalu sulit, saling berkunjung juga cukuplah. Namun hal itu pun
nampaknya sulit karena ada yang meminta Prabowo untuk menunda dulu ketemu
Jokowi sebelum jelas hasil perhitungan suara KPU pada 22 Mei nanti.
Kalau rujuk sulit dilakukan, boleh
juga dipakai istilah rekonsiliasi. Menurut kamus, rekonsiliasi artinya perbuatan memulihkan
hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan sebenarnya lebih
tepat ketimbang rujuk. Perbedaan hasil hitung kemenangan kubu 01 dan 02,
umpamanya, bisa diselesaikan dalam forum ilmiah antar-ahli statistika kedua
kubu. Penyimpangan di TPS bisa diselesaikan dengan menghadirkan saksi kedua
pihak. Syaratnya, kedua kubu mengedepankan niat baik dan bersepakat membantu
Komisi Pemilihan Umum mengatasi problem di lapangan.
Tanpa niat baik, buntut pemilu ini
akan semakin lama selesainya. Kalau itu terjadi, rakyat akan tetap terpecah
kepada kedua kubu dan pengorbanan “pahlawan demokrasi” semakin sia-sia kaena
hasil pemilu tak disepakati kedua kubu. Apakah para elit politik ini terus
mengorbankan nasib rakyat untuk hasrat kekuasaan mereka? Padahal pemilu itu
adalah siklus lima tahunan, seharusnya yang kalah legowo menerima kekalahan
sambil memperbaiki diri untuk tampil pada pemilu lima tahun yang akan datang.
Lebih baik pemilu ini diterima apa
pun hasilnya dengan memberi kesempatan pada aturan yang lebih baik pada pemilu
lima tahun ke depan. Banyak hal yang harus diperbaiki lagi. Yang paling mendesak
tentulah adanya ambang batas (presidential
threshold) untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Selama ini,
kandidat presiden harus dicalonkan partai-partai yang menguasai minimal 20
persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara dalam
pemilu. Aturan ini menyebabkan pemilihan presiden jadi kurang menarik karena
terlalu sedikit kandidat. Revisi aturan ambang batas diperlukan agar makin
banyak tokoh yang bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Publik pun akan
diuntungkan karena memiliki lebih banyak pilihan. Lagi pula inilah amanat
konstitusi yang tidak mencantumkan adanya ambang batas dan aturan itu adalah
undang-undang turunan yang dibuat DPR untuk kepentingan jangka pendek. Kini
terbukti aturan ambang batas itu membuat perpecahan di masyarakat.
Yang penting marilah kita rujuk lebih
dulu. Kalau pun para elit tak bersedia rujuk, kita sebagai rakyat harus
memelopori diri untuk bersatu, minimal tak mau ikut ribut-ribut. Mari kita
buktikan bahwa rakyat itu bisa lebih cerdas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar