Senin, 22 April 2019

Rujuk Pasca Pemilu

Mpu Jaya Prema

PEMILU serentak sudah berakhir. Kini tinggal penghitungan suara secara manual dan memang itu yang satu-satunya sah sebagai cara untuk menghitung siapa yang memenangi pemilu dan siapa yang kalah. Ada pun quick count atau hitung cepat yang selama ini ada hanya untuk mengetahui kemenangan dan kekalahan secara instan yang tak sah secara hukum.

Karena belum ada hasil hitung suara secara sah dan baru akan diumumkan hasilnya pada 22 Mei yang akan datang, tentu biasa ada yang mengklaim kemenangan dan sudah dipastikan tak ada yang mengaku kalah. Terutama dalam kaitan pemilihan presiden. Prabowo Subianto, misalnya, bolak-balik mendeklarasikan kemenangan. Dia yakin meraih kemenangan 62 persen berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang dikumpulkan kelompoknya. Jokowi pun juga yakin menang 54,5 persen, merujuk pada quick count 12 lembaga survei.
Kubu 02 sibuk mengumpulkan bukti-bukti, seraya meminta pendukungnya mengawal formulir C1, formulir rekap hasil pemilihan di tempat pemungutan suara. Mereka yakin dengan kemenangan itu dan kalau ternyata kalah maka mereka juga yakin pemilu ini curang. Mungkin nanti sengketa pemilu akan berlanjut di Mahkamah Konstitusi.

Kubu 01 pun tidak diam. Di beberapa tempat digelar syukuran menang, baik yang hanya dihadiri Jokowi mau pun dilengkapi dengan kehadiran Ma’ruf Amin. Jokowi rajin ketemu relawan dan tokoh masyarakat pendukungnya seraya menantang kubu 02 buka-bukaan data untuk melihat hasil yang sebenarnya.
Semua kegiatan dan aksi klaim kemenangan ini semakin membelah masyarakat yang sudah begitu panjang berseteru antar dua kubu. Nampaknya, apa pun hasil pemilihan presiden ini, masyarakat tetap terbelah ke dalam dua kubu karena masih panjang jalan untuk mencapai rujuk nasional. Sengketa di MK tentu akan panjang jalannya, apalagi jika disertai dengan pemungutan suara ulang jika tidak ada keputusan final yang diambil.
Padahal pemilu serentak ini sudah memakan banyak korban. Sampai pekan lalu, sudah 225 orang petugas pemungutan suara yang meninggal dunia, juga 15 orang polisi yang gugur dalam tugas. Mereka kelelahan, penyakitnya kambuh karena bertugas seharian semalam tanpa istirahat, dan mengalami kecelakaan lantaran mengemudi dalam kondisi terlalu lelah. Belum lagi di daerah yang kondisinya sulit harus berjalan empat jam lebih menembus hutan untuk sampai pada tempat pemungutan suara. Semestinya kedua kubu berempati kepada pengorbanan para “pahlawan demokrasi” ini. Empati itu bisa ditunjukkan dengan sabar menunggu tahapan pemilu yang hasil akhirnya baru diumumkan 22 Mei nanti. Kalau sekarang sudah merayakan kemenangan, lalu siapa yang dipercaya rakyat? Kalau rakyat sebagai pendukung fanatik tentu percaya kepada jagoannya sendiri tak peduli hasil yang diumumkan pihak lain.
Memang belakangan ini, untuk mendinginkan suasana, terdengar gagasan membuat rujuk pasangan 01 dan 02. Kata rujuk ini tentu mengacu pada masalah bahwa sebelumnya sudah ada ketidak-cocokan di antara kedua kubu. Apalagi dalam keseharian, istilah rujuk seringkali dikaitkan dengan perkawinan yang sudah retak. Lalu rujuk untuk merukunkan kembali.
Rujuk punya arti kembali bersatu, bersahabat dan sebagainya. Kalau tidak mungkin bersatu, karena sejak awal Jokowi dan Prabowo berbeda pandangan tajam dalam banyak hal, mereka bisa kembali bersahabat. Bukankah keduanya mengaku bersahabat? Kalau bersahabat masih dianggap terlalu sulit, saling berkunjung juga cukuplah. Namun hal itu pun nampaknya sulit karena ada yang meminta Prabowo untuk menunda dulu ketemu Jokowi sebelum jelas hasil perhitungan suara KPU pada 22 Mei nanti.
Kalau rujuk sulit dilakukan, boleh juga dipakai istilah rekonsiliasi. Menurut kamus, rekonsiliasi artinya perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan sebenarnya lebih tepat ketimbang rujuk. Perbedaan hasil hitung kemenangan kubu 01 dan 02, umpamanya, bisa diselesaikan dalam forum ilmiah antar-ahli statistika kedua kubu. Penyimpangan di TPS bisa diselesaikan dengan menghadirkan saksi kedua pihak. Syaratnya, kedua kubu mengedepankan niat baik dan bersepakat membantu Komisi Pemilihan Umum mengatasi problem di lapangan.
Tanpa niat baik, buntut pemilu ini akan semakin lama selesainya. Kalau itu terjadi, rakyat akan tetap terpecah kepada kedua kubu dan pengorbanan “pahlawan demokrasi” semakin sia-sia kaena hasil pemilu tak disepakati kedua kubu. Apakah para elit politik ini terus mengorbankan nasib rakyat untuk hasrat kekuasaan mereka? Padahal pemilu itu adalah siklus lima tahunan, seharusnya yang kalah legowo menerima kekalahan sambil memperbaiki diri untuk tampil pada pemilu lima tahun yang akan datang.
Lebih baik pemilu ini diterima apa pun hasilnya dengan memberi kesempatan pada aturan yang lebih baik pada pemilu lima tahun ke depan. Banyak hal yang harus diperbaiki lagi. Yang paling mendesak tentulah adanya ambang batas (presidential threshold) untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Selama ini, kandidat presiden harus dicalonkan partai-partai yang menguasai minimal 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara dalam pemilu. Aturan ini menyebabkan pemilihan presiden jadi kurang menarik karena terlalu sedikit kandidat. Revisi aturan ambang batas diperlukan agar makin banyak tokoh yang bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Publik pun akan diuntungkan karena memiliki lebih banyak pilihan. Lagi pula inilah amanat konstitusi yang tidak mencantumkan adanya ambang batas dan aturan itu adalah undang-undang turunan yang dibuat DPR untuk kepentingan jangka pendek. Kini terbukti aturan ambang batas itu membuat perpecahan di masyarakat.
Yang penting marilah kita rujuk lebih dulu. Kalau pun para elit tak bersedia rujuk, kita sebagai rakyat harus memelopori diri untuk bersatu, minimal tak mau ikut ribut-ribut. Mari kita buktikan bahwa rakyat itu bisa lebih cerdas. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar