Putu Setia |
@mpujayaprema
Menjadi politisi di
negeri ini harus pandai mengenakan baju. Warna baju menentukan jati diri
menyangkut fanatisme partai politik. Coba lihat kalau ada munas Partai Golkar, misalnya,
politisi yang “tahu etika” akan mengenakan baju kuning. Lalu lihatlah kalau PDI
Perjuangan yang punya hajat, bajunya dominan merah.
Sebuah warna bisa
dipakai beberapa partai. Biru dipakai Partai Demokrat, PAN dan Nasdem. Hijau
oleh PKB dan PPP. Putih oleh PKS dan Gerindra. Warna yang layak untuk identitas
politik terbatas. Hitam tentu tak dipilih karena takut disebut menjalankan
“politik hitam”. Pink mungkin mengesankan lemah lembut tak berdaya. Warna itu
sudah jadi simbol, tertulis atau pun tidak di dalam anggaran dasar partai.
Tiba-tiba Joko Widodo
selaku calon presiden berseru mengajak pendukungnya memakai baju putih saat
pencoblosan 17 April nanti. Kok bukan baju merah identitas PDI Perjuangan?
Rupanya Jokowi mau gampangan, karena di surat suara baju Jokowi dan Ma’ruf Amin
berwarna putih, maka putih itulah yang digunakan. Alasan lain yang agak
dicari-cari, baju putih lebih murah.
Di seberang sana,
kubu Prabowo tak mau kalah. Mereka mendeklarasikan Rabu Biru untuk menghadapi
Rabu Putih. Padahal biru adalah simbol yang juga digunakan Nasdem seperti
halnya putih hampir semua orang tahu itu simbol PKS. Begitulah pemilu serentak
pertama ini memang bisa menjungkir-balikkan semua masalah.
Adakah ini pelanggaran?
Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo–Ma’ruf Amin, tak menyebut
ada aturan yang dilanggar. Tak ada undang-undang yang menyebut putih dan biru
adalah simbol resmi sebuah partai politik. Karena itu bukan simbol maka bukan termasuk
alat peraga yang dilarang memasuki kawasan tempat pemungutan suara.
Erick jelas
mengabaikan suasana kebatinan di masyarakat. Bahwa orang berbaju putih datang
mencoblos tentu hal yang biasa, sebagaimana setiap pemilu. Sama biasanya dengan
orang berbaju biru, hitam, kuning, batik atau kaos oblong. Yang dilarang adalah
tidak mengenakan baju alias telanjang, tapi itu melanggar undang-undang tentang
pornografi. Namun, begitu baju putih dianjurkan dan dijadikan sebuah gerakan,
maka putih tidak sekadar warna tetapi simbol sebuah dukungan. Lantas di mana
kerahasiaan sebagai asas dari pemilihan umum? Di mana kemerdekaan dan suka cita
rakyat melaksanakan demokrasi seperti yang diharapkan? Berbaju putih atau biru sudah
jadi pertanda memilih calon presiden tertentu. Mengenakan baju lain dicap
plintat-plintut –kata ini sudah kedaluwarsa, sekarang setara golput.
Tahapan pemilu ada
minggu tenang sebelum pencoblosan. Di situ seharusnya semua simbol-simbol
peserta pemilu termasuk alat peraga dinyatakan selesai berfungsi. Rakyat
disuruh mencerna lebih dalam siapa yang akan dipilih. Ketika hari pencoblosan
tiba, rakyat bersuka ria memilih apa yang ada di hatinya, tanpa berhitung baju
apa yang dikenakan. Selesai mencoblos bolehlah menyerbu restoran siap saji
untuk minta diskon dengan tunjukkan jari bertinta. Itu tradisi baik yang
seharusnya dipertahankan.
Kenapa rakyat harus
dikotak-kotak sampai ke bilik suara. Dapur umum pun harusnya dibuat oleh
masyarakat secara swadaya jika diperlukan. Sehingga siapa pun yang haus dan mau
minum silakan sepanjang persediaan ada, jangan dibedakan warna bajunya.
Sayang sekali sudah
terlanjur Rabu Putih dan Rabu Biru dideklarasikan. Tinggal mengharapkan rakyat
yang lebih waras dari pemimpinnya, mari berbusana warna warni. Kemeja batik di
pasar banyak yang lebih murah dari baju putih.
(Dari Koran Tempo 6 April 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar