Mpu Jaya Prema
TINGGAL dua hari
lagi, sejarah bangsa ini akan terukir sebagai hari istimewa. Rabu 17 April 2019
adalah pemilu yang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kali ini
disebut pemilu serentak karena secara serentak memilih presiden dengan
wakilnya, lalu anggota DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah. Belum pernah
terjadi presiden dan wakilnya dipilih bersamaan dengan memilih wakil-wakil
rakyat.
Karena itu pemilu
kali ini kampanyenya sangat panjang. Ada masa sosialisasi dan ada masa kampanye
terbuka. Untuk kepentingan pemilihan presiden dan wakil presiden ada pula debat
yang berlangsung sampai lima kali. Semuanya itu sudah berakhir sejak kemarin
dan seharusnya sudah tidak ada lagi orang yang berkampanye dan semua alat
peraga pemilu seharusnya sudah diturunkan. Baliho yang malang melintang di
jalanan, ada yang sudah robek dan tumbang, seharusnya sudah dicabut sehingga
alam kembali bersih.
Mulai kemarin disebut
sebagai masa tenang yang berlangsung sampai besok. Tak boleh ada kegiatan apa
pun yang dikatagorikan sebagai kampanye pemilu. Media tak boleh memuat berita apa
pun yang menjurus ke kampanye. Komentar-komentar di media sosial yang menjurus
kampanye seharusnya pula tidak ada, meski hal ini nampaknya tak diindahkan
orang. Masa tenang ini adalah tahapan pemilu paling ujung sebelum pencoblosan
dan tinggal bagaimana pengawas pemilu menyikapi dengan aturan yang tegas.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa kampanye ditetapkan 23
September 2018 sampai 13 April 2019. Saking panjangnya masyarakat pun sudah terpecah
dalam dua kubu. Karena fokus perhatian pemilu kali ini lebih kepada pemilihan
presiden dan wakilnya. Sangat jarang ada partai politik yang berkampanye
sendiri tanpa membawa-bawa calon presiden. Persahabatan bisa renggang hanya
karena terlalu asyik berkampanye, meski pun cuma lewat media sosial. Komentar-komentar
itu awalnya bisa saja bercanda, tetapi kemudian mulai serius dan akhirnya saling
memaki marah-marah. Itu lantaran banyak ada waktu untuk memaki.
Debat antar pendukung
calon presiden di televisi pun, ujung-ujungnya penuh kemarahan. Berdebat
menjagokan capresnya dengan mengabaikan sopan santun dalam berucap. Saling
memotong pembicaraan lawan dan kata-kata pun menjurus kasar. Panas walau tak
sampai main pukul karena memang mereka orang dewasa yang bisa mengendalikan
diri dalam bertindak. Tetapi masyarakat yang menonton televisi bisa saja terpengaruh,
terutama mereka yang dalam usia labil. Ikutan berdebat panas dan lupa menahan diri
lalu saling pukul. Banyak para remaja berkelahi yang berawal dari maki-maki
seperti ini. Itulan akibat bapak-bapaknya memberi contoh berdebat kurang santun
di layar kaca. Sementara stasiun televisi menjadikan debat itu sebagai acara
unggulan karena bisa menaikkan ratting.
Nah, kini ada jeda
masa tenang, walau cuma tiga hari. Dalam konsep KPU membuat jadwal pemilu,
inilah saatnya untuk memadamkan nafsu memaki jika itu dipatuhi. Kita bisa
merenungkan dengan jernih siapa calon yang akan kita pilih. Pada masa tenang
kita mengolah ocehan para kandidat, siapa yang janjinya lebih masuk akal, agar
kita bisa memilihnya pada 17 April nanti. Di baliho-baliho banyak ada slogan
dari calon-calon anggota legislatif yang minta dukungan. Misalnya, slogan
berjuang untuk rakyat Bali, sudah terbukti kerjanya, dan banyak lagi. Di masa
tenang ini kita kaji apakah slogan itu ada buktinya. Apa perjuangan caleg itu
untuk masyarakat Bali dan apa yang sudah dibuktikannya?
Namun nampaknya
sebagian besar pemilih sudah punya pilihan untuk dicoblos. Masa tenang ini tak
berarti apa-apa karena kemantapannya memilih seseorang sudah tertanam dalam
hatinya. Meski begitu tetap di masa tenang ini kita harus membebaskan diri dari
simbol-simbol pilihan. Karena memang itu tujuannya agar kita tak lagi membawa
simbol-simbol partai dan simbol dukungan ke tengah-tengah pergaulan di
masyarakat.
Jika itu berhasil
kita lakukan maka kita bisa merekatkan persahabatan yang sudah retak akibat
kampanye yang panjang ini. Karena asas dari pemilu ini adalah luber (langsung,
umum, bebas dan rahasia) maka kita harus tanggalkan semua simbol-simbol
keberpihakan. Maka kita datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan hati
yang riang gembira. Tak usah sibuk memikirkan warna baju apa yang dipakai.
Mencobloslah dengan riang
gembra. Penuh suka cita. Kita tak usah curiga apakah pilihan kita berbeda
dengan kawan-kawan kita di saat antre menunggu diberikan surat suara. Di bilik
suara semuanya adalah rahasia hanya kita yang tahu apa yang kita coblos.
Pesta demokrasi ini
sudah rutin setiap lima tahun, masyarakat pun sudah berpengalaman untuk
mengikuti pemilu. Petugas KPU dari pusat sampai yang bertugas di TPS sudah
bersikap netral tak akan berani berlaku curang. Selain ada saksi dari partai
politik, masyarakat pun banyak yang mengawasi cara kerja mereka. Tak akan
terjadi kecurangan seperti di masa Orde Baru di mana kertas suara sudah diberi
tanda khusus sehingga kerahasiaan seseorang mencoblos jadi tidak terjamin.
Sebaliknya janganlah belum apa-apa sudah mengatakan pemilu curang. Ini hanya
dalih saja untuk pembenaran karena calonnya kalah.
Mari
berbondong-bondong ke TPS dengan hati yang penuh suka cita dan kita mencoblos
dengan riang gembira. Bagi yang tinggal di perkotaan setelah mencoblos kabarnya
ada gerai siap saji yang memberi diskon berbelanja dengan menunjukkan jari
sudah tercelup tinta. Ini hanya ada di pemilu Indonesia dan itulah pertanda
kita melakukan pemilu dengan penuh kedamaian dan bukan pemilu yang menakutkan.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar