Senin, 15 April 2019

Mencoblos dengan Riang

Mpu Jaya Prema

TINGGAL dua hari lagi, sejarah bangsa ini akan terukir sebagai hari istimewa. Rabu 17 April 2019 adalah pemilu yang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kali ini disebut pemilu serentak karena secara serentak memilih presiden dengan wakilnya, lalu anggota DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah. Belum pernah terjadi presiden dan wakilnya dipilih bersamaan dengan memilih wakil-wakil rakyat.

Karena itu pemilu kali ini kampanyenya sangat panjang. Ada masa sosialisasi dan ada masa kampanye terbuka. Untuk kepentingan pemilihan presiden dan wakil presiden ada pula debat yang berlangsung sampai lima kali. Semuanya itu sudah berakhir sejak kemarin dan seharusnya sudah tidak ada lagi orang yang berkampanye dan semua alat peraga pemilu seharusnya sudah diturunkan. Baliho yang malang melintang di jalanan, ada yang sudah robek dan tumbang, seharusnya sudah dicabut sehingga alam kembali bersih.

Mulai kemarin disebut sebagai masa tenang yang berlangsung sampai besok. Tak boleh ada kegiatan apa pun yang dikatagorikan sebagai kampanye pemilu. Media tak boleh memuat berita apa pun yang menjurus ke kampanye. Komentar-komentar di media sosial yang menjurus kampanye seharusnya pula tidak ada, meski hal ini nampaknya tak diindahkan orang. Masa tenang ini adalah tahapan pemilu paling ujung sebelum pencoblosan dan tinggal bagaimana pengawas pemilu menyikapi dengan aturan yang tegas.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa kampanye ditetapkan 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Saking panjangnya masyarakat pun sudah terpecah dalam dua kubu. Karena fokus perhatian pemilu kali ini lebih kepada pemilihan presiden dan wakilnya. Sangat jarang ada partai politik yang berkampanye sendiri tanpa membawa-bawa calon presiden. Persahabatan bisa renggang hanya karena terlalu asyik berkampanye, meski pun cuma lewat media sosial. Komentar-komentar itu awalnya bisa saja bercanda, tetapi kemudian mulai serius dan akhirnya saling memaki marah-marah. Itu lantaran banyak ada waktu untuk memaki.

Debat antar pendukung calon presiden di televisi pun, ujung-ujungnya penuh kemarahan. Berdebat menjagokan capresnya dengan mengabaikan sopan santun dalam berucap. Saling memotong pembicaraan lawan dan kata-kata pun menjurus kasar. Panas walau tak sampai main pukul karena memang mereka orang dewasa yang bisa mengendalikan diri dalam bertindak. Tetapi masyarakat yang menonton televisi bisa saja terpengaruh, terutama mereka yang dalam usia labil. Ikutan berdebat panas dan lupa menahan diri lalu saling pukul. Banyak para remaja berkelahi yang berawal dari maki-maki seperti ini. Itulan akibat bapak-bapaknya memberi contoh berdebat kurang santun di layar kaca. Sementara stasiun televisi menjadikan debat itu sebagai acara unggulan karena bisa menaikkan ratting.

Nah, kini ada jeda masa tenang, walau cuma tiga hari. Dalam konsep KPU membuat jadwal pemilu, inilah saatnya untuk memadamkan nafsu memaki jika itu dipatuhi. Kita bisa merenungkan dengan jernih siapa calon yang akan kita pilih. Pada masa tenang kita mengolah ocehan para kandidat, siapa yang janjinya lebih masuk akal, agar kita bisa memilihnya pada 17 April nanti. Di baliho-baliho banyak ada slogan dari calon-calon anggota legislatif yang minta dukungan. Misalnya, slogan berjuang untuk rakyat Bali, sudah terbukti kerjanya, dan banyak lagi. Di masa tenang ini kita kaji apakah slogan itu ada buktinya. Apa perjuangan caleg itu untuk masyarakat Bali dan apa yang sudah dibuktikannya?

Namun nampaknya sebagian besar pemilih sudah punya pilihan untuk dicoblos. Masa tenang ini tak berarti apa-apa karena kemantapannya memilih seseorang sudah tertanam dalam hatinya. Meski begitu tetap di masa tenang ini kita harus membebaskan diri dari simbol-simbol pilihan. Karena memang itu tujuannya agar kita tak lagi membawa simbol-simbol partai dan simbol dukungan ke tengah-tengah pergaulan di masyarakat.

Jika itu berhasil kita lakukan maka kita bisa merekatkan persahabatan yang sudah retak akibat kampanye yang panjang ini. Karena asas dari pemilu ini adalah luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) maka kita harus tanggalkan semua simbol-simbol keberpihakan. Maka kita datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan hati yang riang gembira. Tak usah sibuk memikirkan warna baju apa yang dipakai.

Mencobloslah dengan riang gembra. Penuh suka cita. Kita tak usah curiga apakah pilihan kita berbeda dengan kawan-kawan kita di saat antre menunggu diberikan surat suara. Di bilik suara semuanya adalah rahasia hanya kita yang tahu apa yang kita coblos.

Pesta demokrasi ini sudah rutin setiap lima tahun, masyarakat pun sudah berpengalaman untuk mengikuti pemilu. Petugas KPU dari pusat sampai yang bertugas di TPS sudah bersikap netral tak akan berani berlaku curang. Selain ada saksi dari partai politik, masyarakat pun banyak yang mengawasi cara kerja mereka. Tak akan terjadi kecurangan seperti di masa Orde Baru di mana kertas suara sudah diberi tanda khusus sehingga kerahasiaan seseorang mencoblos jadi tidak terjamin. Sebaliknya janganlah belum apa-apa sudah mengatakan pemilu curang. Ini hanya dalih saja untuk pembenaran karena calonnya kalah.

Mari berbondong-bondong ke TPS dengan hati yang penuh suka cita dan kita mencoblos dengan riang gembira. Bagi yang tinggal di perkotaan setelah mencoblos kabarnya ada gerai siap saji yang memberi diskon berbelanja dengan menunjukkan jari sudah tercelup tinta. Ini hanya ada di pemilu Indonesia dan itulah pertanda kita melakukan pemilu dengan penuh kedamaian dan bukan pemilu yang menakutkan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar