Senin, 06 Mei 2019

Hormati Pahlawan Demokrasi

Mpu Jaya Prema

SAMPAI akhir pekan lalu, sudah 382 petugas KPPS dan mereka yang terlibat langsung dalam pemilu serentak 2019 ini meninggal dunia. Sangat memprihatinkan. Korban meninggal itu lebih banyak dari korban penyerangan gereja di Sri Langka, yang sempat kita kutuk ramai-ramai. Juga lebih banyak dari korban bom Bali 2002. Harusnya kita melakukan upaya-upaya yang lebih baik agar hal ini tak terjadi pada pemilu yang akan datang.

Faktor kelelahan adalah penyebab kematian yang utama, selain karena masalah jarak di tempat-tempat terpencil. Kenapa mereka lelah sekali? Karena pemilu serentak ini ada lima kertas suara yang harus dicoblos, kecuali di Jakarta yang hanya empat kertas suara. Dan ke lima kertas suara itu memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena besarnya kertas yang membuat harus ada kehati-hatian ekstra. Ini menyebabkan penghitungan suara di TPS menjadi sangat lama bahkan ada yang lebih dari 36 jam. Penghitungan itu harus selesai karena kotak suara dengan formulir C 1 harus dibawa ke kantor kecamatan. Dalam rentang waktu lama tanpa istirahat yang cukup ditambah lagi makanan yang sekadarnya, maka pertugas yang kondisinya tidak kuat sudah pasti bisa loyo. Beberapa harus meninggal dunia. Kita ikut berduka.

Mereka yang meninggal dunia adalah pahlawan demokrasi. Begitu orang menyebutnya. Kalau memang kita mengakui mereka yang meninggal itu “pahlawan” kenapa lantas hasilnya banyak dicemoh orang sebagai kecurangan? Ini yang sangat paradok.

Pekerjaan yang demikian berat dengan durasi waktu panjang tanpa istirahat, wajar kalau di sana-sini ada kekeliruan dalam menulis angka. Termasuk meng-input data ke dalam komputer. Bukankah kesalahan ini menimpa semua kubu, baik kubu pasangan capres/wacapares 01 mau pun 02? Dan kesalahan itu pun bisa dikoreksi karena penghitungan berjenjang. Salah hitung di tingkat kecamatan, bisa dikoreksi di tingkat kabupaten, lalu dikoreksi lagi di tingkat provinsi sebelum ada rapat pleno penentuan di KPU Pusat.

Dengan perjalanan seperti ini maka kesan bahwa pemilu curang seharusnya tidak perlu disebutkan sebagai dalih untuk takut kalah. Apalagi semua kubu punya tim yang memantau data-data sejak formulir C 1. Kalau pun terjadi perbedaan data, maka ajukan bukti-bukti yang dimiliki pada setiap jenjang penghitungan suara. Jika nanti ketika KPU mengambil keputusan pada 22 Mei yang akan datang ternyata masih kurang puas, mungkin data yang dimiliki diabaikan oleh KPU, langkah hukum selanjutnya bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Tugas MK adalah memutus sengketa pemilu jika ada sengketa itu. Di sidang MK semuanya nanti bisa dibuka kembali data atau bukti yang dimiliki sehingga tak ada alasan apa pun untuk menyebut kecurangan KPU.

Dalam kasus ini yang santer menyebutkan KPU curang adalah kubu Prabowo-Sandi. Padahal mereka konon punya bukti kemenangan sampai 62 persen. Belum ada keputusan final dari KPU tiba-tiba sudah bisa menyebutkan ada kecurangan. Apakah nanti kalau misalnya KPU memenangkan kubu 02 kecurangan itu tetap disuarakan?

Haruslah dicatat secara hukum sampai saat ini belum ada calon presiden yang menang. Meski pemilihan presiden dan wakil presiden sudah usai 17 April lalu, pelantikan pasangan pemimpin negara ini baru dilakukan Oktober nanti. Dan siapa yang dilantik akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum 22 Mei. Itu pun tak serta merta sah. Kalau ada yang tidak sependapat dengan keputusan KPU maka terbuka sengketa di Mahkamah Konstitusi. Nah, mahkamah yang memutuskan, siapa presiden dan wakil presiden yang sah. Sederhana sekali, kenapa harus menyebut ada kecurangan dan bahkan kesan curang itu jauh-jauh dikatakan sebelum pembuktian dibeberkan?

Jika sekarang ada yang mendeklarasikan kemenangan calonnya maka anggap itu eforia pemilihan yang sudah berlangsung dengan aman, kecuali sungguh memprihatinkan banyaknya petugas pemilihan yang meninggal dunia. Begitu pula kalau para calon tiba-tiba disapa sebagai presiden, anggap saja lonjakan kegembiraan dari prediksi awal yang bisa salah. Misalnya, ketika calon presiden Prabowo Subianto menerima kedatangan anggota Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya. Para sesepuh ini memberi hormat: “siap, presiden!”. Prabowo pun membalas layaknya mantan jenderal. Tidak ada yang perlu ditertawakan. Bahwa kemudian Jokowi menirukan adegan itu ketika menerima tim relawannya, tetap saja kita anggap sebagai “bunga-bunga demokrasi”.

Saatnya kita menghormati pahlawan demokrasi dengan cara mengikuti aturan demokrasi secara benar, yakni proses tahapan pemilu yang sudah ada di KPU dan juga telah disepakati bersama. Setiap aturan KPU itu sudah dikonsultasikan ke DPR dan anggota KPU pun dipilih oleh DPR bersama pemerintah.

Lalu yang penting, jangan ada kubu lain di luar kubu 01 dan 02 yang coba-coba memprovokasi dan ikut-ikutan menyebutkan pemilu berlangsung curang. Kubu itu seharusnya tak punya urusan apa-apa. Seperti yang dilakukan oleh apa yang disebut Ijtima Ulama III. Sekelompok ulama bertemu dan membuat keputusan yang merecoki langkah kerja KPU ini. Mereka sudah menyebut pemilu berlangsung curang dan malah meminta capres/cawapres kubu 01 didiskualifikasi. Jelas kelompok ulama itu berada di seberang kubu 01 dan pastilah tidak mewakili ulama yang ada. Ada 28 ribu lebih pondok pesantren, 6 ribu lembaga pendidikan Islam, sejuta lebih masjid, lalu berapa jumlah ulamanya? Tentu tak bisa hanya “diwakilkan” oleh beberapa ratus ulama. Belum lagi bicara bahwa ulama seyogyanya mengayomi umat yang tidak membedakan sekat-sekat politik.

Hal-hal seperti ini yang harus kita waspadai. Termasuk ajakan untuk melakukan aksi masa secara besar-besaran padahal KPU belum mengumumkan hasil pemilu. Ini harus kita tolak. Marilah bersabar dan kalau semua langkah hukum sudah dilalui, siapa pun yang kalah harusnya menerima kekalahan itu dengan kesatria. Itulah salah satu cara kita menghormati pahlawan demokrasi dengan ikut menjadi pahlawan membela kebenaran. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar