Mpu Jaya Prema
SAMPAI akhir pekan lalu, sudah 382 petugas KPPS dan mereka yang
terlibat langsung dalam pemilu serentak 2019 ini meninggal dunia. Sangat
memprihatinkan. Korban meninggal itu lebih banyak dari korban penyerangan
gereja di Sri Langka, yang sempat kita kutuk ramai-ramai. Juga lebih banyak
dari korban bom Bali 2002. Harusnya kita melakukan upaya-upaya yang lebih baik
agar hal ini tak terjadi pada pemilu yang akan datang.
Faktor kelelahan adalah penyebab kematian yang utama, selain karena
masalah jarak di tempat-tempat terpencil. Kenapa mereka lelah sekali? Karena
pemilu serentak ini ada lima kertas suara yang harus dicoblos, kecuali di
Jakarta yang hanya empat kertas suara. Dan ke lima kertas suara itu memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi karena besarnya kertas yang membuat harus ada
kehati-hatian ekstra. Ini menyebabkan penghitungan suara di TPS menjadi sangat
lama bahkan ada yang lebih dari 36 jam. Penghitungan itu harus selesai karena
kotak suara dengan formulir C 1 harus dibawa ke kantor kecamatan. Dalam rentang
waktu lama tanpa istirahat yang cukup ditambah lagi makanan yang sekadarnya,
maka pertugas yang kondisinya tidak kuat sudah pasti bisa loyo. Beberapa harus
meninggal dunia. Kita ikut berduka.
Mereka yang meninggal dunia adalah pahlawan demokrasi. Begitu orang
menyebutnya. Kalau memang kita mengakui mereka yang meninggal itu “pahlawan”
kenapa lantas hasilnya banyak dicemoh orang sebagai kecurangan? Ini yang sangat
paradok.
Pekerjaan yang demikian berat dengan durasi waktu panjang tanpa
istirahat, wajar kalau di sana-sini ada kekeliruan dalam menulis angka.
Termasuk meng-input data ke dalam komputer. Bukankah kesalahan ini
menimpa semua kubu, baik kubu pasangan capres/wacapares 01 mau pun 02? Dan
kesalahan itu pun bisa dikoreksi karena penghitungan berjenjang. Salah hitung
di tingkat kecamatan, bisa dikoreksi di tingkat kabupaten, lalu dikoreksi lagi
di tingkat provinsi sebelum ada rapat pleno penentuan di KPU Pusat.
Dengan perjalanan seperti ini maka kesan bahwa pemilu curang seharusnya
tidak perlu disebutkan sebagai dalih untuk takut kalah. Apalagi semua kubu
punya tim yang memantau data-data sejak formulir C 1. Kalau pun terjadi
perbedaan data, maka ajukan bukti-bukti yang dimiliki pada setiap jenjang penghitungan
suara. Jika nanti ketika KPU mengambil keputusan pada 22 Mei yang akan datang
ternyata masih kurang puas, mungkin data yang dimiliki diabaikan oleh KPU,
langkah hukum selanjutnya bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Tugas
MK adalah memutus sengketa pemilu jika ada sengketa itu. Di sidang MK semuanya
nanti bisa dibuka kembali data atau bukti yang dimiliki sehingga tak ada alasan
apa pun untuk menyebut kecurangan KPU.
Dalam kasus ini yang santer menyebutkan KPU curang adalah kubu Prabowo-Sandi.
Padahal mereka konon punya bukti kemenangan sampai 62 persen. Belum ada
keputusan final dari KPU tiba-tiba sudah bisa menyebutkan ada kecurangan.
Apakah nanti kalau misalnya KPU memenangkan kubu 02 kecurangan itu tetap
disuarakan?
Haruslah dicatat secara hukum sampai saat ini belum ada calon presiden
yang menang. Meski pemilihan presiden dan wakil presiden sudah usai 17 April
lalu, pelantikan pasangan pemimpin negara ini baru dilakukan Oktober nanti. Dan
siapa yang dilantik akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum 22 Mei. Itu pun
tak serta merta sah. Kalau ada yang tidak sependapat dengan keputusan KPU maka
terbuka sengketa di Mahkamah Konstitusi. Nah, mahkamah yang memutuskan, siapa
presiden dan wakil presiden yang sah. Sederhana sekali, kenapa harus menyebut
ada kecurangan dan bahkan kesan curang itu jauh-jauh dikatakan sebelum
pembuktian dibeberkan?
Jika sekarang ada yang mendeklarasikan kemenangan calonnya maka anggap
itu eforia pemilihan yang sudah berlangsung dengan aman, kecuali sungguh
memprihatinkan banyaknya petugas pemilihan yang meninggal dunia. Begitu pula
kalau para calon tiba-tiba disapa sebagai presiden, anggap saja lonjakan
kegembiraan dari prediksi awal yang bisa salah. Misalnya, ketika calon presiden
Prabowo Subianto menerima kedatangan anggota Persatuan Purnawirawan Indonesia
Raya. Para sesepuh ini memberi hormat: “siap, presiden!”. Prabowo pun membalas
layaknya mantan jenderal. Tidak ada yang perlu ditertawakan. Bahwa kemudian
Jokowi menirukan adegan itu ketika menerima tim relawannya, tetap saja kita
anggap sebagai “bunga-bunga demokrasi”.
Saatnya kita menghormati pahlawan demokrasi dengan cara mengikuti
aturan demokrasi secara benar, yakni proses tahapan pemilu yang sudah ada di
KPU dan juga telah disepakati bersama. Setiap aturan KPU itu sudah
dikonsultasikan ke DPR dan anggota KPU pun dipilih oleh DPR bersama pemerintah.
Lalu yang penting, jangan ada kubu lain di luar kubu 01 dan 02 yang
coba-coba memprovokasi dan ikut-ikutan menyebutkan pemilu berlangsung curang.
Kubu itu seharusnya tak punya urusan apa-apa. Seperti yang dilakukan oleh apa
yang disebut Ijtima Ulama III. Sekelompok ulama bertemu dan
membuat keputusan yang merecoki langkah kerja KPU ini. Mereka sudah menyebut
pemilu berlangsung curang dan malah meminta capres/cawapres kubu 01 didiskualifikasi.
Jelas kelompok ulama itu berada di seberang kubu 01 dan pastilah tidak mewakili
ulama yang ada. Ada 28 ribu lebih pondok pesantren, 6 ribu lembaga pendidikan
Islam, sejuta lebih masjid, lalu berapa jumlah ulamanya? Tentu tak bisa hanya
“diwakilkan” oleh beberapa ratus ulama. Belum lagi bicara bahwa ulama seyogyanya
mengayomi umat yang tidak membedakan sekat-sekat politik.
Hal-hal seperti ini yang harus kita waspadai. Termasuk ajakan untuk
melakukan aksi masa secara besar-besaran padahal KPU belum mengumumkan hasil
pemilu. Ini harus kita tolak. Marilah bersabar dan kalau semua langkah hukum
sudah dilalui, siapa pun yang kalah harusnya menerima kekalahan itu dengan kesatria.
Itulah salah satu cara kita menghormati pahlawan demokrasi dengan ikut menjadi
pahlawan membela kebenaran. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar