Sabtu, 11 Mei 2019

Ibu Kota

Putu Setia | @mpujayaprema

Tanpa menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang siapa calon presiden yang memenangi pemilihan yang lalu, Joko Widodo langsung terbang ke Kalimantan Timur. Calon presiden petahana ini tak sabar untuk melihat calon lokasi ibu kota negara yang baru.

Jokowi langsung menuju Bukit Suharto di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sore itu pula rombongan terbang ke Kalimantan Tengah, menginap semalam di Palangkaraya, esoknya menuju Gunung Mas. Ibu kota negara membutuhkan 40 ribu hektar lahan dan di kedua calon yang dikunjungi itu luas lahannya masing-masing 80 ribu hektar. Lebih dari cukup.

Jokowi serius memindahkan ibu kota dari Jakarta. “Sejak tiga tahun yang lalu sebetulnya ini telah kita bahas internal. Kemudian 1,5 tahun yang lalu kami minta Bappenas untuk melakukan kajian yang lebih detail baik dari sisi ekonomi, sosial politik, dan juga dari sisi lingkungan," ujar Presiden. Ini seolah menepis tudingan bahwa isu pemindahan ibu kota hanya gara-gara Jakarta sedang banjir.

Jakarta kebanjiran memang jadi salah satu alasan untuk memindahkan ibu kota. Alasan lain daya dukungnya yang sudah tak memadai lagi. Itu terlihat dari kemacetan yang semakin parah. Kenapa tak dipindah dekat-dekat saja? Kalau masih di Pulau Jawa, Jokowi nampaknya enggan. Penduduk di Jawa, kata Jokowi, 57 persen dari total penduduk Indonesia.


Membangun ibu kota tentu tak mudah. Bukan sekadar membangun istana tempat presiden berkantor dan menetap, tetapi harus membangun kantor-kantor kementrian. Tentu aneh kalau menteri masih di Jakarta, lalu rapat kabinet harus menunggu menterinya yang ketinggalan pesawat. Menteri harus ada di ibu kota yang baru, termasuk staf dan tentu semua karyawan. Juga bersama keluarga mereka. Bayangkan berapa kantor kementrian harus dibangun, berapa rumah harus disiapkan, sekolah, tempat ibadah, tentu pula mall yang ada bioskop moderennya. Kalau ibu kota dengan suasana hutan mana betah mereka.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, semua lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus pindah. DPR dan Mahkamah Agung juga harus pindah. “Lembaga itu selalu dikatakan letaknya di ibu kota negara," kata Wapres.

Kalla memprediksi ada 1,5 juta lebih orang masuk ke ibu kota di Kalimantan itu, entah Kalimantan sebelah mana karena belum diputuskan. Ratusan ribu rumah untuk aparat sipil negara harus disediakan dan ini bukan sekadar rumah sederhana 36 meter persegi. Perumahan untuk wakil-wakil rakyat, baik parlemen mau pun senator, bersama staf ahlinya, sudah jelas lebih dari seribu unit. Karena itu Jusuf Kalla memprediksi ibu kota ini baru berfungsi 10 atau 20 tahun lagi sejak diputuskan untuk dibangun. Jokowi jelas tidak menikmati istana baru di ibu kota negara sebagai presiden. Butuh dua presiden setelah Jokowi untuk melanjutkan ibu kota baru ini. Pertanyaan besarnya, bagaimana kalau presiden pengganti Jokowi berubah pendapat, urung memindahkan ibu kota ke Kalimantan? Kita punya banyak pengalaman bagaimana pemimpin pengganti tidak melanjutkan proyek pemimpin sebelumnya. Sebut saja pembangunan pusat olahraga terpadu di Hambalang, mangkrak sampai sekarang.

Karena itu Jokowi perlu diingatkan, jangan grasa-grusu memindahkan ibu kota. Undang pakar berbagai keahlian untuk diminta masukannya. Jangan sampai setelah peletakan batu pertama dan bangunan sudah setengah rampung, ada revisi kebijakan dari presiden pengganti Jokowi dengan alasan “dulu kajiannya kurang benar, terlalu dipaksakan.” Kalau itu terjadi sia-sia energi yang ada.

 (Dari Koran Tempo 11 Mei 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar