Senin, 27 Mei 2019

Kepastian yang Diulur

Mpu Jaya Prema

BEGINILAH perjalanan pemilu 2019. Pemilu yang pertama kali serentak memilih anggota legislatif dan presiden ternyata berlarut-larut penuh cobaan. Pemilu yang pencoblosannya dilangsungkan 17 April 2019, masa kampanyenya sudah dimulai bulan September 2018. Hampir 8 bulan masyarakat terpecah dalam kedua kubu pasangan presiden dan wakil presiden. Waktu yang sangat lama. Meski para calon legislatif semestinya juga bertarung, tetapi pertarungan yang nampak adalah antara kedua pasangan calon presiden dan wakilnya. Tak mengherankan kalau masyarakat menunggu-nunggu tanggal 17 April itu dengan campur aduk, antara cemas dan bosan.

Ketika pencoblosan selesai, tak serta merta pula ada kepastian. Meski hasil hitung cepat banyak yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf, tak mudah mendapatkan pengakuan dari kubu lawan. Apalagi kubu pesaing, pasangan Prabowo-Sandiaga punya perhitungan lain yang memenangkan mereka sendiri. Maka masyarakat pun menanti penghitungan suara resmi dari KPU, yakni pada 22 Mei 2019. Begitulah menurut peraturan perundangan jadwal yang resmi, meski pun akhirnya KPU mendahului mengumumkan hasil penghitungan suara sehari sebelumnya.

Rencana pasangan Prabowo-Sandiaga yang tak mau mengajukan gugatan ke KPU jika dianggap kalah, akhirnya berbalik menjadi menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi. Ini berarti akan ada sengketa pemilu sebagai mana jalur konstitusi yang disepakati. Mahkamah Konstitusi hanya punya waktu 14 hari untuk memutus sengketa. Namun ada hari raya penting bagi mayoritas penduduk Indonesia, yakni Idul Fitri. Hari raya yang cuma dua hari itu disusul cuti bersama. Maka hari kerja Mahkamah Konstitusi pun molor. Akhirnya keputusan Mahkamah Konstitusi paling telat baru dibacakan pada 28 Juni 2019. Sungguh penantian panjang dan yang dirasakan masyarakat adalah kepastian yang seolah diulur-ulur.

Muncul pula kecemasan baru, apakah di ujung penantian itu tidak ada lagi aksi demo yang rusuh? Seperti diketahui pada aksi massa 21 dan 22 Mei lalu ada 8 orang korban meninggal dunia dan ratusan yang luka-luka di rumah sakit. Aksi ini juga didomplengi perusuh yang tak berkaitan dengan pendukung mana pun kecuali memang tujuannya membuat rusuh. Sejumlah mobil dibakar di depan asrama brimob. Nah, apakah pada masa sidang Mahkamah Konstitusi dan terutama pada saat membaca keputusan, tidak ada lagi aksi demo? Dipastikan akan ada aksi dan jika perusuh lagi-lagi memanfaatkan situasi itu bisa menelan banyak korban lagi.

Yang menjadi persoalan pula, apakah gugatan ke MK ini akan bisa mengubah keputusan KPU soal kemenangan Jokowi-Ma’ruf? Banyak yang meragukan. Masalahnya selisih suara begitu besar sampai 16 jutaan. Kalau pun memang ada kecurangan di kubu Jokwi-Ma’ruf  apakah akan menghasilkan suara sebanyak itu? Apakah kubu Prabowo-Sandiaga punya bukti dan mampu memaparkan dalam sidang MK? Berapa bukti yang harus diserahkan dan bagaimana mekanisme memeriksa bukti itu sementara keputusan MK harus ada hanya dalam tempo 14 hari kerja? Kalau pun MK menganggap ada beberapa kecurangan, tentu tidak banyak, jika suara yang akan didapat tidak signifikan maka gugatan kubu Prabowo akan ditolak. Ini yang terjadi pada tahun 2014.

Lagi pula MK tidak hanya mengurus gugatan dari pemilihan presiden saja. Dari pemilihan legislatif ada 357 gugatan yang masuk. Hakim MK hanya 9 orang. Kalau gugatan itu dibagi rata, seorang hakim bisa mendapatkan 40 sengketa. Lalu kalau hanya ada waktu 14 hari kerja, dalam satu hari harus memutus 2 sampai 3 perkara. Dan bayangkan bagaimana memeriksa berkas, pengajuan saksi dan seterusnya dalam waktu yang sesingkat itu. Kalau sengketa pileg ini saja sudah akan menyita waktu, bagaimana pula urusan sengketa pilpres? Apa mungkin memeriksa apa yang disebut barang bukti secara menyeluruh dari kedua kubu? Meski yang mengajukan sengketa ini kubu Prabowo, kubu Jokowi sebagai pihak terkait tentu wajib pula memberikan bukti-bukti bantahan.

Beginilah nasib pemilu di mana calon presiden tidak ada yang secara kesatria mengaku kalah. Hasil hitung cepat adalah metode yang sudah sangat ilmiah dan sudah teruji di berbagai negara. Calon presiden yang kalah di negara-negara maju, langsung menyampaikan ucapan selamat kepada lawannya yang menang, meski pun itu dari hasil hitung cepat. Di negeri kita ini malah hitung cepat diragukan padahal ilmu statistik yang digunakan sama saja dengan di negara maju. Lalu menunggu hitung secara nyata (real count) dan hasilnya itu pun dianggap penuh kecurangan juga. Lantas hitung apa yang mau digunakan?

Kubu Prabowo jika terus mempraktekkan demokrasi yang tidak sehat bisa kehilangan pendukung satu persatu. Partai Demokrat sudah hampir pasti meninggalkan koalisi ini. Partai Amanat Nasional juga mulai ambil jalan mendekat ke kubu Jokowi. Kalau itu terjadi maka yang tersisa hanya Partai Gerindra dan PKS.

Di kalangan para tokoh pun sudah mulai ada tanda-tanda menyempal. Dari 8 Kepala Daerah yang berkumpul di Bogor, ada beberapa yang partainya pendukung Prabowo. Misalnya walikota Bogor Bima Arya yang kader PAN, Gubrnur NTB Zulkiflimansyah yang condong ke PKS, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak yang kader Partai Demokrat, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang didukung Gerindra. Para tokoh yang menyempal ini semuanya berdalih demi keutuhan bangsa dengan cara mencoba mendinginkan suasana yang panas. Prabowo harus melihat arus balik ini, jika tidak dia akan kehilangan muka seusai penetapan presiden yang sangat besar kemungkinannya tidak akan jauh dari hasil yang sudah diumumkan KPU.

Tak ada alasan lagi untuk mengulur-ulur kepastian hasil pemilu 2019 jika MK sudah memberikan keputusannya, karena keputusan MK bersifat final. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar