Mpu Jaya Prema
LEBARAN adalah hari raya untuk umat Islam. Secara
resmi di kalangan kaum muslim disebut Hari Raya Idul Fitri, hari di mana
dianggap suci dan lahir kembali setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa,
pengendalian diri. Tetapi hampir sebagian besar penduduk di Nusantara terlibat
dalam lebaran itu. Pemerintah resmi menambah libur lebaran menjadi cuti
bersama. Kantor tutup dan orang kembali ke kampung halaman yang disebut mudik.
Tak peduli apa agamanya, semua menikmati mudik pada libur panjang itu.
Kerepotan mengurus orang mudik ini menjadi hal rutin buat aparat keamanan dan
petugas di jalan raya.
Namun jika dipandang dari sudut budaya, ada yang
menyebut lebaran itu sedikit beda dengan Idul Fitri. Lebaran itu untuk seluruh
warga di Nusantara sejak dulu, apa pun agamanya. Kalau Idul Fitri, ya, untuk
umat muslim. Ada salat Ied sebagai pertanda datangnya bulan Syawal dan
berakhirnya Ramadan yang penuh berkah. Tentu ini hanya dilakukan oleh umat
muslim.
Istilah lebaran sudah ada sejak dulu. Kata itu ada
dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari kata leba yang huruf “a” ada titik dua di atasnya. Itu dibaca
agak panjang, lebaa. Lama-lama dibaca
lebaar lalu ditulis lebar, biar semakin praktis. Arti kata
itu adalah tenang, lapang, lega, senang yang semuanya berkaitan dengan hati.
Di masyarakat Bali pun kata lebar sudah sangat akrab. Lebar berarti berakhirnya ritual,
misalnya, piodalan di sebuah pura yang berhari-hari. Bisa disebutkan sebagai
penutup ritual. Lebar pertanda kita
memasuki suasana baru seperti bayi yang baru lahir, kembali suci. Lebar juga dipakai pengganti kata meninggal
dunia untuk pendeta Hindu di Bali, karena itulah saat-saat keheningan sejati
tiba. Kematian bagi pendeta adalah
saatnya kehidupan baru yang hening dan suci karena segala dosa duniawi sudah
berakhir.
Di beberapa desa istilah lebar itu juga dipakai saat Nyepi. Dan itu bertepatan pada hari
dimulainya kehidupan baru setelah melakukan
berbagai pantangan yang dikenal dengan Catur Brata Penyepian. Nyepi jatuh
tanggal satu bulan ke sepuluh tahun Saka yang disebut Kedasa. Jadi ada
persamaan dengan Idul Fitri yang juga
jatuh tanggal satu bulan ke sepuluh Tahun Hijrah. Ramadan itu bulan ke
sembilan, Syawal bulan ke sepuluh. Cuma saja dalam Tahun Hijrah tidak ada apa
yang disebut nampi sasih (bulan yang
dobel) sebagaimana Tahun Saka versi Bali. Saat ini Sasih Sadha adalah kebetulan
nampi sasih.
Setelah lebaran umat muslim bilang halal bihalal
selama bulan Syawal, umat Hindu bilang dharma shanti selama bulan Kedasa.
Saling memaafkan, merekat kembali persahabatan yang renggang, memupuk silaturahmi atau mesimakrama. Jadi suasana kebatinan sama saja, ini persoalan
budaya.
Yang membedakan adalah suasana di lingkungan sekitar
kita. Karena orang-orang pada mudik ke kampung halamannya, maka wajah kota-kota
besar jadi berubah sepi. Termasuk di kota Denpasar yang sehari-hari ramai.
Ternyata wajah kota Denpasar sudah dikuasai oleh pendatang yang sedang mudik.
Denpasar relatif sepi, toko dan warung pada tutup.
Pedagang kaki lima tidak ada. Jalan raya Denpasar – Gilimanuk yang biasanya
begitu ramai dan sering macet karena ada truck yang mogok, kini leluasa
dilintasi. Yang ramai adalah jalan menuju Bedugul karena banyak orang yang mau
piknik. Apalagi menjelang tahun ajaran berakhir banyak sekolah yang membagikan
rapot di tempat wisata.
Ternyata banyak orang Bali, khususnya yang tinggal
di perkotaan, sudah tergantung pada
pendatang. Beli makanan jadi sulit karena pedagang pecel lele, ayam lalapan,
sate Madura, sop kepala ikan dan lainnya tidak berjualan di kaki lima. Keluarga
yang terbiasa langganan bakso atau roti yang dijajakan pendatang dengan sepeda
motor, juga tidak ada yang lewat. Bukan saja urusan makan, ternyata merembet ke
urusan bahan ritual upacara keagamaan. Mencari pisang sulit karena selama ini
pisang didatangkan dari Jawa. Juga janur, kelapa dan buah-buahan lainnya.
Pendatang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari aktifitas masyarakat Bali, terutama yang bermukim di perkotaan. Orang Bali
yang hidupnya mapan, biasa punya pembantu dan pengasuh anak dari Jawa. Para
kontraktor bangunan pun mencari mandor dan tukang dari luar Bali. Alasannya
sederhana, mandor dan tukang dari Bali sering minta izin libur dan mengganggu
jadwal proyek. Kecuali jika membangun proyek yang memakai ornamen Bali.
Juga sektor lain, misalnya, supir keluarga.
Kebanyakan dari Jawa dan tentu saja yang beragama bukan Hindu. Alasannya pun
sepele tetapi masuk akal. Kalau mencari supir orang Bali, di saat sangat
dibutuhkan justru dia minta libur. Misalnya, pada hari raya keagamaan. “Kalau
kita rahinan, apalagi Galungan, supir
Bali itu juga ikut merahinan dan megalung, jadi percuma punya supir, di
saat perlu malah tak bisa dipakai,” begitu ada tulisan di media sosial.
Pendatang itu mendapatkan “sorga kehidupan” di Bali
karena faktor budaya dan tradisi orang Bali yang enggan bekerja kasar yang
dilihat banyak orang. Ada orang Bali yang berjualan di kaki lima, dagangannya
laris, tetapi mencari pembantu untuk cuci piring sulit. Kalau orang Bali
bekerja di hotel dan tugasnya di bagian bersih-bersih, tidak masalah, karena
status hotel itu membuatnya lebih bergengsi. Tetapi di restoran yang terlihat
umum, apalagi di kaki lima, jarang yang mau. Cobalah perhatikan, pedagang bakso
keliling termasuk yang di desa terpencil itu, juga para pendatang.
Apakah banyaknya pendatang, yang ternyata memang
dibutuhkan oleh sebagian masyarakat Bali, akan mengubah budaya dan perilaku
sosial masyarakat Bali? Kecemasan seperti itu pasti ada. Namun sebagai negara
kesatuan, Bali tentu tak bisa melarang pendatang menyerbu ke sini, seperti
halnya penduduk Bali tak bisa dilarang pergi ke luar daerah untuk mencari
nafkah atau transmigrasi. Membatasi penduduk pendatang adalah sia-sia karena
tak punya landasan hukum. Kalau kita menolak pendatang ke Bali, bagaimana kalau
orang Bali yang berada di luar Bali juga ditolak oleh masyarakat setempat?
Komposisi penduduk di suatu daerah memang sudah
mulai beragam. Istilah mayoritas berdasar agama dan etnis sudah mulai tidak
laku. Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dari Bali yang terpilih pada pemilu
yang lalu ada dari muslim. Ini berarti keberagaman itu tidak masalah, karena di
Lampung, Sulawesi, NTB dan banyak tempat lagi, ada pula orang Bali yang
terpilih menjadi wakil rakyat. Itulah wajah NKRI seperti halnya lebaran sudah
menjadi kerepotan semua umat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar