Sabtu, 22 Juni 2019

Situng

Putu Setia | @mpujayaprema

Banyak benar akronim yang membuat kita bingung, salah satunya adalah Situng. Kalau kata Situng dipanjangkan, juga simpang siur. Ada yang menyebut “sistem informasi penghitungan” lalu ada yang lebih panjang “sistem informasi penghitungan suara”. Huruf mana yang mewakili kata “suara” juga tak jelas. Kenapa tak disingkat SIP saja, lebih adil setiap kata diwakili huruf paling awal. Jangan-jangan dibutuhkan RUU tentang Akronim.

Yang jelas Situng berkaitan dengan menghitung suara hasil pemilihan umum. Perangkatnya barang canggih, ribuan komputer dan sejumlah server. Pakar informasi teknologi terlibat sejak merancang sistem sampai mengawasi keamanan Situng. Anggaran pun besar. Untuk server di Komisi Pemilihan Umum saja butuh Rp 35 Milyar, anggaran seluruhnya tentu lebih gede lagi.

Apa yang dilakukan dengan Situng ini? Kalau mau dijelaskan dengan sederhana, bisa saja. Suara yang sudah dikumpulkan di kabupaten langsung dikirim ke server Situng KPU di Jakarta. Hasilnya bisa dilihat oleh siapa pun lewat web Situng KPU. Namun penjelasan bisa rumit jika mengusut bagaimana mengirim jumlah suara dari kabupaten ke KPU, siapa yang mengawasi angka itu benar atau salah pencet karena faktor kelelahan petugas.

Situng menjadi pembahasan panjang di sidang Mahkamah Konstitusi.  Kubu 02 sebagai pemohon, menggugat Situng sebagai salah satu sistem yang menyebabkan pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden, banyak kecurangan. Pihak KPU sebagai termohon membalas dengan menghadirkan pakar IT Prof Marsudi Wahyu Kisworo. Begitu pentingnya soal Situng sehingga KPU hanya menghadirkan satu-satunya saksi ahli. Urusan lain, soal daftar pemilih tetap yang disebut amburadul, tuduhan kecurangan di beberapa tempat pemungutan suara, kenetralan aparat sipil, tidak diladeni KPU. Mungkin karena saksi-saksi yang dihadirkan pemohon 02 terlalu lokal bahkan ada seseorang yang menjadi tahanan kota ikut bersaksi. Bisa jadi pihak KPU berpikir, soal-soal receh tak harus diladeni.

Jika urusan Situng demikian menyita persidangan, lalu seberapa besar pengaruh Situng ini terhadap keputusan KPU yang menetapkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf? Ternyata tidak ada. Hakim menyebutkan, penetapan hasil pemilihan umum termasuk di dalamnya hasil pemilihan presiden, berdasarkan undang-undang adalah penghitungan manual yang berjenjang dari tempat pemungutan suara, dibawa ke kecamatan, lalu ke kabupaten/kota, terus ke provinsi, berakhir di KPU Jakarta. Prof Wahyu, sang perancang Situng, juga menyebutkan: “Situng memang tidak dirancang untuk sistem penghitungan suara, tapi dirancang sebagai sarana transparansi kepada masyarakat sehingga masyarakat punya fungsi kontrol terhadap proses penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang."

Sampai di sini jelas kan? Energi kita habis untuk hal yang tidak penting amat. Caci maki para politikus yang menyebut Situng itu gombal, amatiran, sumber kecurangan, terus mengalir. Andaikata pun itu benar atau sebagian benar, tak akan bisa mengubah hasil pemilu yang berdasarkan hitung manual.

Jika begitu, untuk apa Situng ini? Bukankah sarana transparansi dan penasaran masyarakat sehingga punya fungsi kontrol bisa diwakili oleh hitung cepat yang metode dan akurasinya kian canggih? Barangkali Situng tak perlu saat ini karena kita masih akrab dengan cara tradisional, terbukti undang-undang juga mengabaikannya. Namun sebagai uji coba untuk penetapan hasil pemilu ke depan tetap penting, mumpung barangnya sudah ada, mubazir jika tak dipakai.

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 22 Juni 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar