Senin, 24 Juni 2019

Menggairahkan Sastra Bali

Mpu Jaya Prema
SEBUAH yayasan yang berniat ikut menyemarakkan kehidupan sastra Bali moderen diresmikan pekan lalu di Banjar Gelulung, Sukawati Gianyar. Yayasan itu bernama Yayasan Wahana Dharma Sastra Made Sanggra atau yang disingkat Yayasan Made Sanggra, diresmikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Wayan “Kun” Adnyana.

Made Sanggra semasa hidupnya adalah pegiat sastra Bali moderen. Banyak karya yang sudah dihasilkannya, baik berupa cerita pendek mau pun puisi. Bersama karibnya Nyoman Manda, pengawi (pengarang) sastra Bali yang sangat produktif, mereka juga menerbitkan majalah Canang Sari. Yang menarik semua penerbitan itu dibiayai sendiri, baik buku kumpulan cerpen, kumpulan puisi mau pun majalahnya.
Kini anak-anak Made Sanggra meneruskan cita-cita ayahnya untuk ikut menggairahkan kehidupan sastra Bali moderen. Menurut ketua yayasan, Made Suarjana, suatu hari sebelum meninggal dunia, ayahnya pernah menyampaikan keprihatinannya akan redupnya sastra Bali moderen, bahkan bahasa Bali itu sendiri. Dia ingin punya suatu wadah yang ikut aktif agar bahasa dan sastra Bali terhindar dari kepunahan. Atas dasar keprihatinan itulah, menurut anak-anak Made Sanggra, yayasan ini didirikan. “Mulai dari hal-hal yang kecil, siapa tahu suatu saat bisa memberikan penghargaan kepada penggiat sastra Bali moderen yang selama ini justru diberikan oleh Yayasan Rancage di Bandung,” kata Made Suarjana.

Bagaimana sesungguhnya kehidupan sastra Balli moderen? Apakah begitu memprihatinkan dan mandeg selama ini? Sejatinya tidak juga. Karya sastra Bali moderen masih tetap eksis di media lokal Bali, termasuk di koran Pos Bali ini setiap akhir pekan. Penulis cerita pendek dan puisi terus bermunculan dari kalangan anak-anak muda. Tak pernah sepi dari naskah. Tema-tema cerita pun sudah mulai kekinian mengikuti arus modernisasi. Ini menandakan para penulisnya memang datang dari generasi milenial. Dan jika dikaitkan dengan program Gubernur Bali Wayan Koster dalam Nangun Sad Kerti Loka Bali, maka kehidupan sastra Bali moderen tinggal diberikan suntikan untuk bergairah. Suntikan itu bisa berupa rangsangan untuk berkarya, panggung dan media untuk menyalurkan kreasinya, dan penyebaran karya-karya itu ke segala arah. Tak cuma di sekolah-sekolah tetapi juga pada masyarakat umum. Bagaimana caranya tentu bisa didiskusikan lagi.
Kenapa disebut sastra Bali moderen? Ini membedakan dengan sastra Bali klasik atau tradisional. Ada pun sastra Bali klasik itu adalah semacam tembang atau geguritan dan kekawin. Ada empat jenis geguritan, yakni Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Sedangkan sastra Bali moderen adalah karya sastra yang menggunakan bahasa Bali tetapi tidak terikat kepada pakem tembang. Misalnya dalam Sekar Alit ada pakem atau di masyarakat disebut pupuh, seperti Pupuh Sinom, Pupuh Ginada, Pupuh Pangkur dan seterusnya, dalam sastra Bali moderen tidak ada patokan itu. Patokannya mengacu kepada sastra Indonesia seperti cerita pendek, novel, puisi dan drama.
Sastra Bali moderen ini pun sesungguhnya sudah dikenal lama. Jadi moderen dalam pengertian bentuk dan bukan dalam pengertian keberadaannya. Kapan sastra berbahasa Bali moderen itu muncul? Prof Ngurah Bagus pernah menyebutkan bahwa sastra Bali moderen mulai dikenal pada tahun 1930. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana itu mendasarkan pendapatnya pada penerbitan novel karya I Wayan Gobiah yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1931.
Namun belakangan, pengajar di Fakultas Sastra Unud I Nyoman Darma Putra menemukan karya baru yang jauh sebelum itu. Darma Putra menyebutkan, sastra Bali moderen sudah ada di tahun 1910 dengan karya yang dibuat oleh Made Pasek dan Mas Nitisastro dalam bentuk cerita pendek. Buku-buku ditemukannya dalam mikrofilm koleksi V.E. Korn di perpustakaan University of Queennsland, Australia. Ini berarti sastra Bali moderen sudah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu.
Jika demikian halnya, yang terjadi adalah pasang surut dalam kehidupan sastra Bali moderen. Kalau mati pasti tidak, tetapi mati suri beberapa tahun barangkali ada benarnya. Itu pun dalam pengertian penggiatnya berkurang dan perhatian pemerintah juga kurang. Di tahun 1970-an ketika Listibiya (Mejelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Bali aktif mengadakan lomba penulisan sastra Bali moderen, kehidupan sastra Bali moderen sempat bangkit. Karya-karya bermunculan. Namun setelah itu, ketika Listibiya tak jelas juntrungannya, sastra Bali moderen kembali sepi. Lalu bangkit lagi di tahun 1990an ketika Yayasan Kebudayaan Rancage yang dipelopori sastrawan Ayip Rosidi memperluas jangkauannya memantau sastra daerah. Jika sebelumnya Yayasan Rancage hanya memberikan penghargaan kepada sastra Sunda, kemudian dikembangkan ke sastra daerah lainnya, termasuk sastra Bali. Ada imbas dari penghargaan Rancage itu untuk kehidupan sastra Bali moderen.
Penerima pertama anugerah Rancage untuk buku terbaik tahun 1997 adalah buku puisi Kidung Republik karya I Made Sanggra, sedangkan untuk tokoh yang berjasa dalam pengembangan sastra Bali modern adalah I Nyoman Manda sebagai pengelola majalah sastra Bali Canang Sari. Menurut Darma Putra yang menjadi juri penilaian Rancage untuk sastra Bali, buku yang diseleksi 1997 itu hanya satu. Karya Made Sanggra ini tidak punya saingan tetapi karyanya itu memang dianggap layak. Nah setelah ada penghargaan itulah sastra Bali moderen kembali giat. Penulis-penulis Bali menyambut anugerah sastra Rancage lewat karya. Mereka menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan puisi, cerpen, dan novel. Sejak tahun 2000, rata-rata buku sastra Bali modern yang terbit sekitar delapan judul. Setelah itu terus bertambah buku yang terbit dan lebih dari 30-an sastrawan Bali modern yang meraih hadiah sastra Rancage, baik atas buku yang diterbitkan maupun sebagai tokoh yang berjasa. Nyoman Manda sendiri sudah tiga kali menerima anugrah Rancage ini. Generasi lebih muda menyusul seperti Nyoman Tusthi Eddy, Made Sugianto, Made Suarsa.
Ini berarti kalau ada lembaga, baik itu yayasan mau pun pemerintah, memberi penghargaan kepada sastrawan Bali, maka menjadi harapan yang baik bahwa sastra Bali moderen akan terus berkembang. Di situ penting arti berdirinya Yayasan Made Sanggra. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar