Putu Setia | @mpujayaprema
Banyak benar akronim yang membuat kita bingung,
salah satunya adalah Situng. Kalau kata Situng dipanjangkan, juga simpang siur.
Ada yang menyebut “sistem informasi penghitungan” lalu ada yang lebih panjang
“sistem informasi penghitungan suara”. Huruf mana yang mewakili kata “suara”
juga tak jelas. Kenapa tak disingkat SIP saja, lebih adil setiap kata diwakili
huruf paling awal. Jangan-jangan dibutuhkan RUU tentang Akronim.
Yang jelas Situng berkaitan dengan menghitung suara
hasil pemilihan umum. Perangkatnya barang canggih, ribuan komputer dan sejumlah
server. Pakar informasi teknologi terlibat sejak merancang sistem sampai
mengawasi keamanan Situng. Anggaran pun besar. Untuk server di Komisi Pemilihan
Umum saja butuh Rp 35 Milyar, anggaran seluruhnya tentu lebih gede lagi.
Apa yang dilakukan dengan Situng ini? Kalau mau
dijelaskan dengan sederhana, bisa saja. Suara yang sudah dikumpulkan di kabupaten
langsung dikirim ke server Situng KPU di Jakarta. Hasilnya bisa dilihat oleh
siapa pun lewat web Situng KPU. Namun penjelasan bisa rumit jika mengusut
bagaimana mengirim jumlah suara dari kabupaten ke KPU, siapa yang mengawasi
angka itu benar atau salah pencet karena faktor kelelahan petugas.
Situng menjadi pembahasan panjang di sidang Mahkamah
Konstitusi. Kubu 02 sebagai pemohon, menggugat
Situng sebagai salah satu sistem yang menyebabkan pemilihan umum, khususnya pemilihan
presiden, banyak kecurangan. Pihak KPU sebagai termohon membalas dengan
menghadirkan pakar IT Prof Marsudi Wahyu Kisworo. Begitu pentingnya soal Situng sehingga
KPU hanya menghadirkan satu-satunya saksi ahli. Urusan lain, soal daftar
pemilih tetap yang disebut amburadul, tuduhan kecurangan di beberapa tempat
pemungutan suara, kenetralan aparat sipil, tidak diladeni KPU. Mungkin karena
saksi-saksi yang dihadirkan pemohon 02 terlalu lokal bahkan ada seseorang yang
menjadi tahanan kota ikut bersaksi. Bisa jadi pihak KPU berpikir, soal-soal
receh tak harus diladeni.
Jika urusan Situng demikian menyita persidangan, lalu seberapa besar
pengaruh Situng ini terhadap keputusan KPU yang menetapkan kemenangan pasangan
Jokowi-Ma’ruf? Ternyata tidak ada. Hakim menyebutkan, penetapan hasil pemilihan
umum termasuk di dalamnya hasil pemilihan presiden, berdasarkan undang-undang
adalah penghitungan manual yang berjenjang dari tempat pemungutan suara, dibawa
ke kecamatan, lalu ke kabupaten/kota, terus ke provinsi, berakhir di KPU
Jakarta. Prof Wahyu, sang perancang Situng, juga menyebutkan: “Situng memang tidak dirancang untuk
sistem penghitungan suara, tapi dirancang sebagai sarana transparansi
kepada masyarakat sehingga masyarakat punya fungsi kontrol terhadap proses
penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang."
Sampai di sini
jelas kan? Energi kita habis untuk hal yang tidak penting amat. Caci maki para
politikus yang menyebut Situng itu gombal, amatiran, sumber kecurangan, terus
mengalir. Andaikata pun itu benar atau sebagian benar, tak akan bisa mengubah
hasil pemilu yang berdasarkan hitung manual.
Jika begitu,
untuk apa Situng ini? Bukankah sarana transparansi dan penasaran masyarakat sehingga
punya fungsi kontrol bisa diwakili oleh hitung cepat yang metode dan akurasinya
kian canggih? Barangkali Situng tak perlu saat ini karena kita masih akrab
dengan cara tradisional, terbukti undang-undang juga mengabaikannya. Namun
sebagai uji coba untuk penetapan hasil pemilu ke depan tetap penting, mumpung
barangnya sudah ada, mubazir jika tak dipakai.
(Diambil dari Koran Tempo Akhir Pekan 22 Juni 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar