Mpu Jaya Prema
LEBARAN sudah berlalu. Para pemudik sudah kembali dari
kampung halamannya, karena hari ini sudah harus masuk kerja. Cuti lebaran sudah
berakhir. Kota-kota pun mulai diserbu pendatang. Mereka adalah pemudik dan juga
pendatang baru yang mencoba nasib di kota, meninggalkan kampung halamannya.
Demikian setiap tahun, pemudik akan membawa keluarga atau temannya untuk datang
ke kota, karena di desa lahan pekerjaan sudah mulai berkurang.
Dan Bali adalah kota besar yang juga menjadi tujuan utama
pemudik, tak kalah dengan Jakarta. Bali disebut sebagai kota besar karena
pendatang tak hanya menyerbu kota Denpasar saja, tetapi juga kota-kota
kabupaten dan kecamatan. Pada lebaran yang lalu, bukan cuma Denpasar yang
tiba-tiba menjadi lengang, pasar senggol di kota kecamatan pun sepi ditinggal
penduduk pendatang.
Bali telah menjadi surga para pendatang. Memang sudah ada
pengawasan di pintu masuk Bali, seperti di Pelabuhan Benoa, Gilimanuk dan
Padangbai. Tetapi pengawasan itu lebih difokuskan kepada barang-barang yang tak
layak dibawa, seperti senjata tajam dan mungkin juga narkoba. Akan halnya dalam
masalah administrasi kependudukan, pengawasan tergolong tidak keras. Mereka
tetap diproses administrasinya dan bukan dikembalikan lagi ke daerah asalnya.
Terlalu banyak biaya mengembalikan pendatang yang identitasnya tak lengkap.
Seperti yang dilakukan dalam sidak di Pelabuhan Benoa,
pekan lalu. Dari penumpang KM Awu yang membawa sekitar 800 penumpang ada
ditemukan 54 pendatang yang tidak memiliki KTP elektronik dan 5 orang tanpa
identitas jelas. Yang tak punya KTP elektronik tentu tinggal diminta untuk
segera mengganti KTP yang dia miliki, sedang yang tanpa identitas hanya
diproses ke Satpol PP. Ini cuma masalah administrasi karena bagaimana
memulangkan mereka kembali, tentu sulit jika tak ada unsur pidananya. Ternyata
sidak ini pun cuma ingin mendata berapa penduduk Denpasar sebelum lebaran dan
berapa jumlahnya setelah lebaran. Bukan sama sekali bertujuan membatasi
pendatang, sebagaimana pernah dilakukan di Jakarta beberapa tahun lalu yang
selalu gagal dalam pelaksanaannya.
Bali itu memang betul-betul surga untuk para pendatang.
Ada keluarga pendatang dari Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang hidupnya di
Denpasar hanya berjualan bubur. Ada pendatang dari Sragen, juga di Jawa Tengah,
yang hanya menjadi tukang cukur di daerah yang tergolong desa di pinggir jalan
raya. Janganlah ditanya lagi pendatang yang lebih dekat dari Jawa Timur seperti
Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo. Mereka sudah menguasai kuliner kaki lima,
bukan saja di kota-kota seperti Denpasar dan Tabanan tetapi juga di pedesaan.
Lihat saja sepanjang jalan Gilimanuk – Denpasar, jumlah warung pendatang lebih
banyak dari warung orang Bali. Sekarang coba kita bertanya, apa ada orang Bali
yang tiba-tiba pergi ke kota kecil di Jawa hanya berjualan bubur ayam atau
buah-buahan menggelar dagangan di kali lima? Jangankan merantau ke luar daerah,
di Bali sendiri juga enggan melakukan pekerjaan itu.
Jadi Bali betul-betul adalah surga bagi para pendatang.
Kalau kita tanya kenapa memilih Bali alasan utama adalah keamanan. Mereka aman
berada di Bali. Orang Bali itu ramah, sopan, dan toleran kepada pendatang.
Alasan lain karena transportasi mudah dibandingkan merantau ke luar pulau Jawa.
Jadi para pendatang ini benar-benar merasa diayomi sehingga mereka bisa bekerja
keras untuk memenuhi kehidupannya dan bahkan kemudian bisa membeli tanah atau
rumah petak di Bali dengan mencicil. Lihatlah pembangunan rumah sederhana type
36 M2 yang tersebar di seluruh Bali, hampir kebanyakan dibeli oleh pendatang
karena cicilannya kurang dari Rp 1 juta sebulan.
Kini Pemerintah Daerah Bali semakin baik kepada pendatang
dengan disahkannya Perda Desa Adat. Perda yang sangat dibanggakan Gubernur Bali
Wayan Koster ini disebut-sebut menguatkan warisan Ida Bethara Mpu Kuturan
dengan visi misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Prasasti peresmian Perda No. 4
Tahun 2019 tentang Desa Adat ini dilakukan dengan seremonial megah di Wantilan
Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar pada 4 Juni lalu, saat rahinan Anggarkasih (Selasa Kliwon)
Kulantir.
Kenapa pendatang senang? Karena selama ini para pendatang
yang disebut tamiu (tamu) tidak
diatur oleh Desa Adat. Mereka diatur oleh Desa Dinas dan urusannya pun hanya
masalah administrasi kedinasan. Sekarang para pendatang diayomi oleh perangkat
dan peraturan desa adat sesuai Perda.
Jika Perda sebelumnya yang masih memakai istilah Desa
Pekraman (ini sesuai konsep Mpu Kuturan yang asli) pendatang itu sama sekali
tak mendapatkan pelayanan apa-apa. Istilah kasarnya “sing ngurusin tamiu”
(tidak mengurusi tamu) dan karena itu pemerintah mewajibkan desa dinas mengurus
segala masalah yang disandang pendatang. Dengan diurus oleh desa dinas maka
semua kewajiban dan hak mereka adalah sama dengan penduduk yang lain, apalagi
KTP mereka tentu juga diurus oleh desa dinas.
Sekarang dengan Perda yang baru, pendatang sebagai krama tamiu mendapat hak dan kewajiban
yang sama dengan penduduk desa lainnya, kecuali urusan keagamaan. Mereka boleh
saja ikut bekerja bhakti di lingkungan desa adat termasuk di halaman pura,
tetapi bersembahyang tentu tak bisa karena beda agama. Nah karena merasa punya
hak dan kewajiban meski terbatas oleh perbedaan agama, suatu ketika tentu
mereka juga punya hak mengusulkan pendirian rumah ibadah apakah itu masjid atau
gereja, termasuk usul membuat kuburan non-Hindu di desa adat. Kenapa tidak
bisa? Bukankah mereka adalah warga desa adat juga minus urusan agama? Ini yang
membedakan dengan Perda yang lama, yang tegas menyebutkan Desa Adat (Pakraman)
hanya beranggotakan masyarakat yang menyungsung Trikahyangan, Pura Desa/Bale
Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Kalau tidak menyungsung Tri Kahyangan
setempat di mana mereka tinggal bukan warga desa adat itu.
Kita akan melihat beberapa tahun kemudian apa yang
terjadi dengan Perda Desa Adat yang baru, apa benar menguatkan warisan Mpu
Kuturan atau justru melemahkan umat Hindu. Apalagi Bali yang disebut sebagai
mayoritas Hindu sudah ada wakilnya beragama lain, yakni anggota DPD Bali
terpilih dari umat Islam. Perda Desa Adat memang bagus dalam banyak hal, tetapi
dalam konsep Mpu Kuturan untuk ajegnya Hindu sepertinya ada lobang yang
menjadikan Bali surga pendatang bagi yang kebetulan non-Hindu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar