Senin, 10 Juni 2019

Surga Bagi Pendatang

Mpu Jaya Prema
LEBARAN sudah berlalu. Para pemudik sudah kembali dari kampung halamannya, karena hari ini sudah harus masuk kerja. Cuti lebaran sudah berakhir. Kota-kota pun mulai diserbu pendatang. Mereka adalah pemudik dan juga pendatang baru yang mencoba nasib di kota, meninggalkan kampung halamannya. Demikian setiap tahun, pemudik akan membawa keluarga atau temannya untuk datang ke kota, karena di desa lahan pekerjaan sudah mulai berkurang.

Dan Bali adalah kota besar yang juga menjadi tujuan utama pemudik, tak kalah dengan Jakarta. Bali disebut sebagai kota besar karena pendatang tak hanya menyerbu kota Denpasar saja, tetapi juga kota-kota kabupaten dan kecamatan. Pada lebaran yang lalu, bukan cuma Denpasar yang tiba-tiba menjadi lengang, pasar senggol di kota kecamatan pun sepi ditinggal penduduk pendatang.

Bali telah menjadi surga para pendatang. Memang sudah ada pengawasan di pintu masuk Bali, seperti di Pelabuhan Benoa, Gilimanuk dan Padangbai. Tetapi pengawasan itu lebih difokuskan kepada barang-barang yang tak layak dibawa, seperti senjata tajam dan mungkin juga narkoba. Akan halnya dalam masalah administrasi kependudukan, pengawasan tergolong tidak keras. Mereka tetap diproses administrasinya dan bukan dikembalikan lagi ke daerah asalnya. Terlalu banyak biaya mengembalikan pendatang yang identitasnya tak lengkap.

Seperti yang dilakukan dalam sidak di Pelabuhan Benoa, pekan lalu. Dari penumpang KM Awu yang membawa sekitar 800 penumpang ada ditemukan 54 pendatang yang tidak memiliki KTP elektronik dan 5 orang tanpa identitas jelas. Yang tak punya KTP elektronik tentu tinggal diminta untuk segera mengganti KTP yang dia miliki, sedang yang tanpa identitas hanya diproses ke Satpol PP. Ini cuma masalah administrasi karena bagaimana memulangkan mereka kembali, tentu sulit jika tak ada unsur pidananya. Ternyata sidak ini pun cuma ingin mendata berapa penduduk Denpasar sebelum lebaran dan berapa jumlahnya setelah lebaran. Bukan sama sekali bertujuan membatasi pendatang, sebagaimana pernah dilakukan di Jakarta beberapa tahun lalu yang selalu gagal dalam pelaksanaannya.

Bali itu memang betul-betul surga untuk para pendatang. Ada keluarga pendatang dari Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang hidupnya di Denpasar hanya berjualan bubur. Ada pendatang dari Sragen, juga di Jawa Tengah, yang hanya menjadi tukang cukur di daerah yang tergolong desa di pinggir jalan raya. Janganlah ditanya lagi pendatang yang lebih dekat dari Jawa Timur seperti Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo. Mereka sudah menguasai kuliner kaki lima, bukan saja di kota-kota seperti Denpasar dan Tabanan tetapi juga di pedesaan. Lihat saja sepanjang jalan Gilimanuk – Denpasar, jumlah warung pendatang lebih banyak dari warung orang Bali. Sekarang coba kita bertanya, apa ada orang Bali yang tiba-tiba pergi ke kota kecil di Jawa hanya berjualan bubur ayam atau buah-buahan menggelar dagangan di kali lima? Jangankan merantau ke luar daerah, di Bali sendiri juga enggan melakukan pekerjaan itu.

Jadi Bali betul-betul adalah surga bagi para pendatang. Kalau kita tanya kenapa memilih Bali alasan utama adalah keamanan. Mereka aman berada di Bali. Orang Bali itu ramah, sopan, dan toleran kepada pendatang. Alasan lain karena transportasi mudah dibandingkan merantau ke luar pulau Jawa. Jadi para pendatang ini benar-benar merasa diayomi sehingga mereka bisa bekerja keras untuk memenuhi kehidupannya dan bahkan kemudian bisa membeli tanah atau rumah petak di Bali dengan mencicil. Lihatlah pembangunan rumah sederhana type 36 M2 yang tersebar di seluruh Bali, hampir kebanyakan dibeli oleh pendatang karena cicilannya kurang dari Rp 1 juta sebulan.

Kini Pemerintah Daerah Bali semakin baik kepada pendatang dengan disahkannya Perda Desa Adat. Perda yang sangat dibanggakan Gubernur Bali Wayan Koster ini disebut-sebut menguatkan warisan Ida Bethara Mpu Kuturan dengan visi misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Prasasti peresmian Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat ini dilakukan dengan seremonial megah di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar pada 4 Juni lalu, saat rahinan Anggarkasih (Selasa Kliwon) Kulantir.

Kenapa pendatang senang? Karena selama ini para pendatang yang disebut tamiu (tamu) tidak diatur oleh Desa Adat. Mereka diatur oleh Desa Dinas dan urusannya pun hanya masalah administrasi kedinasan. Sekarang para pendatang diayomi oleh perangkat dan peraturan desa adat sesuai Perda.
Jika Perda sebelumnya yang masih memakai istilah Desa Pekraman (ini sesuai konsep Mpu Kuturan yang asli) pendatang itu sama sekali tak mendapatkan pelayanan apa-apa. Istilah kasarnya “sing ngurusin tamiu” (tidak mengurusi tamu) dan karena itu pemerintah mewajibkan desa dinas mengurus segala masalah yang disandang pendatang. Dengan diurus oleh desa dinas maka semua kewajiban dan hak mereka adalah sama dengan penduduk yang lain, apalagi KTP mereka tentu juga diurus oleh desa dinas.

Sekarang dengan Perda yang baru, pendatang sebagai krama tamiu mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk desa lainnya, kecuali urusan keagamaan. Mereka boleh saja ikut bekerja bhakti di lingkungan desa adat termasuk di halaman pura, tetapi bersembahyang tentu tak bisa karena beda agama. Nah karena merasa punya hak dan kewajiban meski terbatas oleh perbedaan agama, suatu ketika tentu mereka juga punya hak mengusulkan pendirian rumah ibadah apakah itu masjid atau gereja, termasuk usul membuat kuburan non-Hindu di desa adat. Kenapa tidak bisa? Bukankah mereka adalah warga desa adat juga minus urusan agama? Ini yang membedakan dengan Perda yang lama, yang tegas menyebutkan Desa Adat (Pakraman) hanya beranggotakan masyarakat yang menyungsung Trikahyangan, Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Kalau tidak menyungsung Tri Kahyangan setempat di mana mereka tinggal bukan warga desa adat itu.

Kita akan melihat beberapa tahun kemudian apa yang terjadi dengan Perda Desa Adat yang baru, apa benar menguatkan warisan Mpu Kuturan atau justru melemahkan umat Hindu. Apalagi Bali yang disebut sebagai mayoritas Hindu sudah ada wakilnya beragama lain, yakni anggota DPD Bali terpilih dari umat Islam. Perda Desa Adat memang bagus dalam banyak hal, tetapi dalam konsep Mpu Kuturan untuk ajegnya Hindu sepertinya ada lobang yang menjadikan Bali surga pendatang bagi yang kebetulan non-Hindu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar