Sabtu, 25 Mei 2019

Luka

Putu Setia | @mpujayaprema

Di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini terjadi kerusuhan di Jakarta. Ada korban jiwa, banyak yang luka, ada mobil yang dibakar. Berkah apa yang bisa dijadikan sesuluh untuk masa mendatang? Lalu siapkah kita meminta ampun agar kesesatan berakhir?

Adalah omong kosong jika kerusuhan Jakarta sepanjang dua hari, 21 – 22 Mei lalu, dilepaskan dari masalah pemilihan umum yang tahapannya sudah berakhir. Tidak masuk akal pula jika kerusuhan itu tak dikaitkan dengan persoalan bahwa ada calon presiden yang dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum tetapi tidak bisa menerimanya. Narasi yang dibuat oleh kubu calon presiden yang kalah demikian terstruktur, bahkan sudah digaungkan sebelum penghitungan suara selesai. Kecurangan dijadikan tema utama, dan tema lain menyusul seperti tak percaya kepada Mahkamah Konstitusi sehingga memilih people power sebagai jalan mencari keadilan.

Gaung ini dipercaya oleh pendukungnya sebagai jalan kebenaran. Bahkan ketika para elit di kubu itu berubah sikap dengan mengajukan sengketa ke MK, pendukungnya tak peduli. Maka aksi people power yang diperhalus menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat tetap berlangsung. Kerusuhan pun terjadi betapa pun para elit di kubu yang kalah menyebut gerakan rakyat itu aksi damai. Mau menyebut perusuh itu adalah penyusup dan bukan pendukung capres yang kalah? Boleh saja, bahkan termasuk pimpinan kepolisian boleh menyebut begitu. Namun roh dari kerusuhan itu tetap berawal pada hasil pemilu.

Susilo Bambang Yudhoyono, presiden ke 6 kita, punya istilah menarik tentang perseteruan dua kubu yang berlangsung panjang ini. SBY menyebutnya sebagai luka. Namun dari Singapura, SBY menyebar video memuji Jokowi dan Prabowo usai KPU menggelar pengumunan hasil pemilu. Prabowo dipuji karena berubah sikap dengan melakukan gugatan hasil pemilu ke MK. Kalimat SBY kepada Prabowo sangatlah indah,  “... bapak adalah konstitusionalis, serta seorang yang menghormati pranata hukum, juga champion of democracy, sebuah legacy yang akan dikenang dengan indahnya oleh generasi mendatang."

Pujian untuk Jokowi tak kalah indah. SBY berkata: "Saya makin bersyukur dan lega karena Bapak Jokowi telah menyampaikan bahwa akan menjadi pemimpin dan pengayom dari seluruh rakyat Indonesia.” Maksud SBY, Jokowi akan memimpin rakyat, baik yang memilihnya mau pun yang tak memilihnya. Dan ini kalimat SBY untuk Jokowi dan Prabowo: "Awal yang indah bagi terbasuhnya luka di antara anak bangsa, serta bagi rekonsiliasi dan bersatunya kembali anak bangsa secara terhormat." Sayangnya, demontran tak mencerna pernyataan SBY. Bukan saja luka itu tak jadi dibasuh, justru makin mengucurkan banyak darah.

Berkah apa yang bisa kita petik? Karena pemimpin kita tidak mewariskan nilai-niai demokrasi secara benar, maka berkahnya adalah bagaimana kita mempersiapkan sistem pemilu yang lebih baik di masa depan. Pilpres seharusnya menjadi momentum memperkuat kultur politik yang demokratis sekaligus bermartabat. Capres yang kalah harus kesatria mengakui kemenangan lawannya. Kalau ada bukti dicurangi selesaikan dalam koridor hukum.

Capres yang bersikukuh mengakui menang dengan menghitung sendiri perolehan suaranya membuat bingung masyarakat. Apalagi ditambah narasi jika kalah berarti ada kecurangan. Rakyat pun tetap terbelah dalam kubu-kubu. Ini mahakeliru karena akan mewarisi sistem politik yang tak sehat, seorang capres yang kalah bisa membuat luka bangsa makin sulit dibasuh. Demokrasi harus melahirkan para kesatria, bukan menambah luka.

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 25 Mei 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar