Senin, 20 Mei 2019

Tetap Rukun Usai Pemilu

Mpu Jaya Prema

KOMISI Pemilihan Umum sesuai jadwal akan mengumumkan hasil pemilihan umum serentak pada 22 Mei lusa. Apa yang akan terjadi di Jakarta, terutama di kawasan sekitar gedung KPU? Yang jelas sudah pasti banyak massa di sana. Kepolisian saja sudah mengumumkan akan mengerahkan tiga ribu lebih personelnya untuk mengawal pengumuman KPU itu. Belum lagi TNI yang diperbantukan.
 
Kedua kubu, baik kubu 01 pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin maupun kubu 02 pasangan Prabowo-Sandiaga dipastikan akan meramaikan kawasan itu. Terlebih-lebih kubu 02 yang sudah sejak lama mengumumkan pengerahan massa untuk mencoba menghentikan langkah yang diambil KPU. Target mereka adalah KPU batal mengumumkan hasil penghitungan suara dengan dalih pemilu banyak kecurangannya. Tokoh-tokoh elit di kubu 02 semula memakai istilah people power, namun karena pemerintah cepat bertindak dan menyebut langkah itu adalah tindakan makar, maka istilah people power tidak dipakai lagi. Penggantinya istilah “gerakan kedaulatan rakyat”. Ajakan untuk berbondong-bondong ke Jakarta pun diganti menjadi “rakyat dengan kesadaran sendiri yang datang ke Jakarta”.

Membaca situasi yang bernada ancaman ini, aparat keamanan tetap saja waspada namun tanpa berlebihan. Aparat sepertinya sudah terbiasa dengan ancaman seperti itu. Namun yang menggembirakan, gerakan people power atau apa pun istilah yang menggantikannya mulai mendapat perlawanan di masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat sudah menyebutkan people power itu sebagai tindakan haram dan meminta umat Islam di Jawa Barat tidak datang ke Jakarta.

Yang menarik, di akar bawah tak semua pendukung Prabowo-Sandi sepakat dengan gerakan pengerahan massa menolak penghitungan suara KPU. Di beberapa kota di Jawa bahkan kubu 01 dan 02 saling bergandengan tangan untuk menolak datang ke Jakarta, bahkan menolak juga aksi serupa jika dilakukan di daerah. Partai koalisi Prabowo-Sandi juga menyikapi hal ini dengan cara berbeda. Partai Demokrat sejak awal tidak setuju, baik dengan cara menolak penghitungan suara KPU atau pun untuk melakukan people power. Partai Amanat Nasional (PAN) lewat wakil ketua umumnya, Bara Hasibuan juga tak sepakat dengan langkah Prabowo dan elit-elit Gerindra di Jakarta.


Gerakan yang menentang penggerudugan KPU pada 22 Mei nanti juga datang dari kepala daerah. Di Bogor ada pertemuan 8 kepala daerah dan 2 tokoh muda nasional. Di antaranya ada Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur NTB, Walikota Bogor (yang menjadi pemrakarsa), Walikota Tangerang Selatan, di tempat-tempat yang justru Prabowo-Sandi menang. Awalnya Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, juga mau gabung di Bogor padahal dia dikenal dekat dengan Prabowo. Tapi Anies batal gara-gara harus menerima piagam WTP dari BPK yang tak boleh diwakili, apalagi wakil gubernur DKI masih kosong. Semua langkah ini memberikan sinyal baik untuk mendinginkan suasana. Seperti yang dikatakan Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil, suasana di daerah harus tetap kondusif dan tak terpengaruh oleh situasi panas di Jakarta. Dengan demikian seandainya situasi Jakarta terus memanas pada 22 Mei dan seterusnya, di daerah-daerah tetap saja dingin.

Bagaimana dengan Bali? Sudah bisa diprediksi bahwa Bali pastilah aman dan tak akan ikut-ikutan situasi Jakarta. Kemenangan Jokowi-Ma’ruf yang begitu besar sepertinya tak membuat Bali panas. Partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi tergolong kecil. Kader dan massa Partai Demokrat dan PAN di Bali sudah pasti akan mengikuti irama pimpinan pusatnya, tak akan ikut-ikutan. PKS di Bali rasanya terlalu kecil untuk membuat gerakan “turun ke jalan”. Bagaimana dengan Gerindra? Kita berharap mereka menahan diri. Keamanan Bali adalah taruhannya, jangan korbankan Bali untuk kepentingan politik yang sama sekali tidak sehat ini.

Prabowo-Sandi jelas memainkan politik tidak sehat. Mereka selalu menyebutkan pemilu 2019 ini penuh dengan kecurangan. Bahkan kecurangan itu sudah dikatakan sebelum pencoblosan 17 April lalu. Tetapi kenapa tetap saja mengikuti tahapan pemilu?

Tiba-tiba mereka mengklaim menang dengan perolehan suara 62 persen. Kemudian diralat menjadi 54 persen. Mereka menyebutkan punya bukti-bukti lengkap soal itu. Jika demikian halnya, kenapa mereka tidak menggugat ke Mahkamah Konstitusi jika nanti dinyatakan tetap kalah oleh KPU? Beberkan saja bukti itu dalam sidang di MK, masyarakat akan ikut menilainya karena sidang terbuka untuk umum. Gugatan ke MK ini adalah prosedur hukum yang benar sesuai dengan Pasal 475 UU Pemilu No 7 Tahun 2017.

Namun, Prabowo tak percaya dengan MK. Mereka sudah menyatakan tak akan mengajukan gugatan ke MK dan lebih memilih gerakan massa yang disebut people power atau kemudian diganti menjadi kedaulatan rakyat. Aneh.

Tetapi sesungguhnya jika Prabowo tetap konsisten dengan pernyataannya tak percaya dengan MK dan tidak mengajukan gugatan, persoalan sudah selesai. Jokowi-Ma’ruf resmi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih setelah tiga hari tak ada gugatan. Sebagian besar rakyat pastilah senang karena hal yang menyita waktu berbulan-bulan ini sudah selesai. Kita capek dengan persoalan capres-caprean. Ada pun masalah keamanan, jika memang ada gejolak, biarkan saja aparat yang mengurusi itu dengan penegakan hukum yang lebih keras demi ketentraman masyarakat.

Mari kita jaga kerukunan setelah tahapan pemilu yang terakhir ini usai dengan ditetapkannya siapa pemenangnya. Kalau pun terjadi gejolak di Jakarta, biarkan saja gejolak itu bersifat lokal, jangan sampai merembet ke daerah-daerah. Apalagi sampai merembet ke Bali. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar