Minggu, 30 Agustus 2020

SIARAN

Putu Setia @mpujayaprema

 

Masih menonton televisi? Kita memang butuh informasi dan hiburan. Tapi ada teman yang sampai lupa kapan terakhir dia menonton televisi. Soal informasi dan hiburan, kata dia, sudah cukup lewat handphone yang menemaninya ke mana-mana.

 

Era di mana televisi menjadi satu-satunya sumber hiburan dan informasi sudah kedaluwarsa. Awalnya ada satu televisi di republik ini, namanya saja Televisi Republik Indonesia. Di situ pemerintah memonopoli informasi, sampai harga cabai keriting pun harus disiarkan secara langsung. Masyarakat terpaksa menontonnya dan harus membayar iuran.

 

Era televisi swasta datang, dipelopori oleh RCTI. Orang antre mendaftar untuk berlangganan dan membayar. Mulai ada alternatif lain. Dan seterusnya bermunculan televisi baru dan penggunanya tak perlu lagi membayar. Iuran TVRI pun diam-diam dihapus karena orang tak mau membayar lagi. Ambyar nasib TVRI.

 

Karena bermunculan televisi swasta, pemerintah pun mulai atur-atur. Ada televisi yang siaran lokal, ada regional, dan seterusnya SCTV di Surabaya, ANTV di Lampung, MetroTV di Jakarta, contohnya. Lama-lama aturan berantakan. Akhirnya pemerintah membuat undang-undang penyiaran

 

Dalam undang-undang itu, misalnya, pemancar televisi tidak boleh dimiliki oleh kelompok atau golongan dengan alasan memakai frekuensi publik. Tidak boleh ada monopoli. Apakah undang-undang itu dipatuhi? Kita tahu, undang-undang di negeri ini banyak yang dilanggar. Televisi swasta bisa dimiliki oleh kelompok atau golongan dan dimonopoli. Seorang petinggi partai yang berpidato panjang lebar bisa saja disiarkan oleh televisinya. Wong punya-punya dia.

 

Dulu, banyak pemirsa ngedumel. Namun Komisi Penyiaran yang tugasnya mengawasi tayangan televisi, tak peduli. Sekarang yang ngedumel tak ada. Karena televisi sebagai satu-satunya penayang informasi dan hiburan sudah “dibredel” oleh pemirsanya. Era internet datang, yang mengubah apa yang disebut siaran. Yang bernama siaran, baik langsung mau pun tunda, tak cuma bisa dilakukan televisi. Media sosial lain seperti Facebook dan Instagram bisa siaran langsung. YouTube apalagi. Anda mau pidato berjam-jam pun boleh, tinggal membuat channel di YouTube. Tak perlu menjadi ketua umum partai untuk menyampaikan pidato yang tersiar secara luas. Mau bikin ulasan politik berkali-kali dalam sehari, gampang. Rekam sendiri dan siarkan sendiri. Singkat kata, Anda bisa membuat stasiun televisi sendiri tanpa modal apa pun lewat YouTube. Para selebritas sudah memilih cara ini, juga para pengamat politik.

 

Semua itu bisa dilakukan tanpa ada aturan dari pemerintah. Bahkan tanpa izin. Nah, giliran pemilik stasiun televisi yang ngedumel. Maka RCTI bersama iNews TV – sepertinya pemiliknya sama --  mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Yang digugat adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Khususnya pasal 1 ayat 2 yang mengatur soal sarana pemancar siaran. Pasal itu menyebut pemancaran siaran lewat transmisi darat, laut, antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio. Penggugat memohon agar pemancaran lewat Internet juga diatur.

 

MK sedang membahas uji materi ini. Anda silakan memihak. Setuju supaya siaran lewat Internet diatur dengan alasan melindungi anak-anak dari pornografi, membendung hoaks dan seterusnya, silakan. Menolak siaran lewat Internet itu diatur karena hal yang mustahil, juga silakan. Yang pasti di era ini Komisi Penyiaran dan juga Lembaga Sensor Film sesungguhnya tak diperlukan karena sensor ada pada jempol kita masing-masing. Dunia siaran sudah berubah.


(Koran Tempo 29 Agustus 2020)

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar