Selasa, 18 Agustus 2020

Hare Krishna, Parisada, dan Adat Bali

Mpu Jaya Prema

Om Swastyastu. Sahabat yang baik dan umat sedharma yang terkasih. Kita bertemu kembali dalam rubrik Dharma Tula. Seperti namanya dharmatula saya akan menjawab pertanyaan yang masuk. Tapi saya akan rangkum pertanyaan itu sehingga tak terlalu menyita waktu. Perlu saya ingatkan sekali lagi, pendapat saya ini bersifat pribadi, bukan mengatas-namakan lembaga atau juga mengatas namakan perguruan. Jadi terbuka kemungkinan kita berbeda pendapat. Saya tak ingin memonopoli kebenaran. Biarlah kebenaran datang dari segala arah, termasuk dari tempat yang tidak kita sukai. A no bhaadrah kratavo yantu visvato

Oke, ini pertanyaan itu. 

Bagaimana kelanjutan tentang polemik sampradaya Hare Krishna yang ditolak oleh masyarakat Bali. Apa sudah ada sikap Parisada tentang hal ini? Apa Hare Krishna perlu dibubarkan? Kenapa Parisada terkesan lamban?

Waduh... soal ini lagi. Apa kita tak bosen? Saya melihatnya kok sudah adem. Baik aksi2 di lapangan mau pun di media sosial, itu kan pertanda baik. Kalau pun ada yang masih ngompori itu kebanyakan akun-akun yang tidak bener, akun bodong alias akun palsu. Tapi memang ada pula akun yang jelas identitasnya dan ini biasanya bahasanya cukup sopan. Setidaknya tidak memaki dengan kasar.

Menurut saya langkah-langkah itu sudah mulai ke arah yang baik. Baik langkah Parisada, dalam hal ini Parisada Bali mau pun dari pihak Hare Krishna sendiri. Bukankah PHDI Bali sudah memanggil pihak terkait termasuk HK. Dan sudah ada kesepakatan, yakni pihak HK menyatakan tidak akan melakukan kegiatannya di luar ashram mereka.

Menyikapi tuntutan berbagai ormas Hindu soal HK, PHDI Bali membentuk tim Komunikasi, Mediasi dan Advokasi. Tim ini telah memanggil HK dan kesekapatan sudah diambil. Untuk meredam gejolak, HK diminta tidak melakukan aktifitas di ruang publik. Utusan HK itu langsung dipimpin Ketua Umum Perkumpulan Isckon yang menaungi sampradaya HK, I Wayan Subagio SH. Dia diampingi wakil ketua dewan pengawas, Ir. I Made Amir dan Sekretaris Dewan Pengawas Drs. I Ketut Ardana, S.Pd.

Ketiganya ini membuat surat pernyataan bersama tentang sikap HK itu. Mereka orang-orang berpendidikan, tentu pernyataannya disertai tanggung jawab, bukan main-main.

Nah itu kan sudah bagus. Sikap HK ini juga sesuai dengan instruksi Majelis Desa Adat Bali yang meminta desa adat untuk melarang kegiatan HK yang memakai fasilitas dan akses adat. Ini juga bagus, karena akses adat di Bali itu terkait dengan agama Hindu. Namun tuntutan elemen masyarakat Bali yang dikordinir oleh taksu Bali lebih dari itu. Meminta PHDI mengeluarkan HK dan bahkan ada suara-suara yang ingin HK dibubarkan. Aksi damai digelar dan tuntutan mengeluarkan HK itu terus dikumandangkan.



https://youtu.be/8cFD_Fy2olE 

Kita harus melihat persoalan ini secara jernih. Bahwa selama ini mungkin ada aktifitas HK menggunakan aset adat dalam hal ini pura yang pengemponnya krama adat, itu memang salah.

Dan itu sudah dikoreksi dengan pernyataan dari pengurus HK di wilayah Bali yang diteken 3 tokohnya itu. Tetapi membubarkan HK? Itu tidak mudah. Membuat tuntutan itu sih tak apa-apa, namanya menuntut. Tetapi salurannya harus benar, bukan ke PHDI tetapi ke Kementrian Dalam Negeri. HK itu berbadan hukum ormas, sah di Kementrian Hukum dan Hak asai manusia. Pengesahannya di sana tetapi pembinaan dan pengawasannya di Kemendagri.

Sulit membubarkan ormas secara nasional. HTI saja membubarkannya membutuhkan waktu bertahun-tahun dan penuh dengan polemik. Harus ada kesalahan nyata ormas yang mau dibubarkan itu secara berturut-turut tiga kali. Dan kesalahan itu dibuktikan dalam sidang pengadilan, tak bisa main tuduh begitu saja.

Kalau tuntutan HK dikeluarkan dari pengayoman PHDI nah ini masuk akal dan bisa digugat ke PHDI. Karena PHDI Pusat pernah memberikan surat pengayoman kepada HK dan terbukti HK itu tidak jelas apakah itu sampradaya Hindu atau di luar Hindu. Karena pernah ada pernyataan dari pendiri HK bahwa HK bukan sebuah agama, dan jelas pula disebut bukan masuk dalam kelompok agama Hindu, semestinya HK memang berada di luar Hindu. Apakah menjadi agama atau sebuah kelompok keyakinan itu soal lain lagi.

Kalau saya menilai, Parisada ini memang blunder dalam mengeluarkan surat pengayoman kepada HK. PHDI itu tak harus membuat surat pengayoman lagi untuk lembaga kehinduan. Seharusnya setiap lembaga, ormas, yayasan atau apa pun bentuknya, sepanjang mereka bergerak di koridor agama Hindu otomatis mendapat pengayoman. Ini tersurat dalam AD PHDI.

Coba bukan AD PHDI. Coba baca pasal 41 AD PHDI. Ayat 1 menyebutkan: PHDI berkewajiban mengayomi setiap sampradaya yang berbentuk organisasi, forum, lembaga, badan dan yayasan yang bernafaskan Hindu yang mendaftar ke PHDI.

Jadi wajib diayomi dan itu sifatnya otomatis, tentu setelah sampradaya dan organisasi itu mendaftar ke PHDI. Minimal ada pemberitahuan. Coba saya tanya, apa organisasi atau yayasan lain ada yang mendapat surat pengayoman dari PHDI? Apa Taksu Bali, Puskor, Cakrawayu, Peradah, Prajaniti, KMHDI atau banyak lagi ormas-ormas Hindu, apa punya surat pengayoman dari PHDI? Saya kira kok tidak punya. Karena memang tidak perlu. Selama PHDI mengakui sebagai majelis umat, ya, otomatis umatnya diayomi, baik tergabung dalam organisasi maupun tidak.

Lagi pula surat pengayoman itu rada aneh. Coba perhatian surat pengayoman itu. Hanya ditandatangi oleh Ketua Umum PHDI, Bapak Suwisma. Tidak ada tanda tangan Sekretaris Umum, apalagi tandatangan Dharma Adyaksa. Dalam AD/ART PHDI keputusan tertinggi itu ada di Sabha Pandita yang diketuai oleh jabatan yang disebut Dharma Adyaksa. Parisada itu sejak didirikan sampai sekarang ini konsepnya adalah himpunan para sulinggih. Karena itu Sabha Pandita yang paling berkuasa di Parisada. Nah, surat pengayoman ini kok tak ada tanda tangan Dharma Adyaksa.

Kebetulan surat pengayoman itu bertanggal 4 April 2016, saat itu saya masih menjadi anggota Sabha Pandita PHDI Pusat. Tak pernah ada paruman yang membahas soal HK... atau ada tetapi saya tak diundang. Surat pengayoman itu pun tak merujuk ada paruman Sabha Pandita dan Sabha Walaka.

Padahal Ketua Umum itu adalah pimpinan pengurus harian yang hanya bisa mengeluarkan keputusan setelah kedua sabha itu menghasilkan kesepakatan. Jadi, surat pengayoman ke HK ini hanya membalas surat HK yang sebelumnya bertanggal 25 Januari 2016.

Kenapa saya menyinggung soal surat pengayoman PHDI ke HK ini karena ada desakan dari elemen masyarakat Bali agar PHDI mengeluarkan HK dari Parisada, artinya pengayoman itu dicabut. Lalu ada pemikiran, termasuk dari pengurus PHDI, bahwa pencabutan itu hanya bisa dilakukan di Mahasabha. Saya tegas berpendapat, itu keliru. Karena surat pengayoman ini bukan produk Mahasabha dan juga bukan produk Paruman Agung, bahkan saya yakin juga tak pernah dibicarakan di dalam interen Parisada. Ini jadi keputusan Ketua Umum sendiri atau minimal dengan beberapa pengurus lainnya.

Jadi untuk mencabutnya tak perlu menunggu Paruman Agung apalagi menunggu Mahasabha. Sekarang pun bisa dicabut oleh pengurus PHDI saat ini. Hanya butuh waktu 10 menit untuk mencabut surat pengayoman itu. Dan jangan lagi membuat surat pengayoman karena PHDI sudah wajib mengayomi umat tanpa perlu mengeluarkan surat.

Mumpung membicarakan PHDI saya ingin memberikan kritik masukan kepada Parisada untuk kebaikan kita bersama dan untuk tegaknya kesepakatan yang ada. Banyak hal yang dilanggar oleh PHDI dalam kaitan AD/ART terutama masalah kepengurusan. Pasal 9 AD dalam bab tentang Pengurus PHDI Daerah pada ayat 1 menyebut: Pengurus Harian PHDI Provinsi dan Kabupaten/Kota diangkat dan ditetapkan dalam Lokasbha untuk masa bhakti 5 tahun.

 Pada ayat 3 disebut: Ketua Pengurus Harian memegang jabatan selama 1 tahun masa bhakti dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa bhakti. Artinya apa, hanya boleh menjabat 2 masa bhakti. Nah, Prof. Dr. Sudiana sekarang ini memasuki jabatan yang ketiga kalinya.

Lalu lihat pasal 27. Ayat 1 menyebutkan: Pengurus PHDI dilarang menjabat lebih dari satu jabatan di dalam struktur PHDI pada semua tingkatan. Lalu kenyataannya apa? Banyak jabatan rangkap. Sekretaris PHDI Bali dipegang oleh Ir. Putu Wirata padahal dia di PHDI Pusat memegang jabatan Wakil Ketua Sabha Walaka. Dr. Gede Rudia kini menjabat Ketua PHDI Kabupaten Badung padahal dia juga duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat. Tetapi apakah Pak Sudiana, Putu Wirata, Gede Rudia salah dan kemaruk jabatan? Tidak. Jangan salahkah mereka.

Sulit mencari pimpinan PHDI karena kebanyakan orang tidak bersedia. Ini fakta dan nyata. Orang sering menghujat, terutama di media sosial, kok senang sekali menjadi pengurus PHDI, kok gak mau turun, dan seterusnya. Itu salah besar, apa yang menghujat itu mau jadi pengurus Parisada? Pengurus Parisada itu benar-benar mengabdi dan tidak dapat gaji. Kalau pun ada bantuan dari pemerintah, dan itu tak besar, untuk menggaji pegawai yang masuk kantor tiap hari saja tak cukup. Sering ada anekdot candaan, pengurus Parisada itu harus siap ngayah... ngayah ini kerja bhakti tanpa imbalan. Lalu layah.... layah ini lapar karena tak ada dana untuk konsumsi artinya tak ada gaji. Yang terakhir mayah... mayah ini artinya membayar sendiri. Rapat beli konsumsi sendiri, pergi menghadiri undangan beli bensin sendiri. Ngayah, layah, mayah... sudah jadi hal yang umum.

Sebelum Pak Sudiana menjadi Ketua PHDI Bali, I Made Artha memegang jabatan itu sampai 2 periode, dan uniknya dia terpilih hanya gara-gara dia kebetulan saat itu menjadi Ketua Mahagotra Pasek. Dia tak berani menolak karena Lokasabhanya di Pura Besakih, apalagi dihadapan sulinggih.  Jadi PHDI Bali untung dapat Prof Sudiana yang mau terus memimpin Parisada, mungkin juga ewuh menolak. Begitu pula Putu Wirata dan Gede Rudia, lebih banyak karena semangat mengabdinya.

Kalau di tingkat provinsi saja begini, apalagi di tingkat kabupaten dan kecamatan. Yang memimpin PHDI itu-itu saja, bahkan di kecamatan saya puluhan tahun pimpinan PHDI tak pernah diganti. Ya, itu kenyataannya maka mari kita perbaiki bersama-sama.

Ini harus menjadi perhatian para pengeritik Parisada, jangan asal nuduh ini itu tetapi lihatlah bagaimana pengabdian mereka yang sama sekali tak dibayar. Kita hanya bisa koar-koar. Situasi ini harus kita perbaiki, mari kita pikirkan bersama karena tahun depan Mahasabha PHDI sudah akan dilangsungkan. Siapkan dari sekarang kalau memang ada kader yang mau dan mampu membawa Hindu lebih baik ke depan.

Kembali kepada sikap PHDI terhadap HK, menurut saya, penuhi desakan elemen umat Hindu di Bali agar surat pengayoman kepada HK itu dicabut. Secepatnya karena pengayoman itu bukan produk lembaga jadi tak perlu menunggu paruman atau mahasabha. Nah setelah pengayoman itu dicabut, apakah HK ada di dalam koridor Hindu atau di luar Hindu, itu tergantung HK sendiri, bagaimana garis yang ditentukan oleh pendirinya.

HK itu lewat organisasi Isckon bertaraf internasional, didirikan di Amerika dan kantor pusatnya kini sudah ada di India. Tak bisa HK di Bali mengaku Hindu tetapi HK di luar Bali tidak mengaku Hindu. Harus satu.

Bagaimana kaitan dengan adat Bali? Kita harus jernih berpikir dan jangan emosional kedaerahan. Jika adat itu terkait dengan agama Hindu, siapa pun yang menggunakannya harus dilarang, termasuk HK. Dan keputusan Majelis Desa Adat sudah benar melarang HK menggunakan fasilitas milik desa adat. Tak boleh menggunakan pura termasuk di nista mandala karena pura itu punya trimandala, utama, madya dan nista. Bahwa orang2 HK menggunakan kain Bali, ya itu adalah adat yang berkaitan dengan tradisi. Penduduk Bali yang beragama Kristen, Katolik, Buddha bahkan Islam biasa mengenakan kain Bali, kan tak apa-apa.

Bahkan orang Bali baju kebayanya kan juga datang dari adat Jawa. Intinya, sepanjang pengikut HK melakukan aktifitas di centre atau ashramnya, kita tak boleh merecokinya, seperti halnya umat islam kalau berkegiatan di masjidnya kita tak boleh campur tangan. Mari kita hormati keyakinan masing-masing. Tak bisa hanya karena berbeda keyakinan lantas orangnya diusir. Kalau itu terjadi, jutaan orang Bali di luar Bali bisa diusir karena berbeda keyakinan.

Tetapi kalau keyakinan kita dicela oleh umat lain, ya, kita harus lawan, tak peduli apakah itu HK atau bukan.

Demikian dharmatula kali ini, sampai bertemu dalam waktu yang lain dengan masalah yang lain pula. Ayuk ajukan pertanyaan lewat kolom di komen ini. Rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar