Sabtu, 15 Agustus 2020

Nararya

Putu Setia | @mpujayaprema
Hari-hari ini bendera merah putih berkibar di berbagai pelosok, termasuk di gang sempit yang warganya mengisolasi diri dari amukan Covid-19. Slogan “Indonesia Maju” bergema di televisi menyambut 75 tahun proklamasi. Nasionalisme kita bangkit. Namun kita disibukkan dengan kata asing, “nararya”.
Nararya itu bahasa Sansekerta berasal dari anak benua India. Lebih banyak dipakai sebagai bahasa agama. Bukan bahasa pergaulan. Artinya mulia atau yang dimuliakan. Ada pun kata mulia dalam bahasa Indonesia berarti terhormat dalam hal martabat seseorang, luhur dalam hal budi pekerti, bermutu dalam hal logam.
Jika nararya mengikuti kata putra artinya seseorang yang begitu tinggi martabat dan keluhuran budi pekertinya. Apalagi jika tak sekadar putra, tetapi mahaputera. Wah, super-luar biasa. Kalau mengutip anekdot orang-orang lugu di desa, seseorang yang bergelar Mahaputera Nararya, jika berjalan-jalan di sebuah kawasan, berbagai virus langsung lenyap.
Bintang Mahaputera Nararya itulah yang disematkan Presiden Joko Widodo kepada sejumlah putra negeri ini menyambut Indonesia Maju. Ada tujuh orang penerimanya, bersamaan dengan puluhan tokoh lainnya yang menerima bintang atau gelar dalam katagori berbeda. Salah dua dari ketujuh Mahaputera Nararya itu adalah Fadli Zon dan Fahri Hamzah, keduanya mantan Wakil Ketua DPR. Kenapa mantan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan mantan Wakil Ketua DPR Utut Adianto hanya mendapat bintang jasa dan bukan Mahaputra Nararya, tanyakan kepada Pak Jokowi.



Kalau ditanya ke Menko Polhukam Mahfud MD, jawabannya adalah para pejabat itu memang wajar mendapat penghargaan tinggi lantaran jabatan yang pernah dipegangnya. Mungkin Prof. Mahfud terlalu sibuk sehingga tak teliti membaca UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Tak ada satu pasal pun yang mengaitkan penghargaan negara itu dengan jabatan seseorang. Pasal 28 ayat 2 UU ini memberi syarat khusus untuk yang memperoleh bintang Mahaputera. Bunyinya, ”berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara”. Ada kata “luar biasa”. Kalau jasanya biasa-biasa saja, ya, gaji dan tunjangan yang besar sudah cukup. Apakah DPR di masa Fadli Zon dan Fahri Hamzah begitu luar biasa kerjanya? Catatan buruk DPR yang tak berhasil menyelesaikan undang-undang sesuai target menggugurkan “luar biasa” itu.
Tapi tak adil mempersoalkan kedua tokoh itu. Barangkali ada pertimbangan khusus kenapa beliau menerima bintang itu. Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana agar anugerah negara itu tetap menjadi sesuatu yang sakral. Penerima gelar dan tanda jasa menjadi panutan bangsa, menjadi orang yang betul-betul mulia. Bukan karena kedekatan dengan Istana.
Jadi, perlu ada penjelasan, kenapa tokoh ini dapat gelar itu, dan tokoh itu dapat tanda jasa ini. Umumkan jasa mereka yang luar biasa membangun bangsa agar bisa menjadi teladan. Karena penjelasan itu kurang diketahui masyarakat, maka ada yang bertanya-tanya. Misalnya, kenapa Saur Hutabarat, wartawan senior yang kini Ketua Dewan Redaksi Media Grup mendapat Bintang Jasa Nararya bersanding dengan 13 dokter dan perawat yang meninggal dunia terpapar Covid-19. Adakah kaitan Saur dengan Covid-19 ini? Atau karena bosnya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, pernah menerima gelar yang sama? Atau karena Saur pernah menjadi Ketua Media Center Jokowi-JK pada Pemilihan Presiden 2014.
Nah, ini bisa jadi pertanyaan liar. Sungguh tak enak jika nararya (kemuliaan) ini dipertanyakan.

(Koran Tempo 15 Agustus 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar