Mpu Jaya Prema
RANCANGAN Perda
tentang desa adat sudah bergulir dengan berbagai tanggapan. DPRD pun sudah
membentuk Panitia Khusus yang dipimpin I Nyoman Parta, Ketua Komisi 4 DPRD Bali
yang kini nyaleg untuk DPR Pusat. Sepertinya ini tugas yang berat, apalagi
konsentrasi anggota DPRD adalah pemilu serentak dan banyak yang kembali menjadi
calon.
Banyak yang harus dibahas.
Dari nama saja, yakni Desa Adat, harus dijelaskan apa maunya. Ketika Mpu
Kuturan membuat konsep desa adat di Bali, nama yang dipakai adalah pakraman dan
warganya disebut krama. Ini adalah desa yang kramanya hanya penduduk beragama
Hindu yang terikat kepada Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Bale Agung, Pura
Puseh dan Pura Dalem. Karena itu Pemprov Bali punya Perda yang sampai sekarang
masih berlaku, yakni Perda tentang Desa Pakraman.
Sekarang Desa Pakraman mau diganti lagi menjadi Desa Adat. Tidak disebutkan
dalam penjelasan Ranperda itu apa alasan pergantian. Secara samar-samar ada
yang menyebutkan hal ini dilakukan agar sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 yang
banyak menyebut soal desa adat. Padahal desa adat dalam undang-undang ini
bukanlah sebuah nama, tetapi hanya istilah.
Lihatlah pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2014 ini. Bunyinya: “Desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan
Republik Indonesia.” Dalam
pasal itu jelas ada kata-kata “yang disebut dengan nama lain”, jadi untuk
menghormati nama-nama lain yang ada di negeri ini. Penamaan itu dianggap sangat
penting karena itu langsung diletakkan di pasal yang paling awal, pasal 1 dan
ayat 1. Artinya, kalau nama lain yang dipilih Bali adalah Desa Pakraman, itu
boleh-boleh saja, seperti halnya di Sumatra Barat nama lain yang dipilih adalah
Nagari.
Sebutan Desa Adat sebagai
sebuah nama, dan bukan istilah, bisa mengaburkan konsep Mpu Kuturan yang
membentuk desa yang cici khasnya adalah kramanya beragama Hindu. Apakah Desa
Adat Pegayaman yang kramanya beragama Islam masuk dalam Ranperda ini? Apakah
Desa Blimbingsari yang penduduknya Nasrani termasuk dalam Desa Adat sesuai
Ranperda ini? Bukankah Ranperda ini sejak pasal-pasal awal sudah menyebut
adanya Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan lain-lain yang memang dari ajaran
Hindu?
Itu baru soal nama. Soal
krama dalam Ranperda ini banyak hal yang perlu diperjelas kembali. Selain rancu
bisa membawa masalah baru di kemudian hari. Pasal 13 Ranperda ini membahas
masalah pawongan. Ayat (1)
menyebutkan, yang dimaksudkan dengan pawongan
adalah penduduk yang bertempat
tinggal di wewidangan Desa Adat. Wewidangan itu sendiri maksudnya
adalah wilayah desa adat. Lalu siapakah penduduk itu? Ada tiga katagori: (a) Krama Desa Adat, yaitu penduduk beragama Hindu yang mipil dan tercatat di Desa Adat setempat. (b) Krama tamiu, yaitu penduduk
beragama Hindu yang tidak mipil tetapi tercatat di Desa
Adat setempat. (c) Tamiu, yaitu orang selain Krama Desa Adat dan Krama Tamiu yang berada
di wewidangan Desa Adat untuk sementara
atau bertempat tinggal dan tercatat di Desa Adat setempat.
Dalam Ranperda ini mipil
diartikan yang teregistrasi sebagai anggota
Desa Adat. Yang dimaksud ”tercatat” adalah dicatat hanya secara administratif,
tetapi tidak teregistrasi sebagai anggota Desa Adat. Kalau dalam istilah yang biasa
digunakan di pedesaan, krama desa adat yang mipil
itu termasuk “krama wed”, artinya penduduk asli desa adat itu. Sedang krama tamiu bukan “krama wed”. Kalau
yang disebut tamiu sudah jelas bukan
krama (warga), diartikan sebagai penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu.
Yang menjadi
pertanyaan, kenapa krama tamiu harus
dicatat oleh perangkat desa adat? Bukankah dia tidak terikat dengan Tri
Kahyangan? Kalau dicatat oleh desa dinas itu memang harus dilakukan, karena
setiap penduduk yang berdomisili di suatu wilayah bisa mendapatkan hak-haknya
sebagai penduduk warga negara seperti memiliki Kartu Keluarga, KTP dan
sebagainya. Ini menjadi berlebihan seolah-olah desa adat mengambil alih peran
dan fungsi desa dinas atau kelurahan. Krama
tamiu, yaitu orang Bali yang beragama Hindu, yang bekerja di luar desa
kelahirannya lalu numpang kost atau sudah punya rumah tetap, harus dicatat di
dua desa adat, desa adat asalnya dan desa adat di tempat yang baru. Kok malah
makin berat?
Pasal 14 Ranperda ini
ada dibahas masalah kewajiban (swadharma).
Bunyi lengkap Pasal 14 itu begini:
Swadharma/kewajiban Penduduk di Desa
Adat sebagai berikut: (a) Krama Desa Adat melaksanakan swadharma penuh dalam bidang Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan Desa Adat. (b) Krama Tamiu melaksanakan swadharma terbatas dalam bidang Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan
Desa Adat; dan (c) Tamiu melaksanakan swadharma
terbatas dalam bidang Pawongan dan Palemahan Desa Adat.
Penjelasan pasal 14
ini sebagai berikut: Yang dimaksud ”swadharma penuh” adalah melaksanakan
kewajiban berupa pawedalan/materi dan
ayah-ayahan/kerja fisik secara penuh,
baik dalam bidang parahyangan, pawongan,
maupun palemahan, sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat setempat.
Yang dimaksud dengan ”swadharma
terbatas” adalah melaksanakan kewajiban hanya dalam hal tertentu sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat setempat.
Krama tamiu tetap punya
kewajiban meski pun terbatas dalam bidang parahyangan, pawongan, maupun palemahan. Untung masih ada kata-kata “sesuai awig-awig atau pararem
desa adat”. Bagaimana kalau awig-awig itu ketat (karena pembuatan awig-awig hak
krama), bisa jadi krama tamiu semakin
berat, bisa dobel dalam hal kewajiban, satu di desa adat asalnya, satu lagi di
desa adat di mana dia tinggal. Sementara tamiu
(pendatang) tak punya kewajiban dalam hal parahyangan
karena memang agamanya bukan Hindu.
Adakah Ranperda ini
punya maksud yang baik, yakni memberi kemudahan warga Bali yang Hindu untuk
pindah desa adat? Sehingga dia akan menjadi krama desa adat di satu tempat
saja, yakni di mana dia tinggal saat itu. Ini menjadi tidak mudah karena ada
aturan yang menyebutkan bagaimana syarat menjadi krama itu.
Agaknya hal ini harus
dibahas serius agar semuanya menjadi jelas. Setiap aturan seharusnya
mempermudah warga Bali, bukannya membuat aturan untuk semakin mempersulit
penduduk. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar