Oleh Wayan Suja
Om Swastyastu,
Sebagai umat Hindu
dan krama Bali yang baik, kami merasa perlu untuk ikut memikirkan rancangan
peraturan daerah tentang desa adat yang pada akhirnya akan mengatur diri kita
bersama. Kami sangat mendukung setiap usaha yang ditujukan untuk mengajegkan
Bali. Dalam perspektif ini kami memandang Bali harus menjadi sebuah sistem,
yang terdiri atas tiga komponen, yaitu: sarira, prana, dan atma.
Sariraning jagat Bali adalah tanah Bali, palemahan Bali.
Kita tidak akan mungkin mengajegkan Bali, jika tanah Bali sudah dikuasai oleh
orang luar. Prananing, kekuatan Bali adalah krama Bali. Jika krama Bali tidak
berdaulat secara politik, lemah secara ekonomi, dan gagal membangun nilai-nilai
kebalian dalam dirinya; maka ajeg Bali hanya akan tinggal slogan. Yang ketiga,
ini yang terpenting, atmaning pulina Bali adalah agama Hindu, dengan pustaka
suci Weda sebagai sumber hukumnya.
Berdasarkan pemikiran, bahwa Bali merupakan pulau Kahyangan
yang dijiwai oleh keluhuran ajaran Weda, ijinkanlah kami untuk mengajukan
pandangan terhadap draf Ranperda tentang Desa Adat, sebagai pengganti Perda No
3 Tahun 2013 tentang Desa Pakraman sebagai berikut.
Kami tidak setuju dengan istilah Desa Adat sebagai pengganti
istilah Desa Pakraman. Jika itu terjadi, kami memandang sebagai kemunduran
kognisi kolektif kita. Ketidaksetujuan kami terhadap penggunaan istilah Desa
Adat berdasarkan pertimbangan berikut.
1) Semenjak dilakukan penataan kehidupan bermasyarakat dan
beragama di kalangan umat Hindu di Bali pada jaman Mpu Kuturan, sudah dipakai
istilah desa pakraman, dan warga desanya disebut krama desa. Menurut Mpu Kuturan,
“Desa Pakraman winangun dening sang catur warna manut linging Sanghyang Aji.”
Pernyataan itu menegaskan, bahwa desa pakraman dibangun oleh empat
warna/profesi (Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra) sesuai dengan petunjuk
pustaka suci (Weda). Istilah desa adat digunakan oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk menyebut desa pakraman. Terus, mengapa kita harus mengikuti
pendapat penjajah, dengan meninggalkan warisan lelangit Mpu Kuturan?
2) Istilah adat
berasal dari bahasa Arab, yang berarti kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adat dimaknai sebagai aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dulu, dan cara yang sudah menjadi kebiasaan. Dengan demikian, desa adat diatur
berdasarkan kebiasaan 2 yang telah diwarisi secara turun temurun sejak dulu.
Apakah semua kebiasaan yang terwariskan telah benar dan baik? Kondisi itu, jauh
berbeda dengan desa pakraman yang diatur menurut pustaka suci Weda, mulai dari
Sruti, Smrti, Sila, dan Acara. Di desa pakraman, kebiasaan (sadacara) bukanlah
yang utama sebagai sumber hukum, karena di atasnya masih ada tiga sumber hukum
yang lebih tinggi, yaitu Sruti, Smrti, dan Sila.
3) Penggunaan istilah adat yang disandingkan dengan kata
agama dalam pengertian yang lebih luas justru merugikan agama Hindu. Terdapat
beberapa contoh penggunaan kata adat sebagai pengganti agama, yang merugikan
agama itu sendiri, diantaranya: hukum agama menjadi hukum adat, upacara agama
menjadi upacara adat, pernikahan menurut agama menjadi pernikahan adat, dan
lain-lainnya. Mempersamakan adat dan agama berimplikasi pada sikap memandang
adat atau tradisi sebagai agama. Di sisi lain, agama hanya akan dipandang
sebagai sistem ritual yang bersifat magis dan mistis, dengan melupakan aspek
spiritual dan moralitasnya.
4) Ada tiga macam adat yang ada di Bali. Pertama, adat yang
merupakan implementasi ajaran agama Hindu. Kedua, adat yang lahir bukan dari
ajaran agama, namun pelaksanaannya mendukung ajaran agama Hindu. Ketiga, adat
yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma lainnya. Adat yang
terakhir ini tidak hanya menodai keluhuran agama Hindu, tetapi berpotensi
membuat penganutnya meninggalkan agama Hindu. Berdasarkan keempat argumen
tersebut, kami memandang label desa adat tidak cocok digunakan di Bali karena
desa tradisional yang ada di Bali sejak jaman Mpu Kuturan dijiwai oleh
nilai-nilai agama Hindu dan dilabel sebagai desa pakraman.
Pemberian nama desa pakraman tidak bertentangan dengan
sistem perundang-undangan yang berlaku di wilayah NKRI, termasuk UU No 6 Tahun
2014 tentang Desa, yang menyebutkan, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa (pasal 1, ayat 1).”
Desa pakraman yang telah ada sebelumnya hanya
mengurusi krama Bali (krama desa adat dan krama tamiu), dalam ranperda Desa Adat
dicantumkan penduduk desa adat, termasuk di dalamnya tamiu, yang bisa jadi umat
nonHindu (pasal 1 ayat 8 dan 11; serta pasal 13 dan 14 ). Permasalahannya,
apakah mereka bersedia menjadi warga desa adat karena memiliki adat berbeda?
Terus, jika mereka memang hanya memiliki swadharma/kewajiban berkaitan dengan menjaga pawongan dan
palemahan, apa swadikara/hakhak yang mereka miliki? Apakah mereka juga memiliki
hak untuk menjadi prajuru desa adat? Jika tidak, apakah tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, termasuk UUD 1945. Bagaimana pula dengan
krama Bali yang nilar kedaton, keluar dari Hindu, tetapi tetap tinggal di
wilayah desa adat semula. Jika mereka hanya di luar dari ranah parhayangan,
sebagaimana disebutkan pada pasal 14 ayat 2a, maka mereka memiliki hak atas
penggunaan tanah pekarangan ayahan desa, penggunaan kuburan (yang sampai saat
ini dilabel sebagai setra adat, bukan kuburan Hindu), penggunaan balai
masyarakat, beserta fasilitas umum milik desa adat. Kondisi itu tidak akan menguntungkan
bagi krama desa dan krama Bali sebagai pewaris agama dan budaya Hindu di tanah
Bali.
Desa tradisional yang ada di Bali dijiwai oleh nilai-nilai
agama Hindu, dan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Lalu, mengapa
asas dan tujuan desa adat di Bali dirumuskan seperti membuat lembaga baru? Pada
pasal 2 disebutkan, “Pengaturan Desa Adat berdasarkan Pancasila, UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Bhinneka Tunggal Ika.” Menurut kami, dasar desa adat (pakraman) adalah
ajaran agama Hindu (Pustaka Suci Weda) dan keempat pilar tersebut. Dengan
demikian, desa adat (pakraman) kita tidak kehilangan identitas dirinya,
semata-mata karena ingin menunjukkan bahwa kita memiliki sikap nasionalis. Sebagai
umat Hindu kita memiliki swadharma agama dan swadharma negara. Swadharma agama
secara kelembagaan dilakukan melalui wadah desa adat (pakraman), sehingga akan
aneh jika pengaturan desa adat (pakraman) tidak berdasarkan nilai-nilai luhur
agama, sebagaimana diamanatkan dalam Pustaka Suci Weda, serta tidak ada
koordinasi dengan PHDI.
Pasal 3 Perda Desa Adat tampaknya diambil dari pasal 3 UU
Desa, namun menghilangkan asas demokrasi. Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi
justru sudah diterapkan di desa adat (pakraman) kita. Lebih lanjut, dimunculkan
asas gilik-saguluk (apa tidak sagilik saguluk), parasparo (apa tidak
parasparos). Sepengetahuan kami, harmonisasi hubungan antar manusia dalam
konsepsi pawongan didasarkan atas Tat Twam Asi, yang di dalamnya mencakup
asas-asas suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, saling asih, saling
asah, dan saling asuh (Dharmayudha & Santika, 1991). Asasasas tersebut
semestinya secara formal dimasukkan ke dalam asas pengaturan desa adat
(pakraman). Tidak dimasukannya asas demokrasi dalam pengaturan desa adat akan
menyebabkan 4 dari aroma feodalistik, bahkan berpotensi memunculkan
neofeodalisme di bawah payung slogan Ajeg Bali.
Bagaimana hak dan kewajiban krama tamiu? Apakah krama tamiu
juga hanya berperan sebagai objek desa adat? Penataan desa adat di Bab IV hanya
melibatkan krama desa adat. Krama tamiu, terutama di daerah perkotaan, banyak
tergolong SDM handal, tetapi mereka tidak bisa berperan di tempat tinggalnya
karena tergolong krama tamiu, sebaliknya di tempat kelahirannya tergolong krama
rantau. Kondisi itu cenderung menyebabkan krama Bali yang beragama Hindu dan
merantau ke kota lain tidak akan bisa berkontribusi terhadap kemajuan desa adat
(pekraman).
Jika memang desa adat
(pakraman) berasaskan Pancasila, dan menerapkan sila IV dalam mengatur dirinya,
maka penetapan prajuru dan masa baktinya semestinya ditetapkan secara lebih
pasti agar tidak terjadi perbedaan antara desa adat satu dengan lainnya. Waktu,
tempat, dan kondisi desa-desa adat yang ada di Bali saat ini tidak terlalu jauh
berbeda satu dengan lainnya, sehingga perlu distandarisasi, dan tidak
sepenuhnya hanya berpatokan pada awig-awig desa adat setempat atau dresta
setempat. Standarisasi sangat diperlukan karena tugas dan kewajiban prajuru
desa adat sebagaimana dicantumkan dalam pasal 30 tergolong cukup berat.
Tugas dan kewajiban Prajuru Desa adat, menurut pasal 30,
ayat (f) untuk mengatur penyelenggaraan kegiatan sosial dan keagamaan dalam
Wewidangan Desa Adat sesuai dengan susastra agama dan tradisi masingmasing,
kami pikir tidak tepat. Susastra agama, artinya karta sastra yang mengandung
nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama (Hindu). Sebaiknya dieksplisitkan sesuai
dengan hukum Hindu, yang menurut Manawa Dharmasastra II. 6, secara berturut-turut
dari tertinggi ke paling rendah adalah Sruti, Smrti, Sila, Sadacara, dan
atmanastusti.
Larangan prajuru desa adat, sesuai pasal 32 ayat e, untuk
menjadi anggota dan atau pengurus organisasi terlarang, kami pikir sudah pasti
dan tidak perlu dirumuskan. Kami usulkan, sebaiknya prajuru desa adat tidak
menjadi pengurus partai politik agar bisa bersikap netral selama musim pemilu,
dan tetap mengawal desa adat agar tidak dijadikan arena politik praktis yang
sering memecah belah krama desa.
Agama Hindu merupakan roh desa adat (pakraman). Masalahnya,
mengapa kerta desa adat yang bertugas mendampingi prajuru dalam memecahkan
perkara adat (wicara), justru hanya melibatkan krama desa yang memiliki
komitmen, pengalaman, dan keahlian dalam bidang hukum adat; namun tidak
melibatkan krama yang menguasai ajaran agama Hindu secara 5 komprehensif.
Kenyataan dewasa ini, krama yang menguasai hukum adat belum tentu ahli agama,
sebaliknya yang menguasai ajaran agama belum tentu menguasi adat Bali.
Bagian keempat Ranperda Desa Adat (pasal 45) berkaitan
dengan Pasraman. Menariknya, mengapa pengelolaan pasraman hanya melibatkan
krama desa adat saja? Dalam banyak hal, krama tamiu justru sangat potensial
untuk menggarap pasraman desa. Kami sarankan, dalam mengelola pasraman,
khususnya yang bersifat nonformal perlu melibatkan PHDI dan bekerja sama dengan
pasraman-pasraman Hindu yang telah ada.
Untuk desa adat tua, apakah sampai saat ini belum bisa
bersentuhan dengan nilai-nilai demokrasi? Penetapan prajuru dengan cara-cara
nyanjan, keturunan, dan ririgan, bisa jadi mendapatkan prajuru yang tidak
berminat dan tidak kompeten untuk mengelolaan pawongan dan palemahan di era
revolusi industri 4.0 sekarang ini.
Tugas desa adat untuk mewujudkan kasukretan sekala niskala
(pasal 50), di antaranya dengan kegiatan pancayadnya, sudah saatnya diimbangi
dengan bentuk-bentuk yadnya yang tidak hanya berkaitan dengan ritual, tetapi
mesti diimbangi dengan aktivitas spiritual dan moralitas yang justru menjadi
kekuatan dan kekhasan ajaran Weda.
Desa adat memiliki kewenangan untuk mengembangkan nilai
agama, tetapi mengapa dalam ranperda ini tidak ada memuat hubungan atau
koordinasi desa adat dengan majelis keumatan (Parisada Hindu Dharma Indonesia/
PHDI). Tanpa koordinasi dengan PHDI, bisa jadi pembinaan umat hanya menjadi
pewarisan tradisi, bahkan menjadikan tradisi sebagai agama. Atas dasar itu,
kami mengharapkan ranperda Desa Adat ini dilengkapi dengan pelibatan PHDI dalam
pembinaan krama desa tentang ajaran agama yang dianutnya. Tata hubungan desa
adat, yang dinyatakan dapat melakukan hubungan dengan berbagai lembaga,
termasuk lembaga umat Hindu, kami pandang tidak kuat. Bisa dilakukan, bisa juga
tidak. Selain itu, lembaga umat Hindu berbeda dengan Majelis Umat Hindu (PHDI).
Berkaitan dengan kearifan lokal yang banyak disebutkan dalam
draf ranperda Desa Adat ini, seharusnya dilengkapi dengan definisi yang lebih
operasional. Sesungguhnya, kearifan lokal tersebut mencakup kearifan sosial dan
kearifan ekologi. Kearifan sosial berkaitan dengan ranah pawongan, sedangkan
kearifan ekologi berkaitan dengan palemahan. Tanpa pemahaman akan karakteristik
kearifan lokal, bisa jadi keprimitifan dipandang sebagai kearifan. Atas dasar
itu, nilai-nilai agama dan nilai-nilai sains sangat penting untuk mengidentifikasi
apakah suatu tradisi dapat dipandang sebagai kearifan lokal atau tidak.
Demikianlah, selain memberikan masukan untuk penyempurnaan
draf ranperda desa adat ini, kami juga menyampaikan apresiasi berkaitan dengan
inovasi untuk menyejahterakan krama desa melalui pemberdayaan aset dan potensi
ekonomi yang dimiliki desa adat. Dengan demikian, tujuan umat untuk mencapai
jagathita dengan pemenuhan artha dan kama melalui jalan Dharma, semakin
potensial untuk dicapai. Ranperda ini telah memuat aspek ekologi dan ekonomi,
namun perlu dipertajam untuk aspek spiritualitas kehinduan dan asas
demokratisasinya. Selain itu, perlu dilakukan sinkronisasi dengan tugas dan
kewengan desa dinas agar tidak muncul permasalahan dalam implementasinya di
lapangan.
Om ano bhadrah
kratawo yantu wiswatah. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Om
shantih, shantih, shantih, Om.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar