Putu Setia |
@mpujayaprema
INI bukan sorotan
tentang Pancasila, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Saya tak
mau mencampuri urusan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, lembaga yang kurang
saya kenal kiprahnya. Ini soal kegaduhan rencana pembebasan narapidana teroris Abu
Bakar Ba’asyir.
Rencana pembebasan itu diucapkan sendiri oleh Presiden Jokowi
dengan dalih kemanusiaan. Usia ustad sudah tua dan perlu berkumpul dengan
keluarganya untuk perawatan kesehatan. Namun protes berdatangan bahkan dari pemerintah
Australia secara resmi.
Tiba-tiba ada
koreksi dari Menko Polhumkam Wiranto yang menyebutkan keluarga Abu Bakar Ba’asyir
memang sudah lama mengajukan permohonan pembebasan dengan alasan usia dan
kesehatan. Presiden Jokowi memahami masalah kemanusiaan itu. Hanya saja Ba’asyir
bisa bebas bersyarat jika menandatangani
kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.
Lalu masalah pun tambah
jelas ketika Menkum HAM
Yasonna H Laoly menyebutkan, Ba’asyir sebenarnya sudah berhak mendapatkan bebas
bersyarat sejak Desember
lalu asalkan menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila. Jadi
faktor kemanusiaan betul-betul tidak ada kaitannya dengan pembebasan ustad
sepuh ini.
Jika begitu halnya,
urusan kemanusiaan dan menegakkan hukum tak bisa dikaitkan. Dua hal yang
berbeda. Lalu bagaimana menjelaskan remisi yang diterima I Nyoman Susrama, terpidana
seumur hidup, otak pembunuhan wartawan Radar
Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa? Dia dapat remisi khusus dari
Presiden Jokowi dan hukuman pun menjadi 20 tahun. Alasan Menteri Yasonna begini: Susrama berkelakuan baik di
penjara, dan dia sudah sepuluh tahun menjalani hukuman, usianya pun di atas 60
tahun. Apakah dalam kasus ini unsur kemanusiaan dikaitkan? Tersirat seperti itu
walau memang ada peraturan yang
membenarkan.
Ada cerita lama
yang menarik sebagai bahan renungan bagaimana unsur kemanusiaan diabaikan dalam
hukum. Menimpa Ibu Sumiarsih yang dieksekusi mati setelah ibu sepuh ini
menjalani hukuman 20 tahun. Sumiarsih ditembak mati 18 Juli 2008 untuk
kejahatan pembunuhan yang dilakukan pada 13 Agustus 1988.
Sumiarsih
dieksekusi bersamaan dengan anak kandungnya, Sugeng. Keluarga ini melakukan
kesalahan berat dengan membunuh keluarga Letkol (Mar) Purwanto di Surabaya.
Keluarga pembunuh selain Sumiarsih dan Sugeng adalah Djais Adi Prayitno (suami Sumiarsih), Adi Saputro
(menantu), Nano (keponakan Sumiarsih), dan Daim (orang kepercayaan). Keluarga
yang terbunuh selain Purwanto adalah istrinya, kedua anaknya dan satu
keponakan. Pembunuhan dipicu oleh permasalahan utang-piutang dalam pengelolaan
bisnis di komplek prostitusi Dolly.
Mungkin perlu ada
aturan lebih rinci mengkaitkan keadilan dengan kemanusiaan. Berkelakuan baik
saja dapat remisi, kenapa yang divonis mati tak ada evaluasi, lalu dibiarkan
menanti bertahun-tahun “hanya untuk mati”. Yang paling ideal – menurut saya –
memang menghapus hukuman mati demi kemanusiaan.
(Koran Tempo 26 Januari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar