Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
KEMBALI dua hari raya Hindu
bertabrakan dalam satu hari. Pada hari Sabtu ini, dikenal sebagai Tumpek
Kuningan, di mana umat Hindu merayakan sebuah hari sebagai penutup dari Hari Raya
Galungan. Sementara itu pada Sabtu ini pula ada hari Siwaratri di mana umat
Hindu merayakan “malam pemujaan Siwa” yang rangkaian ritualnya sudah dimulai
sejak pagi. Maka timbul permasalahan, pilih mana yang harus dirayakan yang
sesuai dengan konsep hari raya itu?
Tahun lalu, tepatnya Sabtu 17
Maret 2018 kita juga mengalami hal serupa. Pada saat itu Hari Raya Nyepi
berbarengan dengan Hari Raya Saraswati. Pilih yang mana? Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Bali saat itu memberikan pedoman, keduanya harus dirayakan
namun waktunya disesuaikan. Ketika itu sarannya adalah perayaan Hari Saraswati
dilangsungkan pagi hari sebelum mulai Hari Raya Nyepi. Padahal ini pun
bermasalah, karena kalau dirayakan dini hari sebelum Nyepi maka perayaan
Saraswati seperti maju sehari karena pergantian hari dalam kalender Saka Bali
adalah dimulai dengan terbitnya matahari.
Sekarang ini tabrakan itu
terjadi pada Hari Raya Kuningan dengan Hari Raya Siwaratri. Tabrakan dua hari
raya menurut Hindu memang bisa saja terjadi, karena kedua hari raya berdasarkan
sistem hitungan yang berbeda. Kuningan dihitung berdasarkan wewarigan, bertemunya wara dengan wuku, dalam hal ini Saptawara (Saniscara) dan Pancawara (Kliwon)
bertemu Wuku Kuningan. Ada pun Siwaratri berdasarkan peredaran bulan (sasih) yakni pada pengelong sasih kepitu.
Tabrakan semakin rumit karena
ciri-ciri khas dari kedua hari raya itu berbeda. Kuningan adalah memuja para
leluhur dengan hati yang suka ria dengan sesajen yang bercirikan tumpeng warna
kuning. Ada pun Siwaratri ada ciri khas berupa tiga pantangan besar yang harus
dilalui sejak pagi hari, yaitu upawasa
(puasa makan), monabrata (puasa
bicara) dan jagra (tidak tidur).
Dalam praktek ritual agama
Hindu di Bali, termasuk pula untuk menentukan kapan hari baik dan hari pantangan,
ada patokan (uger-uger) yang
dijadikan pedoman. Kira-kira bunyinya adalah “dina alah oleh wuku, wuku alah
oleh sasih” yang artinya “hari dikalahkan oleh wuku dan wuku dikalahkan oleh
sasih”. Karena Kuningan berpedoman pada hari (dina) dan wuku, maka dalam
kasus ini Kuningan harus “dikalahkan” oleh Siwaratri yang berpedoman pada sasih. Apakah itu akan dipilih?
Tidak semua pemeluk Hindu di
Bali merayakan Kuningan. Ada sekelompok warga yang tidak merayakannya. Dalam
kasus ada tradisi yang memang tidak merayakannya, tentu tak masalah kalau hari
ini tabrakan dua hari raya. Namun kalau kedua-duanya mesti dirayakan, kita bisa
memilihnya dengan meneliti simbol-simbol dari kedua hari tersebut.
Hari Siwaratri sebagai malam
pemujaan Dewa Siwa mempunyai tiga pantangan, yakni monabrata, upawasa dan jagra.
Monabrata adalah tidak berbicara sedang upawasa
adalah berpuasa. Ada pun jagra adalah
tidak tidur. Ini sejatinya simbol-simbol pengendalian diri. Monabrata yang dimaksudkan agar kita
berbicara seperlunya saja. Upawasa
adalah menahan nafsu buruk. Sedang jagra
kita diharapkan selalu berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan buruk sehingga
tak sampai merusak keheningan kita dalam melakukan pembersihan jiwa. Kalau tiga
pantangan ini intinya adalah pengendalian diri, maka kita bisa saja
menguncarkan doa pada persembahyangan dalam rangka merayakan Kuningan. Tetap
bisa memuja leluhur namun hindari pembicaraan yang tak bermanfaat. Tetap bisa
menyantap nasi tumpeng kuning sebagai prasadam Hari Kuningan tetapi tidak
melakukan pesta besar yang bermewah-mewah. Dalam hal berjaga terhadap
kemungkinan buruk justru kita mendapat dukungan dari Kuningan karena ada simbol
tamiang (prisai) sebagai benteng pengendalian diri. Jadi sesungguhnya tidak
masalah.
Mari kita rayakan keduanya dengan
saling mengisi. Pengendalian tetap kita lakukan dengan tidak berhura-hura.
Kedua hari raya yang menyatu ini baik sekali dijadikan pedoman buat para calon
pemimpin yang akan bertarung dalam pemilu serentak nanti. Jangan terlalu banyak
memberi janji-janji muluk, lakukan monabrata
dalam arti batasi berbicara yang hanya memberi angin sorga. Lakukan upawasa, mengekang nafsu-nafsu berkuasa
yang hanya untuk mementingkan kelompok. Kekuasaan harus sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat. Dan jagra
harus senantiasa dilakukan, waspada terhadap godaan yang bisa menghancurkan
jabatan, apalagi godaan melakukan korupsi, jika kelak terpilih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar