Mpu Jaya Prema
AKHIRNYA bus Sarbagita dikandangkan alias tidak lagi
berjalan. Bus itu diparkir di halaman kantor Dinas Perhubungan Bali. Program
angkutan umum di Bali pun gagal total dan tidak diketahui lagi apa rencana selanjutnya.
Setiap tahun Trans Sarbagita yang ide awalnya menjadi
pelopor angkutan umum perkotaan merugi. Memang di seluruh dunia tidak ada
angkutan perkotaan yang untung, semuanya disubsidi pemerintah, bahkan di
beberapa kota ada yang gratis. Di Bali Trans Sarbagita direncanakan untuk
angkutan kota terpadu, menghubungkan empat kota sesuai namanya Sarbagita.
Yakni, Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Kini hanya tinggal kenangan.
Padahal tahun 2018 lalu program angkutan umum ini mendapat subsidi Rp 13 Milyar
dan tahun sebelumnya lebih banyak lagi sampai Rp 17 Milyar. Kini jadi mubazir
dan sia-sia.
Kenapa Trans Sarbagita bangkrut? Karena penumpangnya tak
ada. Tidak seluruh jalan di perkotaan dilalui oleh bus besar ini, karena memang
jalan di perkotaan juga tak mendukung. Koridornya terbatas, tidak seperti di
kota lain yang seluruh akses jalan bisa dilalui angkutan kota. Karena
keterbatasan jalan yang dilalui maka proyek Trans Sarbagita ini didukung oleh
bus mini yang disebut sebagai bus pengumpan. Nah, bus mini pengumpan ini juga
bermasalah, sehingga lengkaplah kegagalan Sarbagita. Ditambah lagi masyarakat
Bali tak pernah melirik angkutan umum, mereka lebih senang naik sepeda motor
atau mobil pribadi.
Sampai saat ini dengan gubernur Bali yang baru, Wayan Koster,
belum ada konsep bagaimana menata angkutan umum di perkotaan, khususnya
Denpasar. Walikota pun juga tak punya konsep apa-apa. Padahal dalam hitungan
moderen, sebuah kota sedang dan besar diperlukan lebih banyak angkutan kota
untuk menguragi kemacetan. Sampai 70 persen seharusnya ada angkutan kota. Namun
untuk Bali keadaan itu sangat memprihatinkan, hanya sekitar 1 persen angkutan
publik.
Menurut Ketua DPD Organda Bali, Ketut Eddy
Dharmaputra, di Bali pernah ada 1.024
kendaraan yang layak disebut angkutan publik. Sekarang tinggal 300-an buah. Itu
pun akan segera menyusut karena ada aturan di Bali kendaraan untuk angkutan
umum non-pariwisata harus berumur kurang dari 25 tahun, sedangkan untuk
angkutan wisata kurang dari 10 tahun. Bisa dibayangkan kemacetan seperti apa
yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 10 tahun mendatang jika angkutan umum tak
diadakan dan orang mau tak mau harus menggunakan sepeda motor atau mobil
pribadi. Sekarang saja macetnya sudah terasa. Belum lagi kalau ada jalan-jalan
yang ditutup dengan alasan ngaben atau piodalan di pura.
Sementara itu pertumbuhan kendaraan bermotor luar biasa
di Bali. Data Biro Pusat Statistik (BPS)
Bali tahun 2014 menyebutkan ada 3.003.688 unit kendaraan bermotor. Setahun kemudian pada 2015, angka itu sudah
menjadi 3.505.984 unit. Dari jumlah itu sebanyak 3.015.287 sepeda motor.
Kenaikannya rata-rata 16 persen setahun. Bisa jadi angka di akhir tahun 2018
lalu sudah melejit ke angka 4 juta sesuai dengan jumlah penduduk Bali. Padahal Bali
hanya ada 8 kabupaten dan satu kotamadya. Di Jawa Tengah ada 38 kabupaten/kota,
ternyata sepeda motornya di bawah Bali. Ini berarti hampir semua penduduk Bali
yang dewasa punya sepeda motor. Dan perlu diketahui pula, yang tercatat dalam
data ini adalah kendaraan bermotor yang sudah berplat Bali (DK), sementara
masih ada ribuan kendaraan yang berplat luar Bali beroperasi di sini.
Kota paling macet saat ini adalah Jakarta, meski pun
kawasan Kuta hampir menyerupai kemacetan Jakarta. Namun pemerintah pusat dan
provinsi DKI Jakarta sudah merancang penambahan sarana jalan dan transportasi
alternatif untuk mengurangi kemacetan itu. Sarana jalan itu berupa pembangunan
jalan tol di perkotaan dengan sistem jalan layang untuk menambah jalan tol yang
sudah ada. Juga ada kereta bawah tanah dan ada kereta layang yang tahun ini
sudah beroperasi. Sementara bus Trans Jakarta terus ditambah armada dan jaringannya.
Dengan angkutan alternatif ini diharapkan orang beralih dari mobil pribadi ke
angkutan umum, sementara pembatasan kendaraan pribadi termasuk sepeda motor
terus diperketat. Dengan begitu meski saat ini masih ada kemacetan, sudah
terbayang suatu saat kemacetan akan berkurang.
Bagaimana dengan Bali? Belum ada rencana apa-apa untuk
angkutan umum di perkotaan. Sedang untuk antar-kota sudah mulai ada pembuatan
jalan tembus untuk menerobos tikungan di sekitar Bedugul-Singaraja sehingga
jarak tempuh Denpasar-Singaraja bisa lebih cepat. Selebihnya tinggal wacana
saja, seperti membangun jalan tol Denpasar/Canggu – Soka – Seririt yang dikombinasikan
dengan Canggu – Soka -- Gilimanuk. Juga ide sayup-sayup pembangunan kereta api.
Yang jelas inrastruktur di Bali sangat kurang.
Bayangkan kalau tol Anyer – Jakarta – Surabaya –
Banyuwangi sudah selesai, maka dampaknya sangat besar buat Bali. Kemacetan di
jalur barat yang menghubungkan Denpasar dengan Gilimanuk akan semakin parah, apalagi
ada kebijakan memanjakan truck-truck besar dari Jawa.
Secara teori, mengatasi kemacetan adalah mengurangi
kendaraan bermotor di jalanan dengan mengaktifkan angkutam umum. Dalam teori
ini jika satu angkutan umum berjalan maka ada 30 kendaraan bermotor yang
“hilang” dari jalanan, karena orang beralih ke angkutan umum. Tapi hal ini
sangat mustahil di Bali karena membutuhkan proyek yang mahabesar dan dasyat,
perlu ada ribuan angkutan umum yang
menyebar sampai ke pelosok. Harus ada revolusi angkutan publik dan revolusi
mental untuk masyarakat Bali.
Permasalahan memang sangat komplek, tetapi harus
dipikirkan dari sekarang. Kalau urusan transportasi ini diabaikan apalagi
ditambah infrastruktur yang tak bisa dibangun dengan lebih banyak karena
membebaskan tanah di Bali itu sangat sulit dan mahal, maka petaka akan datang
tak sampai hitungan 5 tahun. Apalagi kendaraan bermotor akan lebih murah dengan
ditemukannya sepeda motor listrik.
Suatu saat orang Bali akan kumpul di jalan tak bisa
bergerak dan membuang waktu berjam-jam untuk perjalanan yang pendek. Bagaimana
orang bisa melaksanakan kegiatan adat dan agama kalau pelemahan Bali sudah macet total? Harus dipikirkan sejak sekarang
karena membangun inprastruktur jalan dan moda angkutan publik butuh waktu sedikitnya
10 tahun. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar