Mpu Jaya Prema
PASAR Badung diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dengan segala
kemeriahannya. Maklum menjelang pemilu serentak, acara semacam ini biasa
didomplengi kampanye karena Jokowi adalah calon presiden petahana. Yang jelas
pasar di pusat kota Denpasar ini – yang jauh dari Kabupaten Badung – memang
jadi kebanggaan warga kota sekarang. Bangunannya kokoh kuat dan artistik,
Jokowi sendiri menyebutnya pasar dengan arsitektur terbaik di Indonesia.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya sesuatu yang buruk semoga hal itu
tak terjadi lagi. Yakni sebuah pertanyaan, sampai kapan pasar bagus ini berdiri
megah? Apakah tidak akan terbakar lagi? Sudah berapa kali pasar ini terbakar,
tak pernah ada kapok-kapoknya dan selalu dibangun kembali dengan cara lebih
moderen.
Saya sudah mengenal Pasar Badung sejak akhir 1960an, tepatnya setelah tahun
1966. Sebuah pasar yang sederhana sebagaimana pasar-pasar di kota lain. Di
depan pasar di Jalan Sulawesi itu, siangnya untuk parkir mobil yang memang
masih sepi. Malamnya untuk pasar senggol dan saya berjualan majalah di sana.
Kadang saya tidur di kawasan pasar itu, karena ada Toko Trisandhya yang
berjualan kelontong milik seorang teman. Jadi saya tahu isi perut pasar itu.
Lantai yang becek kalau hujan. Sampah berserakan. Kios-kios yang kabel
listriknya semerawut, satu stop kontak bisa dicantoli sepuluh saluran listrik.
Karena stop kontaknya disambung-sambung. Kebakaran terjadi sering karena
disebabkan arus pendek listrik.
Pasar Badung dibenahi dengan membongkar semua pertokoan di depan pasar,
termasuk toko-toko yang persis di seberang Pura Puseh, Jl. Gajah Mada. Areal
pasar jadi longgar karena ada tempat parkir yang luas, sementara pasarnya
sendiri dibuat bertingkat. Bagaimana penataan para pedagang? Tetap tak berubah,
kios-kios berderet dengan barang dagangannya yang berjubel sampai ke lorong.
Seolah-olah ada kesan, semakin banyak barang dagangan yang meluber di depan
kiosnya maka dagangan itulah yang laris. Orang berjalan saja jadi sulit, apalagi
kalau berpapasan. Bukankah kalau ada pembeli mereka berdiri di depan lorong
lalu bagaimana orang yang lewat, belum lagi kalau orang yang lewat sudah bawa
belanjaan? Di depan pintu masuk yang sedikit longgar juga dipenuhi pedagang
kaki lima yang tak menyewa kios tetapi dipunguti restribusi pasar. Dan pasar
pun terbakar, lagi-lagi diduga penyebabnya karena arus pendek listrik.
Zaman bergerak, kehidupan terus berubah. Muncul pasar-pasar swalayan yang
besar. Mereka menata barangnya dengan bagus, memberi keleluasaan pengunjung
untuk berjalan di lorong-lorongnya, lantai keramik yang bersih, ada pendingin
udara yang sejuk, ada pelayan yang cantik dan pembeli tinggal mengambil barang
tanpa ada tawar menawar. Lalu ke kasir dan membayar.
Perubahan terus terjadi. Muncul lagi pasar swalayan mini atau kerennya mini market yang kini menyebar ke
pedesaan. Hampir di setiap desa ada mini
market dan tak cukup satu, tetapi dua atau lebih. Suasananya sama dengan
pasar swalayan besar, tentu barangnya yang tak sebanyak swalayan besar. Banyak
orang yang khawatir apakah pasar moderen ini akan memberangus pasar desa atau
yang disebut pasar tradisional? Kenyataannya tidak, pasar desa tetap saja
ramai, bahkan sejak subuh sudah penuh orang.
Apa yang membuat pasar desa tetap ramai dan sepertinya tak akan bisa
dikalahkan oleh pasar moderen mini yang kini mewabah di mana-mana? Suasana
pasar yang membedakannya. Pasar bagi masyarakat Nusantara – tak cuma di Bali
tetapi di semua daerah – bukan sekedar tempat orang berbelanja, tetapi juga berinteraksi
dengan sesama. Di pasar ada perjumpaan, di pasar ada seni, antara lain, seni
tawar-menawar. Tradisi tawar-menawar di pasar itu bukan semata-mata ingin
mendapatkan harga yang murah, tetapi kerinduan untuk berdialog dengan pedagang.
Artinya, orang membutuhkan komunikasi, tak sekedar ambil barang masukkan ke
kantong, lalu ke kasir dan bayar tanpa perlu ada dialog apa pun. Lagi pula di
pasar desa, kesempatan memilih itu sangat besar. Ibu-ibu yang ingin membeli
buah bisa berpindah ke pedagang yang lain kalau tak menemukan buah yang
disukainya.
Suasana itu seharusnya bisa tetap hidup meski pasar desa sudah dibangun
secara moderen. Kebutuhan masa kini di mana orang sudah sadar dengan kebersihan
seharusnya membuat pasar-pasar tradisional yang ada di desa dibenahi ke arah
pasar moderen, bukan moderen dalam tata cara interaksi tetapi moderen dalam hal
kebersihan dan cara bergerak di pasar. Lorong harus bersih dari barang dagangan
yang melimpah, orang berlalu lalang tak harus bersenggolan atau terhambat karena
lorong yang sempit. Lantai pasar tidak harus becek dan kebersihan harus tetap
dijaga. Tong sampah ada di berbagai sudut.
Pasar Badung yang diresmikan Presiden Joko Widodo menjanjikan hal itu.
Pasar ini berlantai enam, dua untuk basement
dan empat lainnya untuk los dan kios. Akses tiap lantai disediakan lift, tangga,
dan juga eskalator. Lantai dasar pasar sanggup menampung 42 mobil pengunjung
serta 23 mobil pengangkut barang. Sementara, pada lantai basement 2
kapasitas parkirnya bisa mencapai 82 mobil. Total los yang sanggup ditampung di
pasar ini mencapai 1.450 unit dan tambahan 290 unit kios. Ditambah dengan
warung tenda di sekitar pasar, maka sekitar 1.698 pedagang bisa ditampung di
sini. Ini kan luar biasa?
Tinggallah sekarang masalah keamanan dari bahaya seperti kebakaran. Harus
diyakinkan bahwa instalasi listriknya bagus. Setiap los dan kios ada stop
kontak yang memadai untuk saluran, jangan dibiarkan satu stop kontak lebih dari
tiga saluran sebagaimana standar keamanan PLN. Hampir di semua daerah jika ada
kebakaran di pasar, penyebabnya lebih banyak karena arus pendek listrik ini.
Kalau tempat parkir memadai, kebersihan dijaga, pengunjung leluasa berjalan
di pasar tanpa harus bersenggolan, kita tak harus meremehkan keberadaan pasar
desa itu. Contoh-contoh kecil sudah dimulai sejak lama. Pasar di Desa Kapal,
Beringkit, dan banyak contoh lagi sudah meniru hal itu. Pasar Seni Sukawati pun
di mana pengunjung sulit bergerak konon akan segera diperbaiki.
Mari kita kembali ke pasar desa dan ingat pesan Jokowi, pasar harus bersih,
barang yang dijual bersih, pedagang pun berpakaian bersih. Kita harus
berprilaku moderen namun tetap dalam suasana masa lalu, pasar sebagai interaksi
antar sesama. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar