Mpu Jaya Prema
APA yang dikatakan oleh calon wakil presiden Sandiaga Uno saat berkampanye
di Bali bahwa Bali perlu mengembangkan wisata halal adalah ucapan politik.
Karena ini omongan politik maka tanggapan pun berseliweran bernada politis. Semakin
banyak yang menanggapi, tak peduli tanggapan itu berupa penolakan apalagi kalau
ada yang mendukung, tentu sangat diharapkan oleh cawapres Prabowo ini. Bahkan
tidak penting bagi Sandiaga Uno apakah tanggapan itu disertai dengan maki-maki,
karena dalam dunia politik semuanya itu bisa digoreng untuk menaikkan
elektabilitasnya. Politik kita menjelang pemilu 17 April ini memang lagi keruh,
banyak yang membenci sebanyak itu pulalah yang memuji.
Karena itu, soal wisata halal di Bali ini mari
kita tinjau dari sudut nonpolitik, supaya lebih adem dan jauh dari kebencian.
Apa itu wisata halal? Halal itu adalah istilah agama tertentu dalam hal ini
agama Islam. Agama lain, termasuk agama Hindu, tak mengenal halal dan haram.
Inti yang diperoleh dari label halal itu adalah kemudahan bagi umat Islam untuk
menjalankan ibadah agamanya. Ada dua hal pokok di luar hal-hal kecil, yakni mudah
mendapatkan makanan yang sesuai dengan ajaran Islam dan mudah mendapatkan
tempat ibadah untuk menjalankan sholat.
Apakah wisata Bali tidak memberi kemudahan
untuk dua hal pokok itu? Ternyata sudah memberikan kemudahan dan bahkan jauh
lebih mudah dibandingkan di tempat lain. Hotel-hotel besar di Bali, baik yang
berada di pusat-pusat wisata moderen mau pun di luar destinasi wisata, memberi
petunjuk kilbat untuk melaksanakan ibadah sholat di kamar masing-masing. Di
luar hotel, masjid sudah banyak ada di Bali. Program setiap kecamatan ada
masjid besar sudah lama ada di Bali, belum lagi masjid-masjid di luar kota
kecamatan. Mushola pun ada banyak yang disediakan di berbagai pusat belanjaan.
Cobalah masuk ke mall yang menjual oleh-oleh khas Bali, dipastikan ada mushola
untuk sholat umat Islam. Bahkan di SPBU pun sudah banyak ada mushola yang
diletakkan berdekatan dengan toilet yang sekaligus sebagai tempat wudhu. Nah,
kurang apa lagi?
Mencari makanan halal? Di hotel-hotel menu
sudah jelas dengan label yang rinci, bahan apa yang dipakai untuk setiap
makanan. Bahkan makanan berbahan daging babi, sesuatu yang haram bagi kaum
muslim, sangat jarang ditemui di hotel. Di luar hotel, bertaburan restoran dan
warung makanan dengan label “warung muslim”. Coba periksa di berbagai daerah di
Indonesia, di mana ada warung yang berlabel “warung muslim” kecuali di Bali?
Hampir di setiap sudut jalan ada “warung muslim” dan tak pernah ada orang Bali
yang mempermasalahkan hal ini. Biasa-biasa saja. Apa yang kurang lagi?
Wisata Bali sudah sangat halal bahkan melebihi
dari daerah lain yang mayoritas penduduknya muslim. Cuma saja label halal itu
tidak dikenakan karena label itu tidak dikenal dalam istilah budaya Bali maupun
dalam istilah agama Hindu. Sementara pariwisata Bali sudah ditetapkan sejak
lama sebagai pariwisata budaya karena memang sejarah asal-usulnya adalah
wisatawan tertarik dengan adat dan budaya Bali itu. Budaya Bali menyatu dengan
alamnya dan tak bisa pula dipisahkan dari ritual agama Hindu sebagai agama
mayoritas orang Bali.
Pada awalnya masyarakat Bali melakukan kegiatan
budaya karena terkait dengan menjalankan ritual keagamaan. Kesenian Bali
dihadirkan juga sebagai persembahan pada saat memuja Tuhan. Ritual-ritual
keluarga dari Manusa Yadnya sampai Pitra Yadnya selalu dilaksanakan umat Hindu
di Bali secara berkesinambungan. Ritual ngaben menjadi tontonan menarik
wisatawan. Begitu pula ritual Dewa Yadnya, piodalan di pura, melasti ke laut
menjadi acara yang diminati para turis. Padahal ada atau tidak ada turis yang
melihatnya, ritual itu tetap saja berlangsung.
Inilah yang membuat wisatawan mengunjungi Bali,
mendatangi pura untuk melihat ritual itu. Dan pura pun menjadi obyek wisata.
Lihat saja pura besar seperti Pura Besakih, Uluwatu, Ulun Danu, Goa Lawah dan
banyak lagi, menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi turis. Saking
ramainya turis datang, lama-lama orang Bali pun mulai gelisah, kenapa
bersembahyang kok ditonton. Lihatlah di Pura Besakih, turis berkerumun di depan
angkul-angkul pura menonton orang sembahyang, bahkan kalau tak ada petugas
bisa-bisa naik pagar hanya memotret orang Bali sembahyang. Apa sebenarnya
keuntungan orang Bali bersembahyang ditonton turis itu? Tidak banyak ada
kontribusinya, lebih banyak uang turis masuk ke kantor biro perjalanan.
Nah, kalau ini dikaitkan dengan label wisata
halal, maka turis yang datang ke pura yang jadi obyek wisata itu harus dibuatkan
mushola bahkan diminta ada masjid di sekitar pura. Ya tentu saja tak masuk
akal. Siapa menyuruh datang melihat orang bersembahyang. Atau justru wisatawan
itu yang seharusnya menyesuaikan diri kapan mau berkunjung ke pura. Kalau
memang waktu kunjungannya bertabrakan dengan jadwal sholat, ya, harus
dihindari. Dan orang Bali yang melaksanakan ritual keagamaannya yang kebetulan
diminati turis tak bisa pula menyesuaikan dengan sholat wisatwan yang beragama
Islam. Jadi, memang tak masuk akal Bali menerapkan wisata halal.
Penolakan label wisata halal di Bali ditanggapi
sinis oleh politisi kelompok kubu Prabowo-Sandiaga. Ini lagi-lagi masalahnya
politik, apa pun yang dikemukan kelompoknya harus didukung. Yang masalah mereka
itu menyebutkan perbandingan yang keliru. Mereka mengatakan, kenapa Thailand,
Jepang dan negara-negara Eropa yang penduduknya mayoritas non-muslim justru
menerapkan wisata halal? Kenapa Bali menolak?
Ini betul-betul perbandingan bodoh atau istilah
Rocky Gerung, sangat dungu. Thailand dan Jepang itu adalah negara, jadi
perbandingannya haruslah Negara Indonesia. Kalau Indonesia punya kebijakan
menerapkan wisata halal itu tak masalah, bisa dikembangkan di Lombok,
Banyuwangi, Banten, Aceh, Bukittinggi dan seterusnya. Budaya setempat itu cocok
karena mayoritas muslim dan tentu istilah halal tak jadi masalah. Kenapa harus
Bali yang disasar? Bali itu pulau kecil, turis Timur Tengah kalau tak suka, ya,
tak usah datang. Biarlah Bali dikunjungi oleh turis yang tak mempersoalkan
label halal toh mereka bisa pandai-pandai memilih makanan yang sesuai dengan
agamanya. Kembangkan wisata halal di Indonesia, tetapi bukan di Bali, yang
budayanya kini terus mau dilestarikan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar