Senin, 11 Maret 2019

Liputan Nyepi Positif

Mpu Jaya Prema

LIPUTAN media, terutama televisi dan media online tentang Nyepi tahun saka 1941 atau 2019 Masehi ini tergolong positif. Jika selama ini liputan selalu tentang Bali yang seolah-olah hanya umat Hindu di Bali saja merayakan Nyepi, maka kini liputan menyebar bahkan lebih banyak di luar Bali.
Tentu ada banyak sebab. Nyepi di Bali tak bisa diliput karena reporternya tak bisa bergerak ke jalanan hanya memotret dari hotel saja. Sedang liputan di luar Bali bisa lebih bebas, setidaknya reporter bisa mendekati obyek. Sebab lain, mungkin saja mereka jenuh dengan liputan di Bali yang hanya itu-itu saja dari tahun ke tahun. Paling gambar pecalang yang menjaga kawasan jalan yang sepi, sembari mereka bertanya apa pecalangnya tidak ikut melaksanakan tapa brata Nyepi.

Liputan bervariasi di luar Bali. Di Tengger liputan tergolong lengkap. Umat Hindu khyusuk merayakan Nyepi, obyek wisata Gunung Bromo ditutup total dan batas desa dijaga oleh umat muslim bersama polisi dan juga dibantu tentara. Bahkan ada komentar positif dari tokoh muslim bagaimana mereka mewujudkan toleransi beragama. Sungguh mengharukan.

Begitu pula liputan di Cirebon, Jawa Barat dan  di Kediri, Jawa Timur. Umat Hindu merayakan Nyepi di pura setempat dengan khyusuk. Bahkan jalan pedesaan di depan pura lenggang karena umat muslim yang mayoritas di sana tidak banyak berlalu lalang. Mereka ingin menciptakan suasana yang tenang pada saat Nyepi berlangsung.

Di Klaten, Jawa Tengah, bahkan liputat Nyepi sampai pada acara Ngembak Geni yang memperlihatkan bagaimana umat Hindu yang kebanyakan etnis Jawa melakukan dharma santhi dengan bersembahyang bersama mengakhiri puasa Nyepi. Mereka lalu makan prasadam yang telah dihaturkan di pura sambil saling bersalaman memaaf-maafkan. Ada pula ceramah agama dari salah satu tokoh di sana yang memakai bahasa Jawa.

Lpiutan ini selain positif karena menyebarkan informasi dari berbagai wilayah juga memperkuat keberagaman kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama ini ada kesan bahwa Nyepi itu mengganggu umat beragama lain karena dibatasi geraknya, terutama di Bali. Ternyata tidak ada yang terganggu bahkan dalam kasus di Bali pembatasan gerak penduduk Bali, apa pun agamanya, adalah hasil keputusan bersama majelis-majelis agama, termasuk majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Konghucu. Jadi bukan hanya berdasarkan keputusan majelis agama Hindu saja. Ini mengharukan. Coba kita perhatikan, mana ada ritual agama selain Hindu di mana majelis agama lain ikut terlibat membuat surat edaran. Parisada Hindu Indonesia sebagai majelis umat Hindu tak pernah repot mengurusi umat Islam pada saat bulan Ramadhan misalnya, tetapi Majelis Ulama Indonesia ikut membuat edaran bersama dalam perayaan Nyepi. Kita harus berterimakasih kepada majelis umat beragama lainnya.

Suksesnya perayaan Nyepi membuat banyak orang tertarik kalau hikmah dari Nyepi ini dibawa ke ranah politik. Bukan dalam kaitan mempolitikkan agama, tetapi bagaimana inti ajaran Nyepi dipakai pula untuk meredam gejolak politik.  Seperti kita ketahui saat ini, gejolak politik itu sangat memanas menjelang pemilihan umum serentak yang memilih presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD. Masyarakat seperti terbelah ke dalam dua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Masing-masing kubu punya pengikut fanatik dan saling menjelekkan lawannya. Ujaran kebencian, berita bohong alias hoax, saling caci dan saling sindir, terus menerus diproduksi. Bagaimana kalau sehari saja ada “nyepi politik” di mana semua itu dihentikan sama sekali. Kalau Nyepi bisa membersihkan udara dari polusi, tentu “nyepi politik” bisa pula membersihkan ulah kita untuk saling memaki.

Tentu pula tidak sekedar menghentikan perseteruan yang panas ini. Tetapi bagaimana mengajak orang melakukan perenungan dan instrospeksi sebagai mana layaknya ritual Nyepi menurut Hindu. Dalam keheningan Nyepi, kita bertanya pada hati nurani, jangan-jangan kita telah melakukan perbuatan yang salah sehingga perlu kita koreksi. Dalam perenungan dan instrospeksi ini kita barangkali lebih banyak menyalahkan diri sendiri ketimbang melempar kesalahan kepada orang lain. Lalu yang muncul adalah kedamaian karena kita menyadari kekeliruan kita dalam pergaulan bangsa yang majemuk. Pilihan politik bisa berbeda tetapi kita tetap satu bangsa sebagai hasil dari perenungan dan instrospeksi selama “nyepi politik”.

Itulah hakekat dan makna dari perayaan Nyepi, bukan saja kebebasan gerak kita dibatasi dengan percuma, tetapi dalam keterbatasan gerak itu kita melakukan perenungan dan instroskpeksi dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan dalam dunia politik. Mungkin dari hasil perenungan ini kita melihat banyak hal yang perlu diperbaiki, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, misalnya. Pemilu serentak yang hasilnya belum diketahui pada saat memilih presiden dan wakil presiden, bagaimana partai bisa mencalonkan presiden dengan baik kalau partai itu sendiri belum tentu punya suara yang signifikan? Juga soal-soal administrasi seperti daftar calon pemilih yang amburadul, kampanye yang terlalu panjang, debat calon presiden dan wakil presiden yang sangat kaku.

Tentu banyak hal yang bisa kita renungkan lagi untuk masa depan bangsa. Situasi saat ini sudah panas membara. Apakah perseteruan dua kubu yang semakin meruncing – dan banyak hal tak bernalar – bisa dingin usai pencoblosan? Tentu itu yang diharapkan meski banyak yang khawatir kegerahan ini akan lama berakhir. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah menjadi contoh, yang kalah seperti tak rela punya gubernur yang baru. Bagaimana kalau usai pemilu serentak, kubu calon presiden yang kalah tak juga mau menerima kekalahannya? Akan panjang dampak perseteruan itu kalau demikian adanya. Maka ayo mari kita jeda sejenak untuk merenungkan di mana salahnya perjalanan demokrasi ini dengan cara “nyepi politik” sesaat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar