Putu
Setia | @mpujayaprema
DI
tengah hiruk-pikuk kampanye calon presiden dan calon wakil presiden, ada berita
menarik dari Pantai Ancol. Patung Putri Duyung diberi kain penutup warna kuning
keemasan persis di bagian dadanya. Banyak orang kaget dan seperti baru sadar
kalau di pantai itu ternyata ada patung yang selama ini kurang diperhatikan.
Padahal Ancol memiliki tiga patung Putri Duyung.
Ancol
adalah tempat hiburan keluarga. Pantai tempat anak-anak bermain, dunia fantasi wahana
adu nyali berbagai ketangkasan, sea word
menatap isi laut, pasar seni tempat membeli oleh-oleh. Banyak lagi yang
menarik, tetapi rasanya patung Putri Duyung bukan bagian untuk dipelototi
secara khusus. Keberadaannya tak penting-penting amat.
Namun
kini pengelola Ancol berhasil mempromosikan keberadaan Putri Duyung itu. Ibarat
artis, Putri Duyung “mendadak selebritas” dengan cara menutupi payudaranya.
Orang tersentak. Apakah ini sebagai syarat kawasan wisata syariah di mana
patung pun tak boleh terbuka auratnya? Adakah ini sebagai wujud penerapan
Undang-Undang tentang Aksi Pornografi? Apakah ini akibat protes dari ormas
tertentu? Saya sudah menduga jawaban pengelola Ancol membantah semua itu. Tak
ada tekanan dari pihak mana pun, semata-mata karena Ancol adalah tempat
kunjungan keluarga dan semuanya demi keamanan dan kenyamanan.
Meski
patung dada seorang putri yang terbuat dari semen sulit dikaitkan dengan
keamanan dan kenyamanan, saya setuju Putri Duyung itu didandani dengan cara apa
saja. Kalau sekarang dadanya ditutup dengan kain memakai pola budaya Nusantara
yakni selendang yang diselempangkan, lain kali kepalanya diberi hiasan gelung
seperti putri ningrat Bali, saya pun setuju. Juga sesekali memakai hijab
sebagaimana yang dipakai para muslimat, kenapa tidak?
Putri
Duyung itu milik dunia, bukan legenda Nusantara seperti Pangeran Kodok atau
Pendeta Bangau, legenda yang menggabungkan wujud manusia dengan hewan. Cerita
Putri Duyung ada di Eropa, Afrika, Kanada, bukan cuma di Asia, apalagi cuma di Ancol.
Dalam karya sastra dan film, kisah Putri Duyung pun mendunia. Memang betul
Putri Duyung berkali-kali diangkat sebagai sinteron di negeri ini yang
melambungkan artis seperti Ayu Azhari dan Julia Perez, namun penampakan Putri
Duyung itu bebas ditafsirkan sesuai budaya lokal. Karena itu tak usahlah kita
ribut menyebut patung Putri Duyung berselendang kain di Ancol sebagai pelecehan
terhadap karya seni. Tak semua patung harus dilihat sebagai karya seni,
tergantung di mana patung itu diletakkan. Patung dewa-dewi di Bali pada
hari-hari tertentu malah didandani busana beragam, padahal patung sudah diukir
dengan penampilan yang berbusana. Kenapa repot-repot lagi memberi kain, apa tak
melecehkan pematungnya?
Patung-patung
yang luar biasa porno bisa aman di Candi Sukuh, juga di Borobudur. Patung atau
lukisan yang memperlihatkan kepolosan wanita bisa aman dipamerkan di galeri
seni. Kenapa? Karena tempat yang membedakannya dan untuk apa patung itu
dipajang. Jika patung itu hanya sebagai asesoris yang nilai seninya juga tak
seberapa tinggi, ya, sesekali didandani untuk tujuan “asal beda” tak perlu
diributkan amat. Lebih pas kalau kita ribut soal patung Buddha yang harus
diturunkan dari Vihara hanya karena ada sekelompok orang yang keyakinannya
goyah jika melihat patung itu.
Putri
Duyung di Ancol tak seperti patung di Candi Sukuh, biarkan didandani. Kita baru
tertawa kalau bagian duyungnya yang ditutup kain karena ini menyimpang dari
legenda dunia, wujud ikannya jadi hilang.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 30 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar