Sabtu, 09 Maret 2019

“Nyepi Politik”

Putu Setia | @mpujayaprema

Setelah umat Hindu melaksanakan ritual nyepi dua hari yang lalu, tiba-tiba ada usulan rada aneh. Perlu ada “nyepi politik”. Sulit untuk disebut usulan ini serius, namun tak layak diremehkan. Alasannya sudah terjadi kebisingan yang akut menjelang pemilihan umum serentak, utamanya pemilihan presiden. Situasi memanas,  “polusi politik” ini perlu dibersihkan dengan nyepi.
Bukankah “nyepi politik” itu sudah disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum menjelang pencoblosan, bahkan lebih dari sehari? Itu disebut minggu tenang, meski pun hitungannya tidak tujuh hari atau seminggu. Saat itu segala bentuk kampanye dilarang, hoax berkurang, dan seharusnya saling menjelekkan lawan sudah tak ada.

Minggu tenang hanya menghentikan kegiatan kampanye. Tidak mengajak orang melakukan perenungan dan instrospeksi sebagai mana layaknya ritual nyepi. Dalam keheningan nyepi, kita bertanya pada hati nurani, jangan-jangan kita telah melakukan perbuatan yang salah sehingga perlu kita koreksi. Dalam perenungan dan instrospeksi ini kita barangkali lebih banyak menyalahkan diri sendiri ketimbang melempar kesalahan kepada orang lain.

Misalnya, sejumlah politisi termasuk yang duduk di parlemen, mengecam keras adanya warga negara asing yang memperoleh kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Apalagi dengan kartu itu mereka masuk ke dalam daftar pemilih tetap pada pemilu nanti. Cara-cara ini dianggap salah satu dari sekian banyak upaya untuk membuat pemilu berlangsung curang.

Padahal kalau ditelusuri kasusnya, bukankah ada undang-undang yang membolehkan warga negara asing mempunyai e-KTP karena memenuhi persyaratan dan memungkinkan hal itu terjadi? Ini berarti kalau ada anggota parlemen yang mengecam pemberian e-KTP kepada orang asing, dia tidak tahu ada undang-undang yang membolehkan itu. Bagaimana mungkin anggota DPR tak tahu undang-undang karena membahas dan mengesahkan undang-undang dilakukan oleh lembaga DPR? Jangan-jangan ini disebabkan malasnya anggota DPR bersidang bahkan absen dalam rapat paripurna ketika undang-undang itu disahkan.

Komisi Pemilihan Umum dari pusat sampai ke daerah perlu juga instrospeksi. Kalau tahu warga negara asing boleh punya e-KTP harusnya jelas membuat aturan bahwa pemegang e-KTP tetap boleh mencoblos asalkan warga negara Indonesia, meski tak terdaftar. Yang warga negara asing tidak boleh apalagi masuk daftar pemilih tetap. Peraturan Komisi Pemilihan Umum tak merinci hal itu. Pada pemilihan kepala daerah tahun lalu, ada warga negara asing pemegang e-KTP yang datang mencoblos. Dikhawatirkan pada pemilu serentak 17 April nanti, warganegara asing yang punya e-KTP datang ke tempat pemungutan suara dan berhasil mencoblos karena petugas tak teliti – mungkin juga tak paham. Bahwa calon mana yang diuntungkan tentu saja sulit diketahui.

Siapa tahu saat perenungan di hari “nyepi politik” ini kita mempertanyakan kembali, kenapa warga negara asing boleh mendapat e-KTP yang sama blankonya, hanya kewarganegaraan dan masa berlaku yang berbeda. Lalu apa makna kata “penduduk” itu, apakah itu tidak mengacu kepada kewarganegaraan di mana kartu identitasnya diterbitkan?

Ini hanya salah satu topik instrospeksi dalam “nyepi politik”. Tentu banyak hal yang bisa kita renungkan lagi untuk masa depan bangsa. Situasi ini sudah panas membara. Apakah perseteruan dua kubu yang semakin meruncing – dan banyak hal tak bernalar – bisa dingin usai pencoblosan? Tentu itu yang diharapkan meski banyak yang khawatir kegerahan ini akan lama berakhir.

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 9 Maret 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar