Sabtu, 16 Mei 2020

Kaget

Putu Setia | @mpujayaprema

 

Dalam hal membuat masyarakat kaget, pemerintah semakin mahir. Di tengah-tengah orang sibuk mengurusi pandemi Covid-19, Joko Widodo meneken peraturan presiden yang menaikkan kembali iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Berbusa-busa pun pemerintah menjelaskan bahwa kenaikan iuran itu sudah dikaji dengan matang, tetap saja menunai kritik.

 

Rakyat tak boleh berlama-lama gembira. Baru saja sejumlah orang bersyukur ketika tahu tagihan iuran BPJS ternyata nihil di pembayaran bulan Mei ini. Itu terjadi karena kelebihan membayar di bulan April akibat dibatalkannya kenaikan iuran BPJS oleh Mahkamah Agung. MA membatalkan kenaikan iuran yang seharusnya terhitung Januari 2020 tetapi BPJS tetap menarik iuran yang sudah naik sampai bulan April. Karena banyak yang protes kenapa pemerintah tak patuh pada hukum, lalu diumumkan iuran April dianggap kelebihan dan dipakai untuk pembayaran bulan Mei.

 

“Alhamdulilah, ada bekal untuk ikut imbauan pemerintah tinggal di rumah saja. Anak-anak butuh paket data karena belajar di rumah dengan internet. Bapaknya anak-anak sudah berhenti bekerja, tak punya penghasilan apa-apa. Kami tak terdaftar dapat bantuan sembako, padahal juga terdampak corona,” kata seorang ibu. Dia gembira setelah kasir di pasar swalayan tempat dia membayar BPJS memberitahu tagihannya lunas. “Pak Jokowi sangat memperhatikan rakyat,” katanya lagi.

 

https://youtu.be/riA_l5AzGe0

Sore kemarin, ibu dua anak itu, mengirim pesan lewat WatsApp. “Ini gila. Benar-benar gila.” Tak ada huruf apa-apa lagi. Tapi dia mengirim tautan berita soal kenaikan iuran BPJS. Saya tak bisa membayangkan betapa si ibu ini kecewa, meski saya yakin kata “gila” tidak dia tujukan kepada siapa pun, kecuali hanya mengumpat keadaan. Saya mencoba menjelaskan bahwa pemerintah menghadapi masalah pelik soal keuangan. MA pun cuma meminta peraturan presiden yang menaikkan iuran BPJS dicabut. Tentu mudah sekali mencabutnya dan kemudian membuat peraturan yang baru. Tak perlu persetujuan DPR seperti membuat undang-undang. Kemudian saya katakan, pemerintah sudah mematuhi keputusan MA meski molor tiga bulan. Dan kini dengan peraturan presiden yang baru, iuran BPJS kembali dinaikkan. “Sabar saja ibu, kan naiknya kali ini tidak persis seratus persen,” balas saya.

 

Tak ada jawaban. Pasti ibu itu mengira saya hanya menyindir pemerintah yang seenaknya mempermainkan nasib rakyat. Atau dia memang sabar, sebagaimana umumnya warga negeri ini yang terpaksa sabar. Mau apa lagi? Protes lewat demo berjilid-jilid? Mana bisa, itu melanggar imbauan pemerintah untuk tidak berkerumun. Lagi pula di daerah yang melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, kerumunan orang dilarang, kecuali untuk merayakan penutupan kedai siap saji di gedung Sarinah, Jakarta.

 

Tak cuma pemerintah yang memanfaatkan pandemi corona ini untuk membuat keputusan yang kontroversial. Juga wakil rakyat di Senayan. DPR baru saja mengesahkan Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ini revisi dari undang-undang sebelumnya. Namun karena revisi hanya menguntungkan segelintir pengusaha, rakyat memprotesnya lewat demo dan batal dibahas sejak tahun lalu. Tiba-tiba kini disahkan. Bagaimana rakyat melawan dalam situasi fokus menghadapi pandemi corona?

 

Leluhur kita, lewat cerita rakyat, suka memberi petuah. Janganlah membuat keputusan yang membebankan rakyat di saat rakyat tertimpa bencana. Itu namanya tak punya empati. Kemarahan rakyat hanya tertunda dan bisa meledak di saat bencana berlalu. Jika itu terjadi, jangan kaget.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar