Minggu, 24 Mei 2020

Memahami Sarasamuscaya (Seri 8) : Weda Sumber Ajaran Dharma

Om Swastyastu. Sahabat yang baik. Umat sedharma yang berbahagia. Sekarang saya sampai pada tema Sumber Dharma dari kitab Sarasamuscaya himpunan Bagawan Wararuci ini. Tema ini dimulai pada sloka ke 37 sampai sloka ke 40 dan saya tuntaskan dalam satu seri 8 ini. Baiklah saya langsung saja bacakan sloka ke 37.

Yang ujarakena sakareng, sruti ngaranya sang hyang catur weda, sang hyang dharmasastra smerti ngaranya. Sang hyang sruti lawan sang hyang smerti, sira juga pramanakena, tutakena warawarah nira, ring asing prayojana, yawat mangkana paripurna alep sang hyang dharma prawerti.

Jika ingin mengetahui ajaran kebenaran, pahamilah secara cerdas wahyu Tuhan yaitu sruti berupa keempat kitab Weda dan kemudian pelajari tafsir dan ulasannya yang berupa smerti yang disebut juga dharma sastra. Sruti dan smerti itulah yang harus dipelajari dan jika itu dilakukan maka sempurnalah perbuatan kita yang berlandaskan pada dharma.


https://youtu.be/tplVpP2JXTk

Sahabat yang baik. Kita mengenal ada kitab sruti yang merupakan wahyu Tuhan yang langsung diterima para Maharsi. Sruti ini hanya ada empat yang disebut dengan Catur Weda. Rinciannya adalah Rgweda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda. Sedangkan smerti itu ada banyak, bukan wahyu Tuhan, tetapi ada yang berupa penafsiran dari Weda, ada pula cerita-cerita yang terinspirasi dari kitab suci Weda. Purana yang berisi cerita-cerita para dewa, Itihasa yang berisi cerita tentang kepahlawanan dalam menegakkan dharma, juga termasuk dalam smerti. Tentu akan sulit sekali kalau memahami semuanya, bahkan untuk membaca semuanya juga sangat mustahil.

Lagi pula kitab Weda membagi peruntukan untuk masing-masing profesi atau fungsi dalam kehidupan seseorang. Bagi seorang pendeta dan seseorang yang menekuni teknik pengobatan berdasarkan Weda, misalnya, tentu lain fokus perhatiannya dan apa yang dibacanya. Bahkan para leluhur kita di masa lalu memberikan cara untuk mempelajari Weda yakni dengan membaca terlebih dahulu Itiasa, cerita tentang kepahlawanan dalam membela dharma. Dua sastra yang termasuk Itiasa yang terkenal adalah Ramayana dan Mahabharata.

Dengan menjadikan kitab itu sebagai sesuluh dalam berprilaku maka setidaknya kita sudah melaksanakan apa yang diajarkan di dalam kitab Weda. Apalagi di dalam kitab Itiasa Mahabharata terselip dialog spiritual mahatinggi antara Kresna dan Arjuna yang disebut sebagai nyanyian suci atau Bhagawad Gita. Para leluhur kita sampai menjuluki kitab Bhagawad Gita itu sebagai Pancamo Weda artinya Weda yang kelima. Ini menunjukkan betapa pentingnya umat mempelajari dan membaca Bhagawad Gita itu sendiri sebelum fokus kepada Catur Weda.

Nah semua tafsir, ulasan, pembahasan dan intisari yang tertuang dalam smerti ini, jika dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari maka kita sudah dituntun dalam kehidupan yang berlandaskan kebajikan.

Mari saya lanjutkan ke sloka 38.

Apan sang hyang Weda ngaranira, sira sangkaning catur warna sira tumingkah utpattinya, teka ring acaranya, sowangsowang mangkanang rat, mangkanang catur asrama, catur asrama ngaran sang brahmacari, grahasta, wanaprasta, bhiksuka, wastu huwus dadi, wastu sedenghana, wastu yangken dadya kuneng, ika ta kabeh, Sang Hyang Weda sangkanika.

Adapun Weda itu mengatur seluruh perilaku umat manusia apa pun tingkatan sosialnya sesuai dengan catur asrama. Catur asrama itu adalah brahmacari, grahasta, wanaprasta dan bhiksuka. Weda menjadi petunjuk bagi semua umat dengan lapisan sosial kehidupannya itu, membuat manusia hidup damai dan sejahtra. Segala apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan akan terjadi semuanya itu sudah diatur dalam ajaran Weda.

Sloka ini menguraikan sesuatu yang sangat dalam dan harus mendapat penjelasan yang baik. Catur warna yang dimaksudkan di sini adalah tahap-tahap kehidupan, bukan catur warna dalam pengertian fungsi sosial atau profesi seseorang dalam kehidupan di dunia. Karena itu dalam sloka ini jelas diuraikan apa yang dimaksud dengan catur warna itu, tak lain adalah catur asrama, tahap kehidupan dalam kelahiran yang normal.

Yaitu ada masa brahmacari, artinya saat usia kanak-kanak sampai remaja sebelum menikah. Ini adalah masa-masa belajar, menuntut ilmu, segala ilmu. Lalu setelah hidup berumah tangga disebut masa grahasta, membina keluarga yang sukinah, keluarga yang harmonis. Setelah sukses membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, anak-anak sudah besar dan punya pekerjaan yang mapan, maka mulai melepaskan diri untuk mencari nafkah secara bertahap menuju alam kerohanian, menekuni lebih dalam ajaran agama. Inidisebut wanaprasta.

Wana atau hutan dalam istilah wanaprasta ini adalah simbol belajar ke alam dengan lebih tekun. Hutan adalah simbol sumber pengetahuan. Kata wana atau hutan juga dimaksudkan untuk berangsur-angsur ke alam sunyi.

Nah, jika itu berhasil dan diberi usia panjang dan sehat maka tahap terakhir adalah menjadi bhiksuka, bebas dari keterikatan dunia. Misalnya menjadi seorang pendeta atau sanyasin, yang dipakai dalam sloka ini adalah biksu. Adapun catur warna dalam arti empat fungsi sosial di masyarakat akan dijelaskan dalam sloka lain yang lebih lengkap.

Semua tahapan catur asrama ini diatur dan dijelaskan dalam kitab Weda, begitu sempurnanya kitab Weda bagaikan apa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang dan akan datang sudah diatur dalam Weda. Karena itulah para cendekiawan menyebutkan Weda sangat relevan untuk semua zaman.

Mari lanjutkan ke sloka 39.

Ndan sang hyang Weda, paripurnakena sira, makasadhana sang hyang ithiasa, sang hyang purana, apan atakut, sang hyang Weda ring akedik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umara ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut.

Weda sebagai wahyu Tuhan hendaknya dipelajari dengan benar, dengan jalan mempelajari terlebih dahulu tafsir-tafsirnya, ithiasa dan purana. Sebab Wahyu Tuhan sungguh sulit jika dipelajari oleh mereka yang memiliki kedangkalan pemahaman dan sedikit pengetahuan. Sebab bagi mereka yang sedikit pengetahuan, wahyu Tuhan hanya akan dijadikan pembenar dan seolah berkata: duhai kamu, jangan dekati saya.

Nah, seperti yang saya bahas tadi, Weda itu harus dipelajari dengan benar. Caranya adalah agar kita mempelajari atau membaca dulu kitab ithiasa dan purana supaya punya bekal pengetahuan untuk membahas Weda. Jangan dekati Weda tanpa bekal ilmu sama sekali. Karena Weda itu berupa syair-syair yang ribuan jumlahnya dan sangat sulit mempraktekkan dalam kehidupan kalau kita tidak berbekal pada contoh-contoh yang sudah disajikan dalam Ithiasa dan purana.

Mari kita lanjutkan dengan sloka 40, sloka terakhir dalam tema Sumber Dharma ini.

Kunang kengetakena, sasing kajar de dsang hyang sruti dharma ngaranika, sakajar de sang hyang smerti kuneng dharma ta ngaranika, sistacara kunang, acaranika sang sista, dharma ta ngaranika, sistangaran sang hyang satyawadi, sang apta, sang patirthan, sang penadahan upadesa, sangkepa ika katiga, dharma ngaranira.                                     

Yang patut dicamkan secara mendalam adalah kebenaran universal dalam wahyu Tuhan dalam sruti dan kebenaran universal dalam smerti adalah sama-sama disebut dharma. Semuanya adalah pedoman untuk berlaku jujur, membuat orang dapat dipercaya, tempat orang menyucikan diri, tempat di mana orang mendapatkan tuntunan atau petunjuk. Ketiga hal itu, sruti, smerti dan prilaku adalah dharma juga namanya.

Nah di sloka ini disebutkan, dari sudut ajaran kebenaran, semua kitab Weda yang merupakan sruti atau wahyu dan kitab2 smerti yang berupa tafsir dan pembahasannya, semuanya bernilai sama, dalam koridor dharma. Mempelajari kitab itu kita akan menjadi orang yang jujur dan berkata selalu benar atau dalam sloka ini disebut satyawadi. Kita juga menjadi orang yang bisa dipercaya atau sang apta. Kita yang telah mempelajari Weda dengan benar juga akan menjadi orang suci atau orang yang memberikan kesucian pada orang lain, disebut sang patirthan. Dan akhirnya kita akan menjadi orang yang menuntun umat lain yang masih belum menguasai Weda serta memberi petunjuk-petunjuknya.

Empat kekuatan yang disebut setelah mempelajari Weda ini, yakni satyawadi, sang apta, sang pathirtan dan sang penadahan upadesa, kini dijadikan syarat dasar bagi mereka yang ingin meneruskan tahapan biksuka, menjadi pendeta. Itu artinya bahwa pendeta yang ideal seharusnya sudah memahami apa isi Weda itu sendiri, apalagi hampir semua mantram yang dilontarkan para pendeta bersumber dari sloka2 Weda juga.

Nah sahabat yang baik, umat sedharma. Tema tentang Sumber Dharma ini sudah selesai di sloka ke 40. Kita jeda sejenak dan nanti kita akan memasuki tema baru yaitu  Bagaimana Pelaksanaan Dharma itu. Sampau jumpa, rahayu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar