Minggu, 10 Mei 2020

Memahami Sarasamuscaya (Seri 6): Hidup di Jalan Dharma

Om Swastyastu. Sahabat yang baik. Umat sedharma yang berbahagia. Pada seri ke 6 ini kita masih membahas masalah dharma, hubungan prilaku baik dalam kehidupan dengan pahala yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan ini mau pun kehidupan mendatang. Kita sampai pada sloka ke 26 dari kitab Sarasamuscaya ini. Begini bunyinya.

 Yan wruha ketikang wwang an niranta anginte manunggang ri mastakanya ikang mretyu, yaya tan hyunanya mangana tuwi, nguninguni magawayaning adharma.

 Mereka yang sadar bahwa maut dan kematian selalu mengintai hidupnya, tentunya mereka tidak akan rakus dengan harta dan kesenangan, apalagi perbuatan-perbuatan jahat yang menyimpang dari kebajikan dan kebenaran.

Sloka ini menekankan pada kesadaran bahwa orang hidup sudah pasti akan mati. Ada 4 bekal kehidupan di dunia ini yang disebut dengan suka duka lara pati. Sedang, sedih, sakit dan mati. Ini tak bisa dihindari. Hanya orang yang sadar bahwa kematian itu pasti terjadi, maka mereka akan selalu menghindari sifat rakus dan perbuatan yang buruk, sehingga saat kematian itu tiba tidak terlalu menimbun keburukan. Eling, itulah ajaran yang diwariskan para leleluhur kita. Saya lanjutkan sloka ke 27.

Matangnya deyaning  wwang, pengponganikang kayowanan, panedeng ring awak, sadhana kena ri karjananing dharma, artha, jnana, kunang apan tan pada kasaktining atuha lawan rare, drstanta nahan yangalalang atuha, telas rumepa, marin alandep ika.

Bagaikan keberadaan ilalang muda yang tajam, akan tidak tajam lagi di masa tuanya. Demikianlah hendaknya kebajikan, kebenaran, harta dan ilmu pengetahuan itu dikejar sedini mengkin, pada masa muda yang sehat.


https://youtu.be/2rBDqPk4esI

Usia seseorang tidaklah mudah untuk dipastikan. Namun suatu hal yang pasti, pada saat usia kita muda pasti lebih sehat, lebih bersemangat dan lebih tahan pada tantangan hidup. Nah, pergunakan waktu itu untuk mencari ilmu pengetahuan, mencari harta, dan tentunya semua yang dicari itu dalam koridor kebajikan dan kebenaran. Kalau kita sia-siakan kesempatan itu, di masa tua bisa jadi kita menyesal karena keadaan phisik kita tak sekuat di masa muda, bagaikan ilalang di saat muda sangat tajam dan di saat tua mudah roboh ditiup angin. Saya lanjutkan seloka ke 28.

Lawan ta waneh, ikang upasaman, rare ktikang sinanggah upasama, apa yating upasama, yan ketekang tuha, ri ksayaning dhatu ngke ring sarira, nang wata, pitta, slema.

Masa muda adalah waktu yang terbaik untuk mempelajari hakekat dari kebajikan/kebenaran, usaha memproleh harta dan pengejaran terhadap ilmu pengetahuan.

 Sloka ini hanya menjelaskan kembali sloka sebelumnya dengan penekanan pada waktu muda yang tak boleh disia-siakan. Upasama dalam sloka ini berarti masa-masa muda atau saat keremajaan. Karena di masa tua disebutkan segala tenaga di dalam tubuh akan berkurang, mengendor semua urat-urat yang ada. Mari lanjutkan ke sloka 29.

 Nihan parikramaning dadi, kayowanan, anggeh, inantining kararayan, ikang kayowanan, si tuha, anggeh inantinika, katemu pwa si tuha, haneng kisapwaning mrtyu ta ngaranika, aparan tikang anggeh inantinya, nghing sipati juga, matangnyan usonakena kagawayaning dharmaprawriti.

Adapun keadaan menjadi manusia, masa muda adalah pengganti masa bayi. Lalu masa muda digantikan oleh masa tua. Jika sudah bertemu dengan masa tua, tidak ada lagi penggantinya karena kematianlah sebagai pengganti. Karena itu sadarilah untuk berbuat kebajikan di jalan dharma di dalam sepanjang hidup ini.

 Sloka ini hanya memperjelas bahwa kehidupan itu ada masa-masanya. Masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa tua. Masa tua berakhir dengan kematian. Jadi tidak bisa dibalik kembali. Yang mau disampaikan di sini adalah kita tak bisa membalik waktu ke masa lalu, kita tak bisa menyesali kehidupan sebelumnya apalagi mau mengulangnya. Kesalahan di masa muda yang kita sadari setelah tua tak bisa diperbaiki kembali. Karena itu sejak awallah kita hidup dalam suasana kebajikan dan perbuatan yang baik. Saya lanjutkan sloka ke 30.

Apan sang hyang mretyu ngaranira, sarwa wyadhi pinakasarathinira, nimittaning hurip ksaya, ksaya pwang hurip, teka tang pati, matangnya haywa pramada, usonakena jugang subhakarma, tumuntunakena kita ring paran.

 Panjangnya hidup manusia harus dikurangi masa sakit, di mana saat itu manusia tidak kuasa melakukan aktifitas apapun, sakit pasti mempercepat datangnya kematian. Mengetahui itu manusia harus segera dan mempercepat saja pelaksanaan bajik dan benar dalam hidupnya.

 Banyak orang menyebutkan, sakit adalah masa-masa istirahat dari pekerjaan dan segala aktifitas. Itu ada benarnya jika dilihat dari tak ada yang bisa dikerjakan selama kita sakit. Tetapi yang pasti, masa-masa sakit itu mengurangi volume kehidupan manusia, mengurangi perbuatan kita dalam hidup ini, termasuk perbuatan yang baik. Karena itulah di saat kita tidak sakit, saat kita bugar, mari percepat dan memperbanyak perbuatan yang baik. Jangan kita bermalas diri pada saat kita segar bugar. Saya lanjutkan sloka ke 31.

 Matangnyan pengpongan wenangta, mangken rare ta pwa kitan lekasakena agawe dharmasadhana, apan anitya iking hurif, syapa kari wruha ri tekaning pati, syapa mangwruhana ri tekaning patinya wih.

 Karena itu pergunakankah sebaik mungkin kemampuan yang ada  pada saat masih muda untuk melaksanakan ajaran dharma. Karena kematian tidak bisa di prediksi kedatangannya, pun tidak ada yang memberi tahu kapan datangnya.

 Sloka ini memperjelas kembali misteri soal kematian yang tak bisa diduga itu karena semua ini adalah kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa, beliau sang pencipta yang punya wewenang untuk mencabut ciptaannya. Karena kita tak tahu kapan waktunya umur berakhir maka selalulah kita melakukan perbuatan yang baik dan benar.

Kita berhenti sesaat di sloka ini dan selanjutnya kita akan bertemu dengan sloka2 yang menguraikan apa yang kita tinggalkan setelah kematian tiba. Sampai jumpa, semoga ada manfaatnya. Rahayu. Om Shanti3.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar