Mpu Jaya Prema
HIDUP ini memang perlu diatur. Apalagi hidup
bermasyarakat yang tentu saja banyak sekali hal-hal yang harus disesuaikan
karena perbedaan kepentingan. Karena itu perlu ada aturan main untuk
menyesuaikan irama kehidupan itu agar tidak saling bertabrakan. Kita tidak bisa
berjalan sendiri apa mau kita karena di sekitar kita masih banyak orang lain
yang juga punya kemauan sendiri.
Di tingkat nasional dalam kehidupan berbangsa, aturan
itu bisa berupa undang-undang. Lalu yang lebih menjabarkan rinciannya bisa
berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden dan berlanjut mungkin dengan
peraturan gubernur dan seterusnya. Namun jika aturan itu terlalu banyak,
apalagi tumpang tindih antara satu dan lainnya, bisa menimbulkan
ketidak-harmonisan. Apalagi kalau saling bertentangan maka yang terjadi adalah
kebingungan, aturan mana yang harus dijadikan pedoman. Belum lagi masalah
pelaksanaan di lapangan.
Contoh terbaru dalam masalah aturan yang berupa undang-undang,
misalnya, ada rencana membuat undang-undang yang mengatur masalah musik dan
kehidupan para musisi. Ini dikenal dengan Rancangan Undang-Undang tentang
Permusikan. RUU Permusikan ini sudah menjadi prioritas kerja DPR di tahun
sidang 2019.
Penggagas RUU Permusikan ini adalah Anang Hermansyah, politisi
Partai Amanat Nasional yang kini duduk di Komisi X DPR membidangi masalah
pendidikan, agama dan kebudayaan. Maksud Anang tentu saja baik. Sebagai
penyanyi yang malang melintang di dunia hiburan, ia heran melihat musisi luar
negeri yang begitu karya kalau ciptaannya meledak di pasaran. Sementara
penyanyi di dalam negeri tak bisa sekaya itu meski pun ciptaannya berhasil
sukses. Belum lagi karya-karya mereka dibajak seenaknya dan lagu mereka
dinyanyikan sembarang orang di hotel-hotel besar. Karena itu Anang dan
kawan-kawannya di DPR merasa perlu membuat aturan main untuk tujuan
kesejahtraan musisi. Caranya membuat RUU Permusikan itu.
Namun, apa yang terjadi ketika rancangan itu tersebar di
masyarakat untuk dibahas? Anang yang bergerak diam-diam untuk menyusun
rancangan undang-undang itu dan bahkan tak merasa perlu melibatkan pemusik,
mulai dikritik. Rancangan itu dianggap mengada-ada. Kenapa harus membuat
undang-undang tersendiri jika hanya bertujuan untuk itu? Bagaimana dengan seniman lainnya seperti dunia
sastra, teater, seni rupa, pedalangan dan seterusnya? Apakah nasib sastrawan
dan dramawan itu tak ikut diperhatikan? Apakah semua masalah bisa diatur dan
diselesaikan hanya dengan undang-undang, tidak adakah cara lain?
Masalah yang lebih penting adalah bukankah undang-undang yang
mengatur musisi itu sudah ada dan kalau dirasakan kurang kenapa undang-undang
yang sudah ada itu saja direvisi? Ada beberapa undang-undang yang bisa
dikaitkan dengan kepentingan para pemusik jika yang dimaksudkan untuk
mengangkat harkat dan kesejahtraan
musisi. Ada Undang-Undang tentang Hak Cipta yang di dalamnya juga mengatur
masalah royalti, pembajakan, dan seterusnya. Bahkan ada Yayasan Hak
Cipta yang memungut royalti di setiap acara hiburan ketika sebuah lagu
dinyanyikan, kenapa hal itu tidak diteruskan. Ada UU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya
Rekam yang membuat para pembajak seharusnya jera jika undang-undang itu
diterapkan dengan baik. Ada UU Pemajuan Kebudayaan yang juga mengatur bagaimana
musik tradisi harus dikembangkan. RUU Permusikan tidak perlu lagi dan tinggal
menambahkan pasal-pasal dari undang-undang yang ada.
Justru RUU Permusikan ini menjadi hambatan para
seniman untuk berkarya karena banyak sekali hal-hal yang diatur. Misalnya,
musisi itu harus mendapat sertifikat dan harus lulus kompetensi sebagai musisi.
Tentu nanti akan ada lembaga yang mengurusi masalah itu. Lantas musisi kelas
apa yang duduk di lembaga itu?
Soal pertunjukan pun diatur. Musik tradisional harus
diberi tempat di hotel-hotel. Bagaimana kalau di lokasi hotel itu tak ada musik
tradisi yang layak pentas, apa harus dipaksakan? Pergelaran yang mendatangkan
grup musik dari luar negeri harus didampingi oleh grup musik lokal. Bagaimana
kalau aliran musiknya tidak cocok atau grup luar negeri itu tak bersedia tampil
bareng? Pokoknya bermacam hal yang diatur justru dianggap tidak bisa dijalankan
karena itu seniman musik ramai-ramai menolak RUU Permusikan ini.
Dalam semangat yang sama namun kasusnya beda, di Bali pernah
ada aturan yang mewajibkan grup seni harus mendapatkan piagam jika pentas di
hotel. Pihak hotel harus mendatangkan grup kesenian Bali yang sudah mendapatkan
piagam atau sertifikat itu. Yang mengeluarkan piagam adalah Listibiya (Majelis
Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Bali. Yang terjadi kemudian adalah
munculnya calo-calo untuk pentas kesenian Bali di hotel, ditambah lagi sulitnya
untuk mendapatkan piagam dari Listibiya. Pihak hotel pun menambah anggaran
untuk kasus ini padahal pertunjukan seni itu tidak selamanya dimaksudkan
sebagai “pentas seni khusus” yang mengandalkan mutu. Banyak yang hanya sekedar
meramaikan pesta dan pentas seni untuk pengiring acara makan-makan atau
lainnya. Lama-lama pihak hotel menyiasati dengan membentuk grup seni di kalangan
karyawannya saja. Artinya, pihak hotel tidak menanggap grup seni luar sehingga
bebas dari kewajiban mencari grup yang punya sertifikat. Ini contoh aturan yang
bisa dipermainkan di lapangan.
Peraturan
dibuat, apakah itu undang-undang atau peraturan yang di bawahnya, seharusnya
bisa membuat orang atau masyarakat lebih tertib. Bukannya peraturan dibuat
untuk dilanggar seperti yang umum terjadi belakangan ini. Kalau itu terjadi
maka yang salah adalah pembuat aturan itu karena tidak melihat dampak yang
terjadi ketika aturan itu dijalankan. Atau kalau dampaknya sudah
diperhitungkan, pengawasan di lapangan yang tidak berjalan baik, sehingga
aturan itu tak ada artinya. Banyak sekali contoh-contoh soal ini.
Aturan lalu
lintas, bahkan sudah ada undang-undangnya, yang menyebut sepeda motor harus
berjalan di kiri, siapa yang menaati sekarang? Semua sepeda motor seenaknya dan
bahkan menyalip mobil dari kanan. Tak ada pengawasan, yang ada hanyalah imbauan
berupa tulisan.
Peraturan
Gubernur Bali, misalnya, penggunaan plastik bagaimana pengawasannya? Hanya
efektif di pasar-pasar moderen. Di pasar tradisional, apalagi di pedagang
pinggir jalan, semuanya tetap menggunakan plastik. Kalau tak diberi plastik
yang belanja batal. Jadi yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengawasan, bukan
sekadar membuat aturan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar