Senin, 04 Februari 2019

Damai Bersama Imlek

Mpu Jaya Prema
BESOK, 5 Februari 2019, umat Konghucu merayakan Tahun Baru Imlek. Seperti biasa, klenteng dan vihara akan ramai dengan atraksi barongsay. Lampion pun menghias klenteng dan rumah-rumah keluarga Tionghoa yang merayakan Imlek. Tapi bisa jadi tidak sehebat tahun-tahun lalu, karena di tahun politik ini orang masih sibuk dengan kampanye. Baliho di jalan-jalan barangkali lebih banyak dibandingkan lampion.

Menjelang Imlek juga tak ada pertanyaan yang muncul, apakah umat yang tak merayakan boleh mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek. Beda kalau Natal, misalnya, ada pro kontra boleh tidak umat non-Kristiani mengucapkan selamat Natal. Padahal jawaban formalnya sudah diketahui, tidak ada yang melarang. Banyak kiai yang mengucapkan selamat Natal.

Rupanya polemik tentang Hari Raya Imlek sudah lama selesai. Dulu perdebatannya adalah apakah Imlek itu hari raya keagamaan atau perayaan yang bersifat budaya. Kalau perayaan agama, lalu umat beragama apa yang merayakannya?

Imlek itu adalah perayaan Tahun Baru Cina. Ini penanggalan yang menggunakan peredaran bulan yang disesuaikan dengan peredaran matahari. Sama dengan kalender Saka yang dipakai di Bali, peredaran bulan dan matahari disesuaikan secara berkala. Dalam kalender Saka di Bali, pada suatu waktu – umumnya setelah 3 tahun – ada bulan (sasih) yang dobel sehingga disebut “nampi sasih”. Demikian pula pada kalender yang dipakai warga Tionghoa. Itu sebabnya Tahun Baru Imlek selalu jatuh di  bulan Januari sampai Februari jika dilihat dari kalender Masehi. Seperti halnya tahun baru Saka yang disebut Nyepi, jatuhnya di bulan Maret sampai awal April. Berbeda dengan tahun baru Hijrah yang hanya mempergunakan peredaran bulan, sehingga setiap tahun Idul Fitri pasti selalu maju jika dibandingkan dengan penanggalan Masehi yang berdasarkan peredaran matahari.

Presiden Sukarno pada 1946, saat negeri ini berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengeluarkan keputusan tentang hari raya keagamaan yang bisa dirayakan di negeri ini. Salah satu yang disebutkan adalah Imlek, cuma di sana  disebutkan  “Imlek adalah hari keagamaan warga Tionghoa”.

Di masa Presiden Soeharto hal itu dikoreksi. Agama itu harus jelas. Setelah tragedi G-30-S PKI banyak warga Tionghoa yang tersudutkan. Soeharto lewat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 kemudian melarang segala budaya yang berbau Tionghoa, di antaranya perayaan Imlek itu sendiri dan Cap Go Meh. Juga disertai berbagai kesulitan bagi warga negara etnis Tionghoa dalam berbagai masalah. Ini berlangsung bertahun-tahun bahkan kemudian dengan otoriternya Orde Baru sampai-sampai Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran pada 11 Januari 1993 yang menyatakan Imlek bukanlah hari raya agama Buddha, sehingga vihara diminta tidak merayakan Tahun Baru Imlek.

Soeharto jatuh dan reformasi bergulir. Ketika Abdurahman Wahid yang disapa akrab Gus Dur menjadi presiden menggantikan BJ Habibie, Gus Dur melakukan hal luar biasa bagi umat Tionghoa. Gus Dur mencabut semua peraturan itu, termasuk Inpres No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara agama seperti Imlek secara terbuka. Bahkan yang disebut agama tak lagi cuma Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, yang punya “perwakilan” di Departemen Agama.

Maka sebagian warga Tionghoa memperkenalkan agama yang sudah lama dianutnya, Konghucu. Mereka pun membentuk majelis yang dinamai Majelis Konghucu Indonesia (Matakin). Mereka tak peduli agamanya tidak mempunyai dirjen bimas di Departemen Agama. Ini hebatnya Gus Dur, tak ada lagi seolah-olah ada agama yang diakui pemerintah dan agama yang tak diakui pemerintah. Semua agama diakui, bahwa tak punya dirjen di Departemen Agama itu hanya menyangkut masalah pembinaan.
Dan Tahun Baru Imlek dirayakan di masa Gus Dur itu. Ketika Megawati menggantikan Gus Dur, pada tahun 2003 Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Maka tak ada yang merayakan Imlek secara sembunyi, barongsay berkibar di mana-mana.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari sini? Pemerintah seharusnya tak perlu mencampuri masalah keyakinan penduduknya sepanjang agama yang dipeluk masyarakat itu berkembang dan membawa kesejukan. Janganlah risau dengan agama yang dipenuhi pernik-pernik budaya Nusantara. Perayaan Imlek sangat dekat dengan budaya Nusantara, meski pun itu bermula dari luar negeri, dalam hal ini Tiongkok. Budaya itu sudah diadopsi oleh para leluhur kita di masa lalu. Tak selalu budaya itu harus diberi label agama yang sudah ada, apalagi kalau dipaksakan.

Umat Konghucu punya ritual tersendiri yang tentu saja berbeda dengan ritual agama Buddha. Hari rayanya saja beda, umat Budha merayakan Waisak sebagai hari di mana Sidharta Gautama memperoleh pencerahan. Sedangkan Konghucu punya tahun baru selain merayakan hari lahir Nabi Khong Hu Cu. Bahwa ada banyak hal saling mempengaruhi tentu hal yang biasa sebagai warga dunia.
Dengan budaya Bali saja banyak saling mempengaruhi. Beberapa pura di Bali punya tempat pemujaan agama Konghucu yang sampai sekarang ini tetap berfungsi. Misalnya di Pura Dalem Balingkang dan Pura Ulun Danu Batur di Kabupaten Bangli. Juga di kawasan Pura Tanah Kilap Denpasar.
Klenteng di Tanah Kilap itu dinamai Griya Kongco Dwipayana dengan pemimpin ritualnya disebut pemangku. Hanya dewanya saja memberi kesan itu bukan ritual Hindu Bali. Karena nama dewa-dewa di klenteng itu adalah Dewa Kwankong, Dewa Laut, Ratu Syahbandar, Sam Po Kong, Dewa Naca dan banyak lagi.
Pelajaran lain bagi pemerintah dari perjalanan Imlek ini adalah negara punya kewajiban mengayomi warganya, namun jangan masuk ke masalah akidah dengan dalih pembinaan. Biarkan mereka berkembang dalam kemajemukan.

Belakangan ini ada tanda-tanda kalau agama kembali diseret-seret ke politik dan mulai ada gesekan yang dikaitkan dengan bentuk negara. Mari kita jaga marwah agama dan sudah terbukti betapa indahnya keberagaman Indonesia dengan agama dan budayanya yang majemuk. Untuk sahabat Tionghoa, selamat Tahun Baru Imlek 2570, Gong Xi Fa Cay. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar