Mpu Jaya Prema
BESOK, 5 Februari 2019, umat Konghucu merayakan Tahun
Baru Imlek. Seperti biasa, klenteng dan vihara akan ramai dengan atraksi
barongsay. Lampion pun menghias klenteng dan rumah-rumah keluarga Tionghoa yang
merayakan Imlek. Tapi bisa jadi tidak sehebat tahun-tahun lalu, karena di tahun
politik ini orang masih sibuk dengan kampanye. Baliho di jalan-jalan barangkali
lebih banyak dibandingkan lampion.
Menjelang Imlek juga tak ada
pertanyaan yang muncul, apakah umat yang tak merayakan boleh mengucapkan
selamat Tahun Baru Imlek. Beda kalau Natal, misalnya, ada pro kontra boleh
tidak umat non-Kristiani mengucapkan selamat Natal. Padahal jawaban formalnya
sudah diketahui, tidak ada yang melarang. Banyak kiai yang mengucapkan selamat
Natal.
Rupanya polemik tentang Hari Raya Imlek
sudah lama selesai. Dulu perdebatannya adalah apakah Imlek itu hari raya
keagamaan atau perayaan yang bersifat budaya. Kalau perayaan agama, lalu umat
beragama apa yang merayakannya?
Imlek itu adalah perayaan Tahun Baru
Cina. Ini penanggalan yang menggunakan peredaran bulan yang disesuaikan dengan
peredaran matahari. Sama dengan kalender Saka yang dipakai di Bali, peredaran
bulan dan matahari disesuaikan secara berkala. Dalam kalender Saka di Bali,
pada suatu waktu – umumnya setelah 3 tahun – ada bulan (sasih) yang dobel sehingga disebut “nampi sasih”. Demikian pula
pada kalender yang dipakai warga Tionghoa. Itu sebabnya Tahun Baru Imlek selalu
jatuh di bulan Januari sampai Februari
jika dilihat dari kalender Masehi. Seperti halnya tahun baru Saka yang disebut
Nyepi, jatuhnya di bulan Maret sampai awal April. Berbeda dengan tahun baru
Hijrah yang hanya mempergunakan peredaran bulan, sehingga setiap tahun Idul
Fitri pasti selalu maju jika dibandingkan dengan penanggalan Masehi yang
berdasarkan peredaran matahari.
Presiden Sukarno pada 1946, saat
negeri ini berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengeluarkan keputusan tentang
hari raya keagamaan yang bisa dirayakan di negeri ini. Salah satu yang
disebutkan adalah Imlek, cuma di sana disebutkan “Imlek adalah hari keagamaan warga Tionghoa”.
Di masa Presiden Soeharto hal itu
dikoreksi. Agama itu harus jelas. Setelah tragedi G-30-S PKI banyak warga
Tionghoa yang tersudutkan. Soeharto lewat Instruksi Presiden
Nomor 14 Tahun 1967 kemudian melarang segala budaya yang berbau Tionghoa, di
antaranya perayaan Imlek itu sendiri dan Cap Go Meh. Juga disertai berbagai
kesulitan bagi warga negara etnis Tionghoa dalam berbagai masalah. Ini
berlangsung bertahun-tahun bahkan kemudian dengan otoriternya Orde Baru
sampai-sampai Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat
Edaran pada 11 Januari 1993 yang menyatakan Imlek bukanlah hari raya agama
Buddha, sehingga vihara diminta tidak merayakan Tahun Baru Imlek.
Soeharto jatuh dan reformasi bergulir. Ketika
Abdurahman Wahid yang disapa akrab Gus Dur menjadi presiden menggantikan BJ
Habibie, Gus Dur melakukan hal luar biasa bagi umat Tionghoa. Gus Dur mencabut
semua peraturan itu, termasuk Inpres No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan
untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan
upacara agama seperti Imlek secara terbuka. Bahkan yang disebut agama tak lagi
cuma Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, yang punya “perwakilan” di
Departemen Agama.
Maka sebagian warga Tionghoa memperkenalkan agama
yang sudah lama dianutnya, Konghucu. Mereka pun membentuk majelis yang dinamai
Majelis Konghucu Indonesia (Matakin). Mereka tak peduli agamanya tidak
mempunyai dirjen bimas di Departemen Agama. Ini hebatnya Gus Dur, tak ada lagi
seolah-olah ada agama yang diakui pemerintah dan agama yang tak diakui
pemerintah. Semua agama diakui, bahwa tak punya dirjen di Departemen Agama itu
hanya menyangkut masalah pembinaan.
Dan Tahun Baru Imlek dirayakan di masa Gus Dur itu.
Ketika Megawati menggantikan Gus Dur, pada tahun 2003 Hari Raya Imlek
ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Maka tak ada yang merayakan
Imlek secara sembunyi, barongsay berkibar di mana-mana.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari sini?
Pemerintah seharusnya tak perlu mencampuri masalah keyakinan penduduknya
sepanjang agama yang dipeluk masyarakat itu berkembang dan membawa kesejukan.
Janganlah risau dengan agama yang dipenuhi pernik-pernik budaya Nusantara.
Perayaan Imlek sangat dekat dengan budaya Nusantara, meski pun itu bermula dari
luar negeri, dalam hal ini Tiongkok. Budaya itu sudah diadopsi oleh para
leluhur kita di masa lalu. Tak selalu budaya itu harus diberi label agama yang
sudah ada, apalagi kalau dipaksakan.
Umat Konghucu punya ritual tersendiri yang tentu saja berbeda dengan
ritual agama Buddha. Hari rayanya saja beda, umat Budha merayakan Waisak
sebagai hari di mana Sidharta Gautama memperoleh pencerahan. Sedangkan Konghucu
punya tahun baru selain merayakan hari lahir Nabi Khong Hu Cu. Bahwa ada banyak
hal saling mempengaruhi tentu hal yang biasa sebagai warga dunia.
Dengan budaya Bali saja banyak saling mempengaruhi. Beberapa pura di
Bali punya tempat pemujaan agama Konghucu yang sampai sekarang ini tetap
berfungsi. Misalnya di Pura Dalem Balingkang dan Pura Ulun Danu Batur di
Kabupaten Bangli. Juga di kawasan Pura Tanah Kilap Denpasar.
Klenteng di Tanah Kilap itu dinamai Griya Kongco Dwipayana dengan pemimpin
ritualnya disebut pemangku. Hanya dewanya saja memberi kesan itu bukan ritual
Hindu Bali. Karena nama dewa-dewa di klenteng itu adalah Dewa Kwankong, Dewa
Laut, Ratu Syahbandar, Sam Po Kong, Dewa Naca dan banyak lagi.
Pelajaran lain bagi pemerintah dari perjalanan Imlek
ini adalah negara punya kewajiban mengayomi warganya, namun jangan masuk ke
masalah akidah dengan dalih pembinaan. Biarkan mereka berkembang dalam
kemajemukan.
Belakangan ini ada tanda-tanda kalau agama kembali
diseret-seret ke politik dan mulai ada gesekan yang dikaitkan dengan bentuk
negara. Mari kita jaga marwah agama dan sudah terbukti betapa indahnya
keberagaman Indonesia dengan agama dan budayanya yang majemuk. Untuk sahabat
Tionghoa, selamat Tahun Baru Imlek 2570, Gong Xi Fa Cay. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar