Mpu Jaya Prema
REJANG Renteng kini sedang viral. Bukan saja di berbagai wilayah, baik
pedesaan mau pun perkotaan, juga viral di media sosial. Di kanal YouTube ada
puluhan video Rejang Renteng yang diunggah orang. Rejang Renteng juga
dibicarakan di forum-forum seminar mau pun workshop.
Ada yang menyoroti dari sisi apakah tarian ini sakral atau menjadi tari
wali ataukah tari profan yang hanya berupa hiburan saja. Ada pula yang menggali
sejarah dari mana asal tari ini bermula. Lalu disebut-sebut bahwa tari itu
muncul pertama di Nusa Penida.
Satu hal yang mungkin luput dari perhatian pengamat tari dan budayawan
adalah tari sejenis rejang ini berkembang di berbagai desa sejak dulu kala dan
menjadi bagian dari ritual di pura. Dan di setiap wilayah atau pedesaan cara
menarikannya juga tidak sama meski namanya sama yakni Rejang Renteng. Di
desa-desa tradisional seperti desa saya di Pujungan, Kabupaten Tabanan, tari
Rejang Renteng ini adalah tari wali yang harus diperagakan di setiap piodalan
di pura. Ini tari sakral dan bukan hiburan. Nama awalnya tentu saja Rejang
Renteng, namun untuk memudahkan orang menyebutnya maka dipakai kata Merenteng
yang dimaksudkan sebagai “mari melakukan rejang renteng”.
Di mana kesakralan Merenteng ini? Acaranya bermula dari pemangku selesai
melakukan ritual “nedunang bethara”. Setelah Ida Bethara “tedun” (atau turun
dari kahyangan), maka diadakan upacara penyucian yakni ke beji (taman), ibarat
seorang manusia baru bangun lalu mandi. Sepulang dari beji didandani ibaratnya
manusia biasa, diberi wewangian dan busana secara simbolis. Nah setelah itu
baru diajak bersenang-senang dengan ritual Merenteng. Simbol-simbol Ida Bethara
yang biasa disebut pratima itu
diusung untuk diajak Merenteng.
Yang mengusung dan menarikan adalah muda-mudi atau biasa disebut daha-teruna. Tidak boleh orang tua.
Menarinya memang ada pakemnya yang sangat mudah sehingga semua daha-teruna bisa membawakannya, tak
harus seorang penari. Durasi waktu tidak dibatasi karena Merenteng hanya
berputar sebanyak tiga kali di sekitar pura. Jadi tergantung seberapa besar
pura itu karena komposisi tari ini bisa diulang-ulang.
Pada ritual ngusaba desa juga ada
rejang yang disebut Rejang Nini. Ini ditarikan oleh orang tua yang sudah
menopausa yang diyakini kembali suci seperti hanya daha-teruna. Penari Rejang Nini membawa simbol-simbol dari
kemakmuran terutama padi yang dimasukkan dalam bakul yang sudah dihias. Ini pun
tari sangat sakral.
Usai melakukan Merenteng baik itu berupa Rejang Renteng dan Rejang Nini
barulah dilakukan ritual piodalan. Begitulah urutan ritual di desa saya yang
masih tradisional dan kelestarian budaya agama ini diwarisi terus
turun-temurun. Lalu Rejang Renteng yang viral sekarang ini, apakah itu tari
wali atau bukan?
Saya tak ingin berpolemik soal ini. Tetapi kalau kita amati jenis tari ini,
Rejang Renteng dilakukan oleh penari ibu-ibu, setidaknya bukan khusus daha-teruna, dan tidak membawa
persembahan apa pun, baik itu sesajen mau pun serangkaian bunga. Penari pun
tidak berputar di tempat acara seperti Merenteng. Artinya konsep “ngider
bhuana” dengan berputar mengikuti arah “purwa daksina” (perputaran seperti
jarum jam sebagai lambang kesakralan) tidak nampak dalam tarian ini. Tari ini
pun bisa dilakukan secara masal tergantung jumlah penarinya dan ruang untuk
menari. Rejang Renteng ini bukan hanya ditarikan di pura, tetapi bisa di balai
banjar, di halaman sekolah, difestivalkan dan bahkan diperlombakan. Berbeda
dengan Rejang Renteng atau Merenteng di Pujungan, misalnya, siapa yang mau
menarikan itu jika bukan di pura?
Jika demikian, apakah Rejang Renteng yang viral dan mewabah sekarang ini
bukan tari wali? Kita seharusnya tidak berdebat di sini. Tari wali atau tari
bebalian (hiburan) jika itu membuat hati kita senang dan terhibur dalam
melakukan ritual di pura, tentu sangat utama. Menjalankan ritual keagamaan
dengan hati riang disertai ketulusan adalah tujuan yang kita harapkan.
Keriangan itu, misalnya, tercermin dari ibu-ibu yang bergairah datang menarikan
Rejang Renteng dilengkapi busana yang khusus dan ketulusannya adalah menari
tanpa mendapatkan imbalan. Jika Rejang Renteng ini kita tetapkan sebagai tari
wali justru akan menimbulkan pertanyaan, apakah sebuah ritual piodalan di pura
tanpa Rejang Renteng akan menjadi tidak utama atau ada yang kurang? Apakah
Rejang Renteng harus ada sebagai pelengkap dan kalau tidak ada yadnya menjadi
berkurang? Itu bahayanya kalau sebuah tarian kita tetapkan sebagai tari wali
pelengkap yadnya.
Apalagi kalau kita amati berbagai jenis tari rejang sudah bermunculan.
Seniman-seniman tari kita bisa menciptakan berbagai jenis tari rejang. Sekarang
ini yang sudah ada dan semuanya viral tak cuma Rejang Renteng. Ada berbagai
jenis rejang. Ada Rejang Dewa, Rejang Sari, Rejang Dedari, Rejang Apsari, Rejang
Dewi Bethari, Rejang Sutri, Rejang Lawang, Rejang Pedupan, Rejang Suci Wedana
dan mungkin ada lagi yang lain yang belum saya lihat. Budayawan dan seniman
Prof. Wayan Dibia bahkan menyebut ada 27 jenis rejang. Bayangkanlah kalau
semuanya itu harus kita pilah-pilah yang mana sakral dan yang mana tidak
sakral.
Seperti halnya Tari Pendet, dulu pernah diperdebatkan apakah itu sakral
atau tidak. Ada yang menyebutnya sakral karena penari membawa bunga sebagai
persembahan dan itu konotasinya adalah persembahan untuk Tuhan yang kita puja.
Karena Tari Pendet sakral maka tarian ini tak boleh dipakai untuk menyambut
tamu atau turis di hotel, bandara dan lainnya. Namun ada yang menyebut Tari
Pendet tidak sakral, itu hanyalah semacam “tari selamat datang” menyambut tamu
dan bisa dipentaskan di mana saja. Akhirnya agar polemik tak muncul dicari kata
lain. Jika tarian itu dipentaskan di pura maka disebut Tari Pendet dan jika
dipentaskan di tempat yang bukan tempat suci disebut Tari Pependetan.
Penggolongan seperti ini juga ada di ornamen lain. Misalnya, penjor itu sakral,
maka yang dipakai hiasan disebut pepenjoran. Canangsari sakral jadi penari
Pependetan tak boleh membawa canangsari, yang dibawa hanyalah urapsari (hanya
sekumpulan bunga). Lalu apa yang terjadi kemudian? Para seniman tari kita
menciptakan berbagai jenis Tari Pendet dengan nama-nama yang beda. Kita kenal
sekarang ada puluhan “tari selamat datang” dengan berbagai versi dan namanya.
Nah serba-serbi Tari Rejang ini sebaiknya kita batasi ke arah trend baru saja, anggap saja itu
mode. Kita tak bisa menghindari perubahan karena zaman terus bergerak. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar