Sabtu, 09 Februari 2019

RUU Permusikan

Putu Setia | @mpujayaprema

ANANG Hermansyah bermaksud baik. Politisi yang penyanyi ini merasa heran kenapa penyanyi luar negeri bisa kaya raya, sementara penyanyi Nusantara nasibnya tak sebaik itu. Apalagi pemusik tradisional, ibarat tersisih dari gemerlapnya dunia hiburan. Sebagai anggota dewan yang membidangi masalah pendidikan dan budaya, Anang pun bersama kawan-kawannya berinisiatif membuat Rancangan Undang-Undang Permusikan.


Anang seperti bergerak dalam diam, tak merasa perlu melibatkan pemusik lain. Sampailah pada saatnya rancangan itu berupa draf dan dibawa ke sidang DPR. RUU Permusikan itu pun langsung dijadikan prioritas dalam pembahasan DPR, maklum inisiatif dewan. Wakil rakyat kita seperti lupa banyak rancangan undang-undang yang terlantar di Senayan gara-gara mereka jarang bersidang.

Jagad musik juga geger. Kok ya ada ide membuat undang-undang tentang musik? Bagaimana dengan dunia sastra, teater, seni rupa, pedalangan dan seterusnya? Apakah nasib sastrawan dan dramawan Nusantara tak ikut diperhatikan? Apakah semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan undang-undang?

Saya ingat sebuah kisah di kampung, puluhan tahun lalu. Dalam rapat desa ada yang mengusulkan membuat awig-awig – ini semacam undang-undang yang berlaku di sebuah desa adat – yang mengatur soal kencing. Dalam bahasa sekarang, bolehlah disebut RUU Perkencingan. Alasan atau sebut saja “naskah akademik” dari aturan itu adalah keprihatinan tentang orang yang masih kencing sembarangan. Bahkan ibu-ibu kencing berdiri di sembarang tempat di pinggir jalan dengan hanya menyingsingkan sedikit kainnya. Memprihatinkan. Karena itu harus diatur di mana boleh kencing, bagaimana posisi kencing, dan seterusnya. Yang melanggar didenda.


Syukurlah awig-awig perkencingan tak jadi dibuat. Zaman berubah, urusan selesai dengan imbauan kepala desa menjaga kebersihan dan tata krama. Bayangkan kalau soal kencing diatur secara formal, bisa merembet membuat aturan bagaimana cara makan, apa boleh pakai tangan kiri atau tidak, apa harus duduk atau boleh berdiri, apa nasinya boleh bersisa di piring atau tidak.

Jika RUU Permusikan dianggap perlu, jangan-jangan RUU Perpuisian lebih penting. Belakangan ini ada puisi bermasalah menjurus ke soal suku ras dan antar golongan, bahkan disebut menista ulama. Haruskah dibuat pasal-pasal yang mengaturnya seperti halnya RUU Permusikan? Misalnya, penyair harus berkelakuan baik, punya sertifikat kepenyairan, tidak menjadi partisan partai politik. Banyak hal bisa diatur, termasuk di mana puisi itu harus dibaca, bolehkah saat talk show di televisi.

Jika bermaksud mengangkat harkat dan kesejahtraan musisi ada banyak cara tak harus undang-undang tersendiri. Masukkan masalah itu ke undang-undang yang sudah ada. Ada undang-undang tentang hak cipta yang di dalamnya mengatur masalah royalti, pembajakan, dan seterusnya. Ada UU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, ada UU Pemajuan Kebudayaan, mau undang-undang apa lagi. Boro-boro bikin undang-undang baru, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja tak rampung-rampung. Coba lihat tunggakan rancangan undang-undang yang harus dikerjakan DPR, lebih mengenaskan. Jangan-jangan malah perlu ada RUU tentang Percepatan Membahas Undang-undang.

Gelombang penolakan RUU Permusikan sudah meluas. Ada ratusan ribu yang tanda tangan petisi menolak rancangan ini. Kalau undang-undang ini serius mau dibahas memang keterlaluan. Tapi kalau sekadar jadi pengalihan isu dari kampanye capres yang makin ngawur, bolehlah kita ramaikan.

(Koran Tempo Akhir Pekan 9 Februari 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar