Sabtu, 16 Februari 2019

Netral

Putu Setia | @mpujayaprema

Sungguh senang hati saya mendapat kabar Romo Imam sudah kembali ke padepokannya. Sudah berbilang bulan Romo berada di semenanjung Malaysia, saya tidak tahu apa yang dikerjakannya.
“Selamat berada di tanah air kembali Romo, saya punya teman diskusi lagi,” kata saya ketika kemarin ngopi di pedepokannya. Romo enteng saja menjawab: “Karena lama kita tak ngobrol, saya harus tahu dulu, sampeyan pendukung yang mana, 01 atau 02?”

Saya kaget. “Saya tidak mendukung siapa-siapa, saya sudah tua tak kuat mendukung orang,” saya menjawab serius. Lalu Romo tertawa: “Untuk ngobrol saat ini kita harus tahu siapa yang didukung oleh lawan yang kita ajak ngobrol.”

Romo bercerita pengalamannya ngobrol di atas pesawat dengan teman duduk di sebelahnya. Romo ditanya kasus Ahmad Dhani yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Medaeng Surabaya. “Saya bilang Ahmad Dhani tidak mendapat keadilan. Untuk kasus di Surabaya tuntutannya ringan dan tak seharusnya ditahan. Dia ditahan untuk kasus di Jakarta yang sebenarnya belum punya kekuatan hukum karena ia naik banding dan ketika disidang tidak ditahan. Langsung teman ngobrol saya bilang: bapak pendukung 02 sih.”

Romo minum sejenak lalu melanjutkan. “Ketika saya istirahat di kantin bandara, ada berita di televisi, demo yang meminta Fadli Zon minta maaf karena puisinya melecehkan ulama. Teman duduk bertanya, apakah saya membela Fadli? Saya jawab tidak, Fadli sebaiknya minta maaf karena puisinya itu bisa ditafsirkan macam-macam sebagaimana puisi yang tidak dilandasi sastra. Puisi semacam itu di zaman Rendra digolongkan puisi pamplet. Eh, saya dituduh pendukung 01.”
Kini saya yang tertawa. “Romo kelamaan sih di Malaysia, mungkin juga tak mengikuti situasi di negeri kita yang mulai lucu. Kampanye pemilu serentak ini memang paling aneh di dunia, saling sindir, saling mencari kesalahan, saling berbantah. Semakin tak jelas siapa penantang dan siapa yang petahana. Ini saya bacakan tulisan Syamsuddin Haris di Twitter: Kita rindu narasi kampanye yang sejuk, mendidik dan mencerdaskan, yang memupuk rasa saling percaya, serta mengobarkan optimisme akan masa depan bangsa yang lebih baik. Bukan narasi permusuhan, kebencian dan dendam.”

Romo menyela: “Syamsuddin itu intelektual dan peneliti kan? Harus ditebak dulu dia alumni mana. Katanya alumni perguruan tinggi sampai alumni sekolah menengah sudah diperebutkan dan mulai dipecah-pecah dukung ini dan itu. Kenapa alumni sekolah dasar tidak ikut dikerahkan? Kok seperti kembali ke Orde Baru.”

“Wah, Romo gawat nih,” saya memotong. “Memang ada yang mau kembali ke Orde Baru? Siapa?” Romo tertawa. “Semuanya pasti tidak ada yang mengaku. Bahkan semuanya bisa menuding lawannyalah yang meniru Orde Baru sehingga siapa yang duluan mengecam Orde Baru, kubu itu yang merasa tidak Orde Baru. Padahal cara-cara itu dipakai Orde Baru.”

“Saya tidak paham, bahasa Romo jelimet,” kata saya. Kembali Romo tertawa. “Ya sudah, tak usah ngomongin kubu siapa yang mengarah ke Orde Baru. Istilah itu sama rumitnya dengan istilah hak azasi manusia. Terus kubu mana yang  lebih memperhatikan hak asasi manusia? Yang ini menuduh si itu pelanggar hak asasi manusia, yang itu menuduh si ini malah menampung pelanggar hak asasi manusia. Podo-podo wae, sami mawon....”

Ibu Imam datang membawa kue. “Cicip kue dulu ya? Kalian berdua sepertinya sudah jelas. Tak puas dengan kedua kubu, lalu bersikap netral dan menyalahkan keduanya. Terus mau golput kan?” Saya tersentak. “Ibu... saya tak berpikir begitu.”

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 16 Februari 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar