Putu
Setia | @mpujayaprema
Sungguh
senang hati saya mendapat kabar Romo Imam sudah kembali ke padepokannya. Sudah
berbilang bulan Romo berada di semenanjung Malaysia, saya tidak tahu apa yang
dikerjakannya.
“Selamat
berada di tanah air kembali Romo, saya punya teman diskusi lagi,” kata saya
ketika kemarin ngopi di pedepokannya. Romo enteng saja menjawab: “Karena lama
kita tak ngobrol, saya harus tahu dulu, sampeyan pendukung yang mana, 01 atau
02?”
Saya
kaget. “Saya tidak mendukung siapa-siapa, saya sudah tua tak kuat mendukung
orang,” saya menjawab serius. Lalu Romo tertawa: “Untuk ngobrol saat ini kita
harus tahu siapa yang didukung oleh lawan yang kita ajak ngobrol.”
Romo
bercerita pengalamannya ngobrol di atas pesawat dengan teman duduk di
sebelahnya. Romo ditanya kasus Ahmad Dhani yang kini ditahan di Lembaga
Pemasyarakatan Medaeng Surabaya. “Saya bilang Ahmad Dhani tidak mendapat
keadilan. Untuk kasus di Surabaya tuntutannya ringan dan tak seharusnya
ditahan. Dia ditahan untuk kasus di Jakarta yang sebenarnya belum punya
kekuatan hukum karena ia naik banding dan ketika disidang tidak ditahan.
Langsung teman ngobrol saya bilang: bapak pendukung 02 sih.”
Romo
minum sejenak lalu melanjutkan. “Ketika saya istirahat di kantin bandara, ada
berita di televisi, demo yang meminta Fadli Zon minta maaf karena puisinya
melecehkan ulama. Teman duduk bertanya, apakah saya membela Fadli? Saya jawab
tidak, Fadli sebaiknya minta maaf karena puisinya itu bisa ditafsirkan
macam-macam sebagaimana puisi yang tidak dilandasi sastra. Puisi semacam itu di
zaman Rendra digolongkan puisi pamplet. Eh, saya dituduh pendukung 01.”
Kini
saya yang tertawa. “Romo kelamaan sih di Malaysia, mungkin juga tak mengikuti
situasi di negeri kita yang mulai lucu. Kampanye pemilu serentak ini memang
paling aneh di dunia, saling sindir, saling mencari kesalahan, saling
berbantah. Semakin tak jelas siapa penantang dan siapa yang petahana. Ini saya
bacakan tulisan Syamsuddin Haris di Twitter: Kita rindu narasi kampanye yang
sejuk, mendidik dan mencerdaskan, yang memupuk rasa saling percaya, serta
mengobarkan optimisme akan masa depan bangsa yang lebih baik. Bukan narasi
permusuhan, kebencian dan dendam.”
Romo
menyela: “Syamsuddin itu intelektual dan peneliti kan? Harus ditebak dulu dia
alumni mana. Katanya alumni perguruan tinggi sampai alumni sekolah menengah
sudah diperebutkan dan mulai dipecah-pecah dukung ini dan itu. Kenapa alumni
sekolah dasar tidak ikut dikerahkan? Kok seperti kembali ke Orde Baru.”
“Wah,
Romo gawat nih,” saya memotong. “Memang ada yang mau kembali ke Orde Baru?
Siapa?” Romo tertawa. “Semuanya pasti tidak ada yang mengaku. Bahkan semuanya
bisa menuding lawannyalah yang meniru Orde Baru sehingga siapa yang duluan
mengecam Orde Baru, kubu itu yang merasa tidak Orde Baru. Padahal cara-cara itu
dipakai Orde Baru.”
“Saya
tidak paham, bahasa Romo jelimet,” kata saya. Kembali Romo tertawa. “Ya sudah,
tak usah ngomongin kubu siapa yang mengarah ke Orde Baru. Istilah itu sama
rumitnya dengan istilah hak azasi manusia. Terus kubu mana yang lebih memperhatikan hak asasi manusia? Yang
ini menuduh si itu pelanggar hak asasi manusia, yang itu menuduh si ini malah
menampung pelanggar hak asasi manusia. Podo-podo
wae, sami mawon....”
Ibu
Imam datang membawa kue. “Cicip kue dulu ya? Kalian berdua sepertinya sudah jelas.
Tak puas dengan kedua kubu, lalu bersikap netral dan menyalahkan keduanya. Terus
mau golput kan?” Saya tersentak. “Ibu... saya tak berpikir begitu.”
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 16 Februari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar