Mpu Jaya Prema
KEBIJAKAN pembatasan
sampah plastik sudah hampir merata ke seluruh daerah mulai awal tahun ini.
Bukan hanya di Bali, di seluruh Indonesia kebijakan itu sudah digelar dengan
peraturan setingkat gubernur dan bupati atau walikota. Cuma ada yang keras
melakukan kebijakan dengan penindakan dan sanksi, ada yang masih memberi
kelonggaran dengan batas waktu dan ada yang sedang melakukan konsolidasi dan
sosialisasi.
DKI Jakarta, misalnya,
belum membuat peraturan tentang itu karena sedang melakukan uji coba agar tidak
grasa-grusu. Demikian juga di Bandung dan Bogor. Yang dikaji adalah apakah
pelarangan plastik terutama kantong plastik (lazim disebut tas kresek) bisa
ban kemudian apakah pengawasannya efektif? Sementara itu di
kota-kota lain langsung erjalan bagus kalau tidak ada penggantinya? Apakah pengganti plastik itu diminati masyarakat dada peraturan bupati atau walikota dan gubernur tanpa
perlu melakukan kajian yang mendalam.
Di Bali juga sudah
bergerak maju. Walikota Denpasar dan Gubernur Bali masing-masing sudah membuat
peraturan untuk pembatasan sampah plastik. Walikota Denpasar Ida Bagus Rai
Dharmawijaya mengeluarkan Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang
Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Gubernur Bali menyusul mengeluarkan Peraturan
Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbunan Sampah Plastik Sekali
Pakai. Penekanannya sedikit berbeda, kalau Walikota Denpasar fokus ke
pengurangan kantong plastik (tas kresek) sementara Gubernu Bali lebih luas sampai
ke masalah plastik sekali pakai (PSP).
Namun hanya tiga jenis
PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong plastik, polysterina
(styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan setiap orang dan
lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti PSP.
Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat,
pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.
Nah, apakah
pelaksanaannya sudah berjalan? Di pasar-pasar swalayan hal itu sudah berjalan
karena kasir tidak lagi memberikan plastik untuk pelanggan. Tetapi kemasan
barang yang memang sudah terbungkus plastik tetap saja tak bisa digantikan.
Pelanggan yang berbelanja di supermaket dan minimarket biasanya sudah dari
rumahnya siap untuk berbelanja, jadi siap membawa tas yang ramah lingkungan.
Beberapa pasar swalayan pun menyediakan tas ramah lingkungan, tentu dengan
membeli. Tetapi bagaimana dengan pasar-pasar tradisional dan warung-warung
pinggir jalan, termasuk pedagang kaki lima? Plastik masih tetap digunakan dan
hampir tak terjadi pembatasan. Pedagang siap memberikan tas kresek untuk
membawa belanjaan. Kalau tidak diberikan tak kresek bisa-bisa yang belanja
urung membeli barang di sana dan pindah ke warung yang lain. Bagaimana membawa
belanjaan kalau tak ada tas kresek?
Penyebab lain,
pembelanja di warung atau kaki lima, belum tentu sudah merencanakan belanja
dari rumah. Bisa saja mereka sedang jalan-jalan lalu kepingin berbelanja. Kalau
tak diberi tas kresek bagaimana membawa belanjaan itu? Kan tak mungkin orang
lagi jalan-jalan sudah sedia tas ramah lingkungan dari rumah, karena niatnya
belum tentu berbelanja. Ini juga berlaku di pasar tradisional. Hampir tak ada
bedanya penggunaan plastik sebelum dan sesudah ada Pergub Bali itu.
Namun Gubernur Wayan
Koster sangat yakin pembatasan plastik sekali pakai ini berhasil termasuk di
pasar-pasar tradisional. Dia menyebutkan pengawasan akan dilakukan oleh tim
yang terdiri dari SKPD Bali termasuk melibatkan masyarakat dan LSM. Untuk pasar
swalayan yang melanggar, izinnya akan dicabut. Sanksi ini pasti membuat pasar
swalayan mau tak mau ikut peraturan, tetapi bagaimana dengan warung-warung dan
pedagang kaki lima yang tak punya izin usaha? Apanya yang dicabut?
Sebenarnya Pergub Bali
ini sudah cukup lengkap tentang ketentuan PSP. Pada Pasal 6 Pergub ini
disebutkan, setiap produsen wajib memproduksi produk pengganti PSP, setiap
distributor wajib mendistribusikan produk pengganti PSP, setiap pemasok wajib
memasok produk pengganti PSP, dan setiap pelaku usaha dan penyedia PSP wajib
menyediakan produk pengganti PSP.
Pertanyaannya, apa
produk pengganti itu? Sampai sekarang ini tak jelas ke mana arah untuk
mendapatkan produk pengganti itu. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan di
Jakarta dan Bandung untuk mengkaji terlebih dahulu apa kira-kira produk
pengganti tas kresek.
Ada wacana produk
berbahan dasar plastik diganti dengan bahan berdasar kertas. Ini menimbulkan
masalah pula, sanggupkah produsen membuat “tas kresek kertas” dengan jangkauan
harga seperti tas kresek plastik? Harga diperkirakan lebih mahal. Lagi pula ini
pun mengancam lingkungan karena kertas itu bahan baku awalnya adalah kayu dan
dipastikan akan merusak lingkungan.
Di Bali ada wacana
kembali ke alam, pakai saja daun pisang. Ini alami dan tentu saja bagus. Tetapi
di perkotaan, harga daun pisang juga bukan murah jika dibandingkan plastik
kresek. Lalu ada masalah. Daun pisang itu hanya berfungsi untuk membungkus
barang belanjaan tetapi bukan untuk menenteng belanjaan. Jika unsur-unsur
belanjaan bisa dibungkus daun pisang, lalu membawanya memakai apa? Lagi-lagi
dalam kaitan ini kita berbelanja tanpa direncanakan dari rumah sehingga tidak
siap dengan tas yang ramah lingkungan.
Plastik, oh, plastik.
Begitu sulitnya untuk diperangi. Karena itu di beberapa kota ada jalan tengah
dalam perang melawan plastik ini, yakni membatasi toko plastik bahkan
meniadakannya, sehingga tak ada alternatif lain lagi. Bahkan ada yang lebih
ektrim, meski baru wacana, tutup saja pabrik tas kresek. Orang akan dipaksa
memakai bahan lain. Seperti yang dikatakan Gubernur Bali Wayan Koster, dulu
orang Bali kok bisa tidak memakai plastik?
Sementara itu terbetik
kabar ada penemuan plastik yang bisa baur dalam waktu setahun. Jadi seperti
daun-daun yang lain, plastik itu hancur dan baur ke tanah begitu saja dalam
jangka waktu setahun, tidak seperti sekarang ini selamanya plastik itu tak bisa
hangus jika tak dibakar. Penemuan seperti ini tentu harus terus dikembangan.
Lalu yang paling
penting dari semuanya adalah kesadaran diri kita masing-masing untuk menolak
atau setidaknya membatasi pemakaian plastik. Ini harus bisa meski pun sulit.
Lihat saja orang Bali kalau bersembahyang, sesajennya sudah dibungkus plastik
dan bahkan “nunas tirtha” juga dengan kantong plastik supaya lebih aman. Ayo
kita sadari plastik merusak lingkungan dan mari kita hindari. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar