Senin, 18 Februari 2019

Plastik, Oh, Sampah Plastik

Mpu Jaya Prema

KEBIJAKAN pembatasan sampah plastik sudah hampir merata ke seluruh daerah mulai awal tahun ini. Bukan hanya di Bali, di seluruh Indonesia kebijakan itu sudah digelar dengan peraturan setingkat gubernur dan bupati atau walikota. Cuma ada yang keras melakukan kebijakan dengan penindakan dan sanksi, ada yang masih memberi kelonggaran dengan batas waktu dan ada yang sedang melakukan konsolidasi dan sosialisasi.

DKI Jakarta, misalnya, belum membuat peraturan tentang itu karena sedang melakukan uji coba agar tidak grasa-grusu. Demikian juga di Bandung dan Bogor. Yang dikaji adalah apakah pelarangan plastik terutama kantong plastik (lazim disebut tas kresek) bisa ban kemudian apakah pengawasannya efektif? Sementara itu di kota-kota lain langsung erjalan bagus kalau tidak ada penggantinya? Apakah pengganti plastik itu diminati masyarakat dada peraturan bupati atau walikota dan gubernur tanpa perlu melakukan kajian yang mendalam.

Di Bali juga sudah bergerak maju. Walikota Denpasar dan Gubernur Bali masing-masing sudah membuat peraturan untuk pembatasan sampah plastik. Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya mengeluarkan Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Gubernur Bali menyusul mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbunan Sampah Plastik Sekali Pakai. Penekanannya sedikit berbeda, kalau Walikota Denpasar fokus ke pengurangan kantong plastik (tas kresek) sementara Gubernu Bali lebih luas sampai ke masalah plastik sekali pakai (PSP).
Namun hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti PSP. Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.

Nah, apakah pelaksanaannya sudah berjalan? Di pasar-pasar swalayan hal itu sudah berjalan karena kasir tidak lagi memberikan plastik untuk pelanggan. Tetapi kemasan barang yang memang sudah terbungkus plastik tetap saja tak bisa digantikan. Pelanggan yang berbelanja di supermaket dan minimarket biasanya sudah dari rumahnya siap untuk berbelanja, jadi siap membawa tas yang ramah lingkungan. Beberapa pasar swalayan pun menyediakan tas ramah lingkungan, tentu dengan membeli. Tetapi bagaimana dengan pasar-pasar tradisional dan warung-warung pinggir jalan, termasuk pedagang kaki lima? Plastik masih tetap digunakan dan hampir tak terjadi pembatasan. Pedagang siap memberikan tas kresek untuk membawa belanjaan. Kalau tidak diberikan tak kresek bisa-bisa yang belanja urung membeli barang di sana dan pindah ke warung yang lain. Bagaimana membawa belanjaan kalau tak ada tas kresek?

Penyebab lain, pembelanja di warung atau kaki lima, belum tentu sudah merencanakan belanja dari rumah. Bisa saja mereka sedang jalan-jalan lalu kepingin berbelanja. Kalau tak diberi tas kresek bagaimana membawa belanjaan itu? Kan tak mungkin orang lagi jalan-jalan sudah sedia tas ramah lingkungan dari rumah, karena niatnya belum tentu berbelanja. Ini juga berlaku di pasar tradisional. Hampir tak ada bedanya penggunaan plastik sebelum dan sesudah ada Pergub Bali itu.
Namun Gubernur Wayan Koster sangat yakin pembatasan plastik sekali pakai ini berhasil termasuk di pasar-pasar tradisional. Dia menyebutkan pengawasan akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari SKPD Bali termasuk melibatkan masyarakat dan LSM. Untuk pasar swalayan yang melanggar, izinnya akan dicabut. Sanksi ini pasti membuat pasar swalayan mau tak mau ikut peraturan, tetapi bagaimana dengan warung-warung dan pedagang kaki lima yang tak punya izin usaha? Apanya yang dicabut?

Sebenarnya Pergub Bali ini sudah cukup lengkap tentang ketentuan PSP. Pada Pasal 6 Pergub ini disebutkan, setiap produsen wajib memproduksi produk pengganti PSP, setiap distributor wajib mendistribusikan produk pengganti PSP, setiap pemasok wajib memasok produk pengganti PSP, dan setiap pelaku usaha dan penyedia PSP wajib menyediakan produk pengganti PSP.
Pertanyaannya, apa produk pengganti itu? Sampai sekarang ini tak jelas ke mana arah untuk mendapatkan produk pengganti itu. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan di Jakarta dan Bandung untuk mengkaji terlebih dahulu apa kira-kira produk pengganti tas kresek.

Ada wacana produk berbahan dasar plastik diganti dengan bahan berdasar kertas. Ini menimbulkan masalah pula, sanggupkah produsen membuat “tas kresek kertas” dengan jangkauan harga seperti tas kresek plastik? Harga diperkirakan lebih mahal. Lagi pula ini pun mengancam lingkungan karena kertas itu bahan baku awalnya adalah kayu dan dipastikan akan merusak lingkungan.

Di Bali ada wacana kembali ke alam, pakai saja daun pisang. Ini alami dan tentu saja bagus. Tetapi di perkotaan, harga daun pisang juga bukan murah jika dibandingkan plastik kresek. Lalu ada masalah. Daun pisang itu hanya berfungsi untuk membungkus barang belanjaan tetapi bukan untuk menenteng belanjaan. Jika unsur-unsur belanjaan bisa dibungkus daun pisang, lalu membawanya memakai apa? Lagi-lagi dalam kaitan ini kita berbelanja tanpa direncanakan dari rumah sehingga tidak siap dengan tas yang ramah lingkungan.

Plastik, oh, plastik. Begitu sulitnya untuk diperangi. Karena itu di beberapa kota ada jalan tengah dalam perang melawan plastik ini, yakni membatasi toko plastik bahkan meniadakannya, sehingga tak ada alternatif lain lagi. Bahkan ada yang lebih ektrim, meski baru wacana, tutup saja pabrik tas kresek. Orang akan dipaksa memakai bahan lain. Seperti yang dikatakan Gubernur Bali Wayan Koster, dulu orang Bali kok bisa tidak memakai plastik?

Sementara itu terbetik kabar ada penemuan plastik yang bisa baur dalam waktu setahun. Jadi seperti daun-daun yang lain, plastik itu hancur dan baur ke tanah begitu saja dalam jangka waktu setahun, tidak seperti sekarang ini selamanya plastik itu tak bisa hangus jika tak dibakar. Penemuan seperti ini tentu harus terus dikembangan.

Lalu yang paling penting dari semuanya adalah kesadaran diri kita masing-masing untuk menolak atau setidaknya membatasi pemakaian plastik. Ini harus bisa meski pun sulit. Lihat saja orang Bali kalau bersembahyang, sesajennya sudah dibungkus plastik dan bahkan “nunas tirtha” juga dengan kantong plastik supaya lebih aman. Ayo kita sadari plastik merusak lingkungan dan mari kita hindari. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar