Putu Setia | @mpujayaprema
SELEPAS akhir pekan ini kita ketemu
imlek. Sepertinya ini Tahun Baru Imlek yang sepi dari perbincangan.
Jangan-jangan lampion juga tak semeriah imlek-imlek tahun lalu. Mungkin kita
tak punya waktu menggosipkan imlek karena masih sibuk copras-capres, hajatan yang membuat negeri ini hiruk-pikuk oleh kampanye
yang tidak jelas juntrungannya.
Menjelang imlek tak ada pertanyaan
yang muncul, apakah umat yang tak merayakan boleh mengucapkan selamat Tahun Baru
Imlek. Beda kalau Natal, misalnya. Padahal jawaban formalnya sudah diketahui,
siapa yang melarang? Perbincangan imlek sudah selesai. Apakah imlek itu
perayaan budaya atau agama, tak lagi diperdebatkan. Kita berterima kasih kepada
Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang membuat imlek menjadi
sah sebagai hari raya di bumi Nusantara ini.
Imlek itu adalah perayaan tahun
baru. Ini penanggalan yang menggunakan peredaran bulan yang disesuaikan dengan
peredaran matahari. Sama dengan kalender Saka yang dipakai di Nusantara ini,
peredaran bulan dan matahari disesuaikan secara berkala. Itu sebabnya Tahun
Baru Imlek selalu jatuh di bulan Januari
sampai Februari jika dilihat dari kalender Masehi. Demikian halnya tahun baru Saka
yang disebut Nyepi, jatuhnya di bulan Maret sampai April. Berbeda dengan tahun
baru Hijrah yang hanya mempergunakan peredaran bulan, sehingga setiap tahun Idul
Fitri pasti selalu maju jika dibandingkan dengan penanggalan Masehi yang
berdasarkan peredaran matahari.
Presiden Sukarno pada 1946, saat
negeri ini berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengeluarkan keputusan tentang
hari raya keagamaan, dan imlek disebut “hari keagamaan warga Tionghoa”. Namun
Presiden Soeharto meralatnya pada tahun 1967 setelah tragedi G-30-S PKI. Imlek
bukan hari raya keagamaan dan bahkan lewat Instruksi Presiden
Nomor 14 Tahun 1967, Soeharto melarang segala budaya yang berbau Tionghoa, di
antaranya perayaan imlek itu sendiri. Ini berlangsung bertahun-tahun bahkan
kemudian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran 11
Januari 1993 yang menyatakan Imlek bukanlah hari raya agama Buddha, sehingga vihara
diminta tidak merayakan Tahun Baru Imlek.
Jasa Gus Dur menjadi luar biasa ketika mencabut
semua peraturan itu, termasuk Inpres No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan
untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara
agama seperti imlek secara terbuka. Bahkan yang disebut agama tak lagi cuma
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Urusan bahwa agama itu diberi wadah
pembinaan di Departemen Agama (ditandai adanya direkrorat jenderal) tidaklah pertanda
bahwa hanya itu agama yang diakui. Maka sebagian masyarakat Tionghoa
memperkenalkan Agama Konghucu. Perayaan imlek pun semarak kembali dan di tahun
2003, ketika Megawati sudah menggantikan Gus Dur, imlek ditetapkan sebagai hari
libur nasional keagamaan.
Pasang surut imlek ini perlu kita kenang untuk
renungan bersama bahwa urusan agama, sepanjang hal itu berkembang di masyarakat
dan membawa kedamaian, janganlah direcoki oleh pemerintah. Negara wajib
mengayomi warganya, namun jangan masuk ke masalah akidah dengan dalih
pembinaan. Biarkan mereka berkembang dalam kemajemukan.
Belakangan ini seperti ada tanda kalau agama kembali
diseret-seret ke politik dan mulai ada gesekan. Mari kita jaga marwah agama dan
betapa indahnya keberagaman. Untuk sahabat Tionghoa, selamat Imlek, Gong Xi Fa
Cai.
(Koran Tempo Akhir Pekan 2 Februari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar