RENUNGAN ini perlu diwacanakan terus-menerus dalam situasi politik yang dipenuhi dengan berbagai kebencian dan saling menjegal atau saling melaporkan. Pertentangan begitu tajam dan masalah pun sering berakhir di pengadilan, bukan lagi lewat perdamaian yang penuh musyawarah. Padahal pengadilan duniawi tak selamanya adil, bahkan sering terkesan sebagai ajang balas dendam.
Kalau kita hidup dalam suasana yang penuh kerukunan berlandaskan ajaran agama, tidak ada pengadilan yang lebih adil dibandingkan pengadilan dari Tuhan. Sayangnya, tempat pengadilan itu adalah ketika kita sudah meninggalkan dunia ini. Di dunia akhiratlah kita diadili. Karma kita selama hidup diadili di dunia sana. Baik karma kita di dunia baik pula tempat kita di alam sana, buruk karma kita di dunia tempatnya pun buruk pula. Di situlah dikenal istilah sorga dan neraka, sorga untuk kedamaian yang abadi, neraka untuk menjalani hukuman di akhirat.
Pengadilan akhirat pun tidak berjenjang sebagaimana yang kita alami di dunia ini. Tuhan hanya sekali mengadili dan tidak memandang siapa yang diadili. Kitab Bhagawad Gita IX. 20 menyebutkan: samo ‘ham sarva-bhutesu, na me dvesyo ‘sti na priyah. ye bhajanti tu mam bhaktya, mayi te tesu capy aham. Terjemahan bebasnya: Aku bersikap sama terhadap setiap makhluk, tidak ada yang Aku benci dan tidak ada yang Aku kasihi. Akan tetapi mereka yang memujaKu dengan penuh rasa bhakti, maka dia akan selalu bersamaKu dan Aku ada pada dirinya.
Itulah keadilan sejati. Setiap orang dari mana pun berasal, semuanya dipandang sebagai hal yang sama. Bahwa hukuman bisa berbeda di alam sana, ada sorga dan ada neraka, itu semata-mata karena perbuatan kita di dunia yang berbeda.
Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih, tetapi sifat itu tak mempengaruhi dalam mengambil keputusan. Seperti orang tua yang sesekali memarahi atau menegor anaknya, bukan dalam pengertian tidak sayang, tetapi memberikan pelajaran agar tidak mengulangi perbuatan yang buruk. Maka kalau ada perbuatan buruk yang diterima di dunia orang sering menyebutkan itulah cobaan Tuhan. Kalau tahu itu percobaan Tuhan, segeralah minta ampun dan bertobat, sehingga ketika kita “diadili di dunia sana” persoalannya menjadi lebih jelas.
Bertobat untuk perbuatan yang buruk adalah kata lain dari mendekatkan diri kepada Tuhan. Bertobat mau tak mau berarti kita memuja Beliau Yang Maha Suci. Bukankah sudah disebutkan, “mereka yang memujaKu dengan penuh rasa bhakti, maka dia akan selalu bersamaKu dan Aku ada pada dirinya.”
Masalahnya apakah kita mau “lebih dekat” atau “selalu dekat” dengan Sang Maha Kuasa. Atau kita baru ingat Tuhan kalau dalam keadaan berduka, entah itu sakit atau kemalangan yang lain. Bahkan ketika ditangkap karena korupsi. Kalau lagi bersenang-senang lupa memuja-Nya. Kalau jiwa kita bersih dan selalu dekat denganNya maka pantulan kemaha-besaran Tuhan itu akan bisa kita rasakan dalam batin.
Kita bisa menganalogikan Tuhan itu ibarat cermin. Kalau cermin itu kotor dan berdebu, maka pantulan cahayanya sangat buram. Kalau cermin itu bersih maka cahaya yang dipantulkan jadi terang dan jernih. Padahal kadar cahaya itu sama saja besarnya. Masalah ada pada cermin yang memantulkannya, bukan pada cahaya. Maka kembali kepada sang pemilik cermin, yakni kita sendiri, apakah kita sudah bersih secara rohani untuk menerima cahaya Tuhan, sehingga cahaya itu bisa kita jadikan sesuluh dalam kehidupan ini? Atau kita biarkan cermin dalam diri kita kotor, sementara cahaya tidak pernah bertanya apakah cermin itu kotor atau tidak. Cahaya tetap memancar tanpa peduli bagaimana kondisi yang menerima cahaya itu. Sloka Bhagawad Gita jelas menyimpulkan kasih sayang Tuhan dalam “mengadili” umatNya tidak pernah pilih kasih.
Minta ampun dan bertobat itu sangatlah penting, ibaratnya perbuatan itulah yang bisa membersihkan cermin agar cahaya Tuhan bisa kita terima lebih jernih. Pada sloka lebih lanjut, yakni Bhagawad Gita IX.30 disebutkan dengan gamblang: “walau orang yang paling berdosa sekali pun datang kepada-Ku, memuja-Ku dengan penuh rasa bhakti tanpa menyimpang, maka orang seperti itu diterima sebagai orang suci karena dia memiliki itikad yangbenar.”
Marilah kita selalu membersihkan cermin bathin kita dengan lebih dekat kepadaNya dan bertobat kalau melakukan kekeliruan. Dengan prilaku itu kita siap diadili di alam sana. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar