Sabtu, 20 Juli 2019

Bersih di Luar dan di Dalam

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

UMAT Hindu etnis Bali sudah memasuki rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan. Tahap-tahap pelaksanaan hari suci ini pun sudah dimulai.  Kemarin disebut Sugian Bali sebagai kelanjutan dari Sugian Jawa. Besok sudah hari penyekeban. Berlanjut penyajajaan, lalu penampahan, dan ahirnya Rabu Kliwon nanti tibalah Galungan.


Apa sebenarnya inti dari tahapan ini? Sugian, baik Jawa mau pun Bali, intinya adalah pembersihan. Tidak ada kaitannya dengan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Jawa asal usulnya dari kata jaba atau luar. Yang dibersihkan pada saat itu adalah semua hal yang berada di luar diri kita. Apakah itu membersihkan pura atau merajan, membersihkan halaman, membersihkan balai yadnya dan sebagainya. Tentu dalam kaitan ini pembersihan itu secara sekala dan niskala. Sekala adalah membersihkan dari segala kotoran. Sekala adalah memberikan sesajen sebagai simbol dari mengawali parayaan Galungan.

Sedangkan kata Bali dalam Sugian Bali berarti kembali. Bali asal usul dari kata wali atau kembali. Apa yang kembali dibersihkan? Rohani dan pikiran kita harus bersih. Dengan begitu Sugian Jawa membersihkan Bhuwana Agung dan Sugian Bali adalah Bhuwana Alit. Jadi keduanya harus dilakukan. Tak bisa dipilih salah satu seperti yang banyak dilakukan umat Hindu di Bali. Bahkan ada anggapan Sugian Jawa dirayakan oleh umat Hindu yang leluhurnya datang dari Jawa, yaitu Majapahit. Sedangkan Sugian Bali dirayakan oleh umat Hindu yang leluhurnya memang asli Bali atau Bali Mula.

Kenapa kita harus membersihkan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit menjelang Galungan? Galungan adalah hari besar keagamaan, karena itu penyucian pun menyeluruh. Jangankan menyambut Galungan yang menjadi “rahinan jagat”, setiap jenjang ritual dari yang paling kecil pasti dimulai dengan pembersihan diri agar kita menjadi suci. Manusia diberi Tri Pramana yaitu sabda (berkata-kata), bayu (bernapas) dan idep (pikiran). Ketiga aspek inilah yang disucikan setelah melakukan pembersihan ke seluruh tubuh sebagai badan kasar.


Setelah semesta dan badan kita bersih, maka kita menyongsong pertarungan yang sesungguhnya berat, yakni mengalahkan Sang Kala Tiga Galungan. Itulah runtutan perayaan Galungan yang dimulai pada esok hari setelah fase pembersihan. Orang menyebutnya, mengalahkan adharma sehingga pada Hari Raya Galungan kita bisa memenangkan dharma.

Orang mudah mengucapkan kata-kata itu: “Galungan adalah hari raya kemenangan dharma atas adharma.” Kemenangan “kebenaran” melawan “kejahatan”. Siapa yang membawa kejahatan itu? Ada tiga bentuk adharma yang turun disimbolkan sebagai bhuta atau kala. Jika itu tidak bisa kita kendalikan, seharusnya kita belum bisa memperoleh kemenangan. Maka mari kita kendalikan “tiga bhuta” itu atau dalam bahasa populernya mari kita taklukkan.

Ketiganya disebut Sang Bhuta Tiga. Yang pertama datang adalah Sang Bhuta (Kala) Galungan pada Redite Pahing Wuku Dungulan. Jadi esok hari, persis mengawali wuku Dungulan yang di Jawa disebut pula wuku Galungan. Bhuta ini menyerang kita dan itu haruslah kita tangkis dengan upaya mengendalikan diri dari segala nafsu-nafsu buruk. Tetua kita di masa lalu mewariskan pula simbol yang mudah diterima masyarakat dengan menyebut hari Minggu besok sebagai “hari penyekeban”. Nyekeb atau sekeb berarti menyembunyikan atau menutupi diri dari segala nafsu-nafsu jahat.
Pada hari Soma Pon datang Sang Bhuta Dungulan. Tetaplah bertahan dengan pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu jahat dan tetap menjaga keteguhan kesucian diri kita. Tetua kita memberi simbol sebagai “hari penyajaan” atau disebut pula “hari pengejukan”. Kita ejuk (tangkap) nafsu-nafsu buruk itu supaya tidak berkeliaran.

Pada hari Anggara Wage, muncul Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta terakhir ini datang untuk membelenggu kita. Kalau kita lemah ketika diserang dan bisa ditaklukkan, pada hari inilah seluruh kehidupan kita dikuasai oleh adharma yang dibawa Kala Amangkurat itu. Mari kita taklukkan dengan membunuh semua nafsu kejahatan yang disebar itu. Tetua kita di masa lalu mewariskan simbol sebagai “hari penampahan”. Maksudnya semua nafsu hewani yang buruk itu kita sembelih.
Dengan berhasil menaklukkan Sang Kala Tiga maka kita berhasil mengalahkan adharma. Maka pada hari Rabu (Budha) Kliwon Dungulan kita merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Hanya orang yang bersih dari segala kekotoran bisa melawan nafsu hewani dan bisa merayakan kemenangan dharma atau merayakan Galungan dengan baik. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar