Putu Setia | @mpujayaprema
Andai saya menjadi hakim, penjara akan sepi. Banyak
orang yang saya bebaskan. Saya tak tega menghukum orang yang begitu nampak
saleh, yang perempuan mengenakan kerudung dan lelaki mengenakan peci. Duduk
dengan santun rada menundukkan wajah, bicara memelas.“Betul yang mulia.” kata
ini pasti membuat saya trenyuh.
Hakim sering dijuluki “wakil Tuhan” karena amar putusannya
mengatasnamakan Tuhan. Sementara saya di usia senja ini ingin memposisikan Tuhan
Maha Pemaaf dan Tuhan Maha Pengasih. Kalau kasihan kepada orang kenapa tidak
memaafkan saja? Kejahatannya biarkan dihukum di akhirat.
Persoalannya ada orang yang tidak percaya hukuman
akhirat. Ketika dia berada di puncak jabatan pun teganya merampok uang rakyat.
Ketua DPR korupsi. Menteri dan Gubernur terima suap. Kalau Ketua DPR tak
dihukum bagaimana jika wakil ketua DPR ikutan korupsi? Di mana fungsi Tuhan
sebagai Yang Maha Adil? Maka perlu ada lembaga pengadil di dunia dan hakim pun diangkat.
Yang diadili adalah perbuatannya, bukan siapa orangnya. Itu sebab lembaga
pengadil berlambang dewi yang matanya tertutup. Hakim yang lembut dan bukan
pendendam, tak boleh melihat apakah yang diadili orang kaya, miskin, atau (tiba-tiba)
berkerudung.
Cuma hakim itu manusia biasa. Sesempurnanya manusia
masih punya nafsu. Masih ingin bersenang-senang dan menambah harta untuk
keluarga. Jika nafsu tanpa pengendalian maka penyimpangan bisa terjadi. Bukankah
ada hakim yang dipecat karena menerima suap?
Coba telisik. Kenapa hakim Mahkamah Agung menolak
peninjauan kembali kasus Baiq Nuril? Pengadilan Negeri membebaskan Baiq Nuril
karena justru dia korban pelecehan. Bu Nuril bukan menyebarkan konten tetapi handphone-nya diambil orang yang
menyebarkan. Ketika jaksa kasasi ke MA, Bu Nuril dihukum dan didenda, begitu
pula MA menolak peninjauan kembali. Jadi hakim agung punya penafsiran sendiri
arti dari menyebarkan.
Juga aneh hakim MA yang membebaskan Syairuddin
Temenggung. Pengadilan Tinggi menghukum Temenggung 15 tahun karena merugikan
negara Rp 4,58 Trilyun. Hakim kasasi berbeda pendapat. Yang satu tetap
menghukum, yang satu membebaskan karena bukan perkara pidana, yang satu lagi
membebaskan karena hanya salah administrasi. Para hakim tak kompak.
Alkisah, ada dongeng rakyat sebelum era digital. Tiga
bersaudara mencari ilmu tentang keadilan di hutan. Belajar kepada tebing, pohon
dan hewan liar. Suatu hari di bawah pohon, ada bisikan gaib diterima tiga
bersaudara itu. Mereka diperbolehkan memohon masing-masing satu anugrah dan akan
dikabulkan. Tanpa berembug lebih dulu, saudara tua berujar: saya mohon makanan
yang enak. Langsung tersaji, mungkin bukan pizza atau spaghety, ini dongeng
lama.
Saudara tengah marah kepada saudara tua, kenapa yang
dimohon yang receh-receh, bukan batangan emas atau istana yang megah. Saking
marahnya dia berujar: saya mohon kakak saya mati sekarang juga. Hah, saudara
tua itu pun berhenti bernapas.
Tinggallah saudara muda. Ia lama merenung. “Kalau aku
mohon batangan emas atau istana megah, aku kehilangan saudara tua. Aku hanya menuruti
nafsu dan yang kudapat pasti kesenangan palsu,” pikirnya. Akhirnya dia memohon:
“Oh Yang Maha Gaib, hamba mohon hidupkan saudara tua saya.” Dan ketiga saudara
ini kembali berkelana mencari ilmu di hutan kehidupan.
Apa pesan dongeng ini? Para hakim harusnya sudah
selesai dari beban hidupnya. Jika hakim masih memuaskan nafsunya sendiri dan
tidak bermusyawarah mencari keadilan untuk orang banyak, negara dan bangsa tak
akan bergerak maju.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 13 Juli 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar