Ida
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
AGAR
penerapan dharma sebagai kebenaran Weda
berjalan baik harus berdasarkan lima pertimbangan. Yakni, Iksa, Sakti, Desa,
Kala dan Tattva. Itu disebut dalam kitab
Dharmasastra Sloka VII. 10.
Iksa
artinya paradigma atau kerangka berpikir seseorang. Sakti artinya kemampuan seseorang. Desa artinya
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat di mana nilai-nilai Weda itu
diterapkan. Kala adalah waktu atau saat nilai Weda diterapkan. Tattva adalah
yang paling prinsip, yakni tidak boleh bertentangan dengan kebenaran Weda itu
sendiri.
Dari
kelima pertimbangan tersebut, empat
(Iksa, Sakti, Desa, Kala) adalah sesuatu yang larut ke dalam tradisi, jadi terkena
hukum perubahan. Sedangkan Tattva
merupakan substansi yang bersifat mutlak. Kala itu terus berubah-ubah,
mengikuti perubahan zaman. Contoh kecil, di masa lalu seorang sulinggih hanya
boleh dari kelompok wangsa tertentu berdasarkan keturunan, karena salah
menafsirkan tatwa (Tattva). Sekarang tidak lagi karena sudah dikembalikan ke tatwa
yang benar.
Banyak
sekali contoh lain jika dikaitkan dengan ritual keagamaan yang berdasarkan
tradisi. , Upacara Pitra Yadnya di pegunungan melarung abu jenazah cukup di
sungai atau malah dipendam dalam tanah, sementara di dekat pantai abu jenazah
dilarung di laut. Ini penyesuaian dari unsur Desa. Unsur Iksa, misalnya, ada
yang menggunakan banten besar ada yang menggunakan banten kecil karena
disesuaikan dengan kemampuan. Inilah kemudian melahirkan tradisi yang
berbeda-beda.
Keberadaan
Iksa, Sakti, Desa dan Kala juga berubah-ubah karena bergulirnya Catur Yuga,
yakni: Kreta Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga dan Kali Yuga. Kitab Manawa
Dharmasatra I. 86 menjelaskan bagaimana penerapan nilai-nilai Weda dimodifikasi
sedemikian rupa disesuaikan dengan tuntutan zaman atau Kala. Tapah param krta yuge, tretayam jnanam
ucyate, dwapare yajnan ewahur, danam ekam kalau yuge. Artinya: Pada zaman Kreta tapalah yang paling
utama, di zaman Treta pengetahuan yang
diutamakan, zaman Dwapara pelaksanaan yajna yang difokuskan, kemudian di zaman
Kali dana punia yang utama.
Saat
ini kita berada pada zaman Kali. Kekawin Nitisastra menyebutkan bahwa orang
yang memiliki uang adalah yang paling
bergengsi. “Yang yuganta Kali dateng tan
hana mengelewihaning sang mahadana…” Bisa dipahami kenapa sekarang orang
selalu berorientasi pada uang. Namun kalau dikaitkan dengan yuga, uang yang diperoleh itu harus di-dana punia-kan dengan tulus ikhlas untuk
menolong mereka yang menderita.
Sementara
itu Kitab Canakya Niti VIII 10 menyatakan: Agni
hotram bina Weda, na ca danam bina kriyah, na bhavena bina siddhis, tasmad
bhavo hi karanam. Artinya: Belajar Weda tanpa korban suci adalah sia-sia, korban
suci tanpa disertai dana punia tidaklah
sempurna, tanpa disertai rasa bakti semua ini tidak akan berhasil, oleh karena
itu hal yang paling penting adalah bhakti.
Dengan
demikian tradisi beragama di saat ini seharusnya lebih ditekankan pada
pelaksanaan dana punia, sehingga ritual bisa menyesuaikan sehingga ada dana
yang tersisa untuk dipuniakan. Dana berbeda dengan dhana. Dana artinya
memberikan sesuatu kepada orang lain yang berguna dengan penuh keikhlasan tanpa
pamrih. Punia artinya melakukan pengabdian sesama ciptaan Tuhan. Jadi dana
punia berarti membantu dengan penuh keikhlasan untuk sesama manusia. Sedangkan kata
dhana artinya uang.
Kekawin
Nitisastra menjelaskan tentang dhana sebagai berikut, “Yan yuganta Kali dateng tan
hana mengelewihaning sang mahadhana…,” artinya, kalau zaman Kali datang
tidak ada yang lebih utama dari orang yang punya uang. Tentu uang yang didapat
di jalan dharma, bukan dengan mencuri atau korupsi. Setelah punya uang kaitkan
dengan konteks zaman Kali dengan memotivasi umat untuk suka ber-danapunia dengan
dhana/uang yang diperoleh itu. Tak perlu beryadnya dengan hura-hura. Apalagi
menurut Bhagawadgita, yajna yang paling utama adalah ber-japa. Sedangkan arti berjapa
menurut Sarasamuccaya 369 adalah: mapawaluy
– waluyning kojaran sanghyang mantra japa ngarania (mengulang-ulang
mengucapkan /merapalkan mantra berjapa namanya).
Dengan
uraian ini maka tradisi tak semuanya bisa dipertentangkan dengan ajaran Hindu
dalam Kitab Weda. Karena banyak unsur yang melahirkan tradisi itu yakni Iksa,
Sakti, Desa, dan Kala. Ada pun tradisi yang menyimpang dari Tatva atau tatwa,
itu yang harus diluruskan kembali. unsur. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar